info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Berangkaaat.....

Mansyur Ridho 15 November 2010
Bismillahirrohmanirrohiim... Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, aku memulai perjalanan ini. Hari ini Rabu 10 November 2010, perjalanan ini pun dimulai. Setelah 2 bulan lamanya aku dan 50 pengajar muda digembleng untuk siap mengajar dan siap hidup di daerah yang katanya terpencil. Pukul satu dini hari bus sudah siap di depan Modern Training Center untuk mengangkut para pengajar muda menuju Bandara Soekarno Hatta. Di perjalanan aku mencoba memanfaatkan waktu untuk memejamkan mata seraya mengistirahatkan otak ini karena 2 hari sebelumnya agak terpusingkan dengan packing barang-barang bawaan yang akhirnya muat ke dalam satu koper dan satu tas carier. Entah kenapa packing adalah saat yang paling tidak kusuka, yang jelas bukan karena tempat baru yang akan kutuju. Packing dari rumah di Jombang menuju rumah kakak di belakang kampus UI depok. Packing dari rumah kakak ke tempat kos. Packing dari tempat kos ke Asrama PPSDMS Nurul Fikri. Packing dari asrama PPSDMS ke rumah kontrakan. Packing dari rumah kontrakan ke MTC. Terbaru, Packing dari MTC ke Desa Selengot Kecamatan Tanjung Harapan Kabupaten Pasir Kalimantan Timur. Ya, Desa Selengot, itulah nama desa yang akan menjadi tempat tinggal sekaligus tempat aku mengajar selama satu tahun ke depan. Terus terang saya masih sangat asing dengan nama daerah ini. Kalau nama Tanjung Harapan, saya sudah pernah mendengarnya. Kata fasilitator kabupaten, desa ini minim sinyal telepon. Hanya sinyal telkomsel yang masuk, itu pun antara ada dan tiada. Air bersih mengandalkan air kiriman Allah dari langit alias tadah hujan. Kalau tidak ada hujan ya bersiap tak mandi. Listrik pun hanya ada beberapa jam saat malam hari. Tidak ada taxi kapal di sini. Kalau hendak bepergian ya harus menumpang di kapal nelayan. Tanah di atas rumah-rumah desa ini berupa rawa-rawa. Katanya penduduknya termasuk keras, bahkan tak segan membawa parang ke sekolah jika ada masalah. Entah karena penduduknya keras, entah karena daerahnya tidak ada alat transportasi umum, entah karena listriknya terbatas, entah karena sumber air bersih susah didapatkan,  entah karena sinyalnya antara ada dan tiada, banyak guru yang tidak bertahan lama di daerah ini. Seringkali guru PNS yang ditempatkan di sini hanya ada nama tapi tak ada wujudnya. Wal hasil hanya guru honorer yang mencoba bertahan. Sedikit banyak aku bisa membayangkan bagaimana daerah yang akan kutinggali nanti. Jujur ada perasaan cemas tapi juga penasaran. Tidak tahu kenapa, hati ini menjerit tetap ingin pergi ke daerah ini. Mungkin saja karena di dalam tubuhku ada jiwa rantauan dari ayahku yang merantau di pulau Jawa sejak ia duduk di bangku SMP dari tanah kelahiranya Bima-Nusa Tenggara Barat. Atau mungkin karena aku malu selama ini hanya bisa menulis mengkritik tentang carut marutnya pendidikan Indonesia, namun tak ada upaya konkrit yang kulakukan untuk merubahnya. Hanya ide berupa tulisan yang kuajukan, namun tak jelas siapa yang mau melakukannya. Atau mungkin karena atmosfir kuat dari 50 pengajar muda lain yang bersemangat menjemput pengabdian. Atau mungkin malu karena sudah terlanjur menandatangani kontrak dengan Indonesia Mengajar selama satu tahun ke depan. Atau malu karena sudah terlanjut dielu-elukan di berbagai surat kabar dan media masa lain. Entahlah, bisa jadi semua mempunyai sumbangsih. Tekadku sudah bulat, aku harus tetap berangkat. Pukul setengah lima pagi, aku dan 50 pengajar muda dikumpulkan untuk prosesi pemberangkatan. Di awali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan dengan sambutan, ditutup dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri. Kebisingan lalu lalang kendaraan tidak dapat mengusik kekhitmadan acara ini. Satu-satu saling berjabat tangan seraya memberikan pesan, doa, dan motivasi. Ada mata yang berkaca-kaca, ada pula yang sudah tak tahan mengucurkan air mata.  Lima kelompok penempatan berpisah sesuai dengan tujuan masing-masing. ***

Cerita Lainnya

Lihat Semua