Lencana itu Akhirnya Tersematkan

Mansyur Ridho 5 November 2010
Hari ini saya bersama 50 rekan pengajar muda yang lain kembali menginjakkan kaki di Modern Training Camp (MTC) Ciawi Bogor. Hari ini, MTC bak mutiara yang telah lama hilang dan berhasil kutemukan.  Padahal kami hanya 3 hari meninggalkan MTC. Mau tau kenapa? Iya, karena 3 hari kemarin kami, 51 pengajar muda, untuk kedua kalinya kembali dibina oleh orang-orang baju loreng dari Rindam Jaya. Tapi ada yang berbeda antara pertemuan kedua ini dengan pertemuan pertama di awal training Indonesia Mengajar. Kami tidak lagi full tinggal di Serambi Rindam Jaya yang hanya ada dua kamar mandi dalam satu serambi itu. Hanya semalam kami merasakan ranjang rindam. Saat itu para pengajar muda putra digabung dengan peserta didik calon pahlawan bangsa dari amukan si jago merah. Karena hanya ada satu serambi yang tersisa di Rindam Jaya. Maklum nampaknya Rindam Jaya merupakan tempat yang recomended untuk melatih mental, fisik, dan kedisiplinan para anak bangsa. Jadi satu serambi tersebut diperuntukkan bagi para pengajar muda putri. Ini menjadi keuntungan tersendiri bagi para pengajar muda putra karena tidak perlu lagi curve serambi alias menyapu, mengepel, dan merapikan serambi karena semua sudah dikerjakan oleh mas-mas pemadam kebaran ^_^. 51 pengajar muda dibagi menjadi 25 kelompok. Jadi satu kelompok hanya terdiri dari 2 orang, dan satu kelompok khusus berjumlah 3 orang. Satu buah golok, satu buah kompor paravin, 4 pak paravin, dua set rantang masak (misting), dua pasang sarung tangan, dua buah kupluk (versi perampok yang hanya ada tiga lubang untuk sepasang mata dan hidung), satu buah senter; inilah perlengkapan untuk bekal setiap kelompok untuk melakukan pelatihan survivle di Gunung Bunder Bogor.  Dengan bekal materi pembuatan bifak (tenda dari ponco) dan membaca kompas siang-malam, kami diberangkatkan dengan menggunakan dua mobil bak hijau yang biasa digunakan para tentara menuju Gunung Bunder. Menjelang sore hari di bawah belaian air hujan di area Gunung Bunder, 51 pengajar muda diajak menjadi vegetarian. Pak Tarjan, sang instruktur yang terlihat sudah berpengalaman membawa banyak tanaman yang siap jadi santapan ketika tidak ada makanan enak layaknya makanan yang dijual di warung-warung atau supermarket. Sebagian diantaranya juga tanaman yang beracun alias yang membahayakan tubuh jika dimakan. Materi ini sengaja diberikan ketika perut kami kosong karena siang hari tidak ada seteguk air dan sesuap nasi yang masuk di perut kami. Wal hasil setiap peraga tanaman yang bisa dimakan selalu jadi rebutan dan amblas dalam waktu singkat. Materi ini ditutup dengan peragaan dua jenis ular yang bisa dimakan dan tidak. Satu ular peraga ternyata tepat sedang melakukan aksi ganti kulitnya. Wow..ini menjadi pemandangan yang cukup langka bagi kami. Setengah liter beras, 4 bungkus mie instan, setengah batok gula jawa, 3 bungkus garam dapur, satu bungkus ikan asin, dua bungkus sambal pecel, dua bungkus kecap, dan 4 botol air mineral 1,5 liter dibagikan kepada setiap kelompok. Hati sedikit lega, setidaknya ada bahan makanan untuk 2 hari ke depan. Lega karena ini berarti memperkecil peluang bagi saya untuk makan snack tanaman yang sudah diperagakan tadi. “Silahkan masak dan makan habis bahan-bahan yang ada di tangan kalian sekarang, khusus gula jawa, garam dan air mineral boleh disisakan” ---ziiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnggggggggg---- Ups, hati urung lega. Instruksi ini mengubah raut muka kami. Setelah selesai masak dan makan dengan aroma khas paravin, kami dituntun ke tempat pendirian bifak kami masing-masing. Setiap kelompok dipencar, meski jaraknya tidak terlampau jauh antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Yang jelas posisi kami dekat dengan sumber air bersih. Sumber air bersih berupa sungai dengan lebar sekitar 1-2 meter ini tidak diperbolehkan digunakan untuk aktivitas MCK karena sumber air ini juga yang digunakan oleh penduduk di bawah Gunung Bunder. 25 bifak dengan berbagai model sudah berhasil didirikan seiring mentari yang perlahan pergi. Bersama Adi Bayu Persada, kumulai malam pertama di Gunung Bunder dengan sholat magrib berjamaah. Untung sudah ambil dua botol air bersih sebelum senja tadi. Jadi bisa dipakai wudlu dan buang air kecil jika mulai tak tahan. Malam ini serasa berjalan sangat lambat. Bunyi-bunyi hewan hutan yang riang gembira mendapatkan teman baru menjadi teman kami bermalam selain alunan lagu dangdut yang terdengar dari kejauhan. Obrolan pun terjalin, menjadi mengenal lebih dalam karena malam yang tiada hiburan. Esok hari, rekan-rekan pengajar muda akhirnya menerapkan  materi vegetarian. Mau tidak mau, kami harus mencari bahan makanan untuk bertahan hidup. Meski nasib saya dan Bayu sedikit lebih beruntung. Masih tersisa di tas kami sedikit beras dan satu mie instan karena sore sebelumya kami tidak berhasil habis memasaknya dan oleh para instruktur pun tidak diminta. Daripada mubadzir, ya lebih baik kami bawa. Bubur saos gula merah pun saya buat untuk pertama kalinya dalam hidup ini. Wah.ternyata enaaaaak. Entah ini enak karena benar-benar manjur resepnya atau karena tidak ada makanan lain. Pak Tarjan, tiba-tiba bertenger di depan tenda saya dan Bayu. Pak Tarjan tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polah kami. “Kalian ini terlalu polos, masak bahan makanan disuruh menghabiskan dihabiskan beneran; simpan donk sebagian” Huuuh...ternyata instruksi kemarin hanya mengecoh. Tapi karena kepolosan rekan-rekan, hari menjadi seru. Hari saling berbagi tanaman dan masakan ‘aneh’. Sebanyak apapun kami mengumpulkan bahan makanan, tetap saja hanya sedikit yang tertelan. Harus diakui perut ini belum terbiasa. Jam 2 siang setelah sebagian bifak terendam air karena hujan lebat. Pelangi muncul. Kami medapatkan bahan makanan baru yaitu 2 singkong, 2 ubi, satu bungkus mie instan, satu bungkus beras plus ikan asin, dan seperempat batok gula jawa. 2 hari ini mie instan rebus dan ubi-singkong rebus menjadi makanan terlezat sedunia. Malam kedua Gunung Bunder ternyata masih berjalan sangat lambat. Meski demikian, malam ini lebih hidup dibanding malam sebelumnya. Beberapa bifak menjadi pusat ‘tongkrongan’. Ada yang memang ingin bertemu satu sama lain, ada juga yang karena motiv ‘mengungsi’. Jika dipikir-pikir, kondisi kami ini masih jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang sedang berada di tenda pengungsian mentawai, merapi, dan wasior . Semoga mereka semua bisa segera kembali hidup tenang seperti sedia kala. Perapian menyala di depan bifak Firman-Rusdi. Di situ berkumpul beberapa rekan pengajar muda yang berharap malam segera berlalu dengan menghangatkan badan plus kaus kaki dan sepatu mereka yang basah. Percakapan pun terjalin. Sedikit saya kutip salah satu percakapannya. Sholeh tiba-tiba nyletuk, “Lain kali kita jalan-jalan lagi yuk seperti ini”. Patrya pun menjawab dengan nada khasnya, “Makasih loh..saya nganterin sampai pintu gerbang aja”. Kuk..kuruyuk...suara ayam jago sayup-sayup terdengar tanda mentari telah mulai menyapa.  Jam 6 pagi kami harus bersiap turun ke bawah. Hmmm...hawa peradaban mulai tercium segar. Satu per satu pengajar muda turun. Ternyata di bawah sudah berjajar Pak Anies Baswedan, Pak Sjahid, Bu Nia, Pak Hikmat, Bu Evi, Pak Endang, dan Pak Eko. Tepuk tangan bergemuruh mereka sampaikan kepada setiap pengajar muda. Satu lembar kertas sudah dipegang Pak Anies. Diserahkannya lembar itu padaku seraya menjabat tangan, “Dari Jombang ke pelosok negeri, Selamat Mansyur kamu telah berhasil mengikuti pelatihan ini dengan baik..bla..bla..bla..”. Ternyata itu adalah piagam penghargaan pelatihan pengajar muda. Huaaahh....rasanya kok baru kemarin pelatihan. Kini sudah H-5 deployment saja. Rangkaian ini ditutup dengan upacara penutupan dan penyematan lencana Indonesia Mengajar kepada  setiap pengajar muda. Tak lupa para pengajar muda membawa bingkisan snack daun semang yang harus dimakan oleh semua tim Indonesia Mengajar dari kameramen sampai Pak Anies Baswedan. “Ya Rabb, kuatkanlah dan teguhkanlah langkah ini menjemput pengabdian di pelosok negeri”

Cerita Lainnya

Lihat Semua