info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Menjadi Artis

Mansyur Ridho 1 November 2010
“Beri salam: Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh...”. Suara ini masih terngiang jelas di telinga. Suara anak-anak SD Cikereteg 1 setiap hari ketika hendak memulai pelajaran di kelas. Suara dengan penuh keceriaan dan semangat dari wajah-wajah yang masih polos. Suara yang mampu memberikan kekuatan pada kakiku untuk melangkah ke sekolah setiap harinya. Suara ini pula yang semakin memberikan aku semangat untuk segera berangkat ke SD di Selengot Kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Suara anak bangsa yang menyiratkan harapan masa depan Indonesia. Minggu ke enam pelatihan Indonesia Mengajar merupakan minggu yang paling hidup. Minggu ini kami, 51 pengajar muda diterjunkan langsung  ke 10 SD di sekitar tempat pelatihan kami untuk belajar mengajar. Kami bertemu langsung dengan anak-anak SD sesungguhnya. Bukan anak SD yang diperankan oleh anak-anak yang sudah berusia 21 sampai dengan 27 tahun. Anak SD dengan ragam yang sesungguhnya. Bukan ragam yang direkayasa sedemikian rupa. Anak SD dengan segala daya kreativitasnya. Anak SD dengan segala canda tawanya. Anak SD dengan kepolosannya melihat dunia. Di sinilah kami belajar mengajar sesungguhnya dengan segala dinamika di dalamnya. Satu minggu tentu waktu yang tergolong singkat untuk mengerti apa itu mengajar, bagaimana itu mengajar, harus seperti apakah kita mengajar. Meski bagi Donie Koesoema dalam bukunya “Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger”, mengajar merupakan dimensi sempit dari mendidik yang cenderung hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik. Namun, bagi saya sudah tidak terlalu penting menggunakan kata mengajar atau mendidik. Karena esensinya adalah terletak bagaimana seorang guru menyatu menjadi bagian dari peserta didiknya, melihat masa depan di setiap lentik mata peserta didiknya, ikut resah sebagaimana orang tua kandungnya resah akan masa depan anaknya, dan mengeluarkan segenap kemampuannya untuk memberikan pengajaran terbaik bagi anak didiknya. Satu minggu untuk satu tahun yang berarti. Hari minggu aku turun  dari camp untuk mencari makan. Di depan pintu camp sudah ada 5 anak yang tiba-tiba menghampiri dan mengulurkan tangannya tanda ingin berjabat tangan. “Kak Mansyur!”, suara nyaring itu keluar dari lima anak itu seraya menjabat tangan dan mencium tanganku. Masih agak canggung ternyata meski sudah beberapa kali menghadapi hal yang serupa, entah kenapa. Ketika di warung, 2 anak laki-laki menghampiri dengan senyum lebarnya. “Kak Mansyur!”, maka ritual jabat tangan kembali diulang disini. Ternyata mereka tidak hanya berdua, beberapa anak lagi keluar dari sebuah toko di samping warung yang kutempati dan kembali melakukan ritual jabat tangan dengan senyum lebarnya. Ada perasaan aneh, senang tapi juga canggung. Canggung harus berkata-kata apa dan bersikap bagaimana. Khawatir kata-kata dan sikapku ternyata tidak patut untuk ditunjukkan. Khawatir akan mencaji contoh yang tidak baik. Terbesit dalam pikiranku “Oh..ini ya rasanya jadi guru”. Sekarang tidak bisa lagi bertutur kata dan bersikap sembarangan, sekarang tidak bisa lagi jajan sembarangan. Ternyata memiliki anak didik bisa menjadi kontrol bagi diri kita. Memiliki anak didik bisa melatih kedewasaan. Memiliki anak didik bisa menjadi pelajaran tersendiri bagi kita. Pelajaran hidup yangsangat berharga. Guru atau artis Sejak acara syukuran Indonesia Mengajar yang digelar di Plasa Bapindo 20 Oktober 2010 lalu, para pengajar muda dirundung banyak permintaan wawancara layaknya artis yang baru naik daun. Hal ini ternyata tidak berhenti begitu saja di minggu keenam ini. Beberapa permintaan wawancara tetap berdatangan. Malu rasanya, malu karena sebenarnya kami belum melakukan apa-apa. Sementara ini bahkan kami masih dalam masa pembekalan. Belum layak rasanya untuk berbicara di khalayak. Namun, di sisi lain jika dipikirkan lagi hal ini juga memberikan dampak positif. Dalam maraknya berita bernada pesimistis negara ini di berbagai media masa, agaknya berita Indonesia Mengajar salah satu cerminan optimisme negara ini. Guru yang biasanya cenderung diberitakan ketika ada kasus penyimpangan, seperti tindak asusila guru pada muridnya, kekerasan guru pada anak didiknya, dan lain sebagainya. Kini berita ini adalah guru yang memberikan secercah harapan baru. Guru bukan lagi artis kriminal, tapi sekarang jadi artis optimisme. Harapannya ini bisa menjadi virus bagi banyak media agar memberikan pemberitaan optimisme. Harapannya ini bisa menjadi trend tersendiri bahwa anak muda mengabdi di untuk bangsa di daerah terpencil bukan lagi hal yang tabu tapi bahkan hal yang mulia. Jamuan sore di kediaman Arifin Panigoro founder dari Medco Group dan jamuan makan malam dengan Prof Fasli Jalal, wakil menteri pendidikan nasional melengkapi nuansa keartisan para pengajar muda. Semangat, keoptimisan, harapan, dan dukungan semakin menguatkan langkah ini untuk mengabdi di pelosok negeri.

Cerita Lainnya

Lihat Semua