Tentang ABC dan ABK

Maman Dwi Cahyo 31 Oktober 2012

Seperti biasa, waktu istirahat sekolah atau yang dikenal dengan sebutan"keluar main" oleh anak-anakku yang superb ini, kupakai untuk duduk-duduk sambil membaca-baca buku catatan pelatihan PM IV sekaligus menikmati belaian angin di bawah pohon mangga yang ada di depan sekolah. Pagi ini sejuk dan laut pun teduh. Jika Anda melihat begitu damainya laut pagi ini, Anda tidak akan menyangka bahwa hantaman gelombang dan angin timur tadi malam menenggelamkan perahu dan sempat membuat warga hiruk-pikuk menyelamatkan perahunya.

Saat aku duduk-duduk di bawah pohon mangga, biasanya anak-anak berkerumun dan menanyakan berbagai hal tentang Jawa, Luar Negeri, tentang peristiwa ini itu, tentang pelajaran, atau hanya bercerita mob-mob khas Papua untuk membuatku tertawa. Namun pagi ini berbeda, gazeboo di bawah pohon mangga ini sepi. Waktu istirahat kali ini digunakan anak-anak untuk pulang ke rumah dan makan. Sebagian berkerumun di satu keramaian yang kemudian kutahu bahwa ada penjual dari distrik yang menggelar pasar dadakan di area dekat rumah hostfam-ku.

Sepi dan sejuk. Sungguh tepat untuk dipakai membaca atau malah bisa-bisa masuk theta zone alias ngorok dan bablas, Hahaa... Beberapa saat setelah aku duduk di gazeboo mini itu, Salbia menghampiriku dan tiba-tiba duduk di sampingku sambil memperhatikanku membaca buku. Langsung kusunggingkan senyuman manisku kepadanya. Salbia yang selalu energik, dia menemaniku.

Salbia namanya. Sekarang duduk di bangku kelas dua. Dia gadis kecil yang tomboy. Semula kukira dia adalah lelaki karena permainan bolanya sangat jago mengalahkan teman-teman lelaki sebayanya. Kuperhatikan dia juga sering menjadi pencetak gol. Di hari Kamis, Jumat, dan Sabtu, Anda akan bingung membedakan apakah dia laki-laki atau perempuan. Yang membedakan dia laki-laki atau perempuan hanyalah rok yang dipakainya saja, dan itu pun hanya saat Senin, Selasa, dan Rabu, karena pada hari tersebut seragam merah-putih wajib dipakai.

Salbia merupakan murid berkebutuhan khusus. Teman-teman dan masyarakat kampung mengenalnya dengan nama "Mono", karena dia tuna wicara dan tuna rungu. Menurut keterangan beberapa murid, Salbia dapat mendengar namun sangat-sangat terbatas. Menurut cerita masyarakat, Salbia mengalami kecelakaan pada waktu dia masih kecil. Saat dia masih kecil, dia tenggelam di laut hingga menyebabkan pendengarannya tidak berfungsi. Meskipun Salbia memiliki kebutuhan khusus, tampaknya warga kampung menerima dia apa adanya dan membiarkannya menikmati masa kanak-kanaknya dengan anak-anak lain seperti biasa. Yang paling kukagumi adalah, ada beberapa anak (teman yang sudah dekat dengan Salbia), seolah-olah mereka menjadi penerjemah saat Salbia ingin menceritakan pengalamannya kepadaku. Jika gerakan-gerakan kinestetisnya masih belum juga kumengerti, teman-temannya lah yang menjelaskan kepadaku apa maksud cerita Salbia tadi.

Nah, kesempatan duduk-duduk itulah kupakai untuk mengajari Salbia bahasa isyarat (sign language). Berhubung aku bukan guru kelas II dan kepala sekolah belum punya waktu untuk mengajarkan Salbia secara khusus. Maka kesempatan ini kupakai untuk mengajarinya alfabet dalam bahasa isyarat. Sebelumnya aku pernah mengajarkan beberapa huruf pada saat belajar malam di rumah. Pada kesempatan ini aku ingin mengingatkan kembali bahasa-bahasa isyarat itu. Beruntung dan terima kasih sekali kepada Bu Evia sekeluarga yang telah menyumbangkan buku sign language dari kuliahnya di Amerika pada saat berkunjung ke kampung kemarin. Dari buku itulah aku dan Salbia sama-sama belajar bahasa isyarat.

Berhubung pada pagi ini aku tidak membawa buku tersebut, maka kuingatkan Salbia tentang isyarat untuk huruf-huruf A, B, dan C (karena untuk huruf D, E, dst aku lupa-lupa ingat dan kurang yakin... Haha..).  Rupanya dia sudah lupa isyarat tangannya, namun dia masih ingat tentang aku memberikan pelajaran itu waktu di rumah. Kuingatkan kembali formasi jari untuk A, B, dan C. Begitu terus dan berulang-ulang. Tak lama kemudian adik angkatku datang dan bergabung untuk belajar bersama. Begitu pula beberapa anak lain. Setelah kuanggap mereka sudah mengerti, aku mulai memberi mereka tebak-tebakan dari huruf-huruf yang ada di buku (buku catatan pelatihan, satu-satunya buku yang kupegang saat itu). Kutunjuk hurufnya, mereka yang memperagakan formasi isyaratnya.

Senyum mengembang di wajah mereka ketika berhasil menebak gerakannya dengan benar. Seusai itu, adik angkatku berinisiatif menulis satu per satu huruf A, B, C di pasir dan memberikan tebakan ke Salbia. Melihat mereka, motivasi dan semangatku terpompa tinggi lagi. Terima kasih Salbia. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua