Mengertilah Nisa, Kau sedang dibelajarkan.

Metias Kurnia Dita 25 Oktober 2012

Hari ini, jam 7.30 tepat aku masuk ke kelasku, kelas IV. Jam pertama adalah pelajaran matematika. Kami berdoa bersama kemudian menghafal beberapa surat pendek dalam Al Quran karena memang beginilah kebiasaan sekolah-sekolah di Kabupaten Bima. Dan aku menambah satu kebiasaan lagi di pagi hari, yaitu mendongeng di depan anak-anak. Temanya beragam, dari yang fiktif imajinatif hingga kisah-kisah nyata yang kuharapkan mampu memotivasi anak-anak untuk maju. Untungnya, sampai hari ini anak-anak masih antusias dan belum bosan mendengar dongeng-dongeng yang kadang kusampaikan dengan ekspresi sedikit berlebihan –lebay-, :D.

Ritual pagi selesai. Anak-anak terlihat lebih ceria dan semangat. Jadi, sekarang saatnya kami belajar matematika. “Matematika ada PR?”, tanyaku singkat. “Iya, Bue!”, jawab anak-anak kompak. “Semua mengerjakan?”. “Iyaaa, Bue”, jawab mereka kompak lagi. Namun, aku melihat beberapa anak tampak bungkam, hanya melirik kanan-kiri. “Anak-anak, Ibu tidak akan memukul kalian kalau kalian tidak membuat PR. Ibu hanya mau kalian jujur dan bertanggung jawab. Itu saja ni. Ayo, jujur siapa yang tidak membuat PR?”. Satu, dua, tiga, empat detik, suasana kelas menajadi sunyi, anak-anak saling melihat. Ku ulangi lagi pertanyaanku. Masih sunyi. Aku masih bertahan di depan kelas, menunggu ada yang mengaku tanpa aku periksa secara langsung. Ya, karena aku mau mereka belajar tentang kejujuran dan tanggung jawab.

Dengan ekspresi sesabar mungkin, aku pandangi mereka satu-persatu. Aku masih menunggu. Akhirnya, dua anak mengangkat tangan, Dion dan Tima. “Nisa juga Bue!”, tiba-tiba Isti berseru sambil menunjuk Nisa. Yang disebut namanya langsung menoleh ke arah penunjuk. Dia terlihat kaget dan sedikit takut. “Benar begitu, Nisa?”, aku mengkonfirmasi. Nisa tertunduk dan sesekali melihatku.

Aku menarik nafas. “Anak-anak, Ibu mau kalian apa?”.

 “Jujuuuuur!”

“dan apa?”

“Bertanggung jawaaaaab!”

“Good!” aku kembali menoleh ke arah Nisa.

“Bagaimana Nisa?”

“Ngaku saja Nisa!”, seru teman-temannya. Nisa semakin terlihat takut dan tertekan. Namun, akhirnya ragu-rugu mengangkat tangan. Aku lega.

Aku segera akan menerapkan kesepakatan kami di awal dulu bahwa jika ada anak yang tidak membuat PR atau membuat PR pagi-pagi di sekolah, maka semua anak akan mendapat nilai nol, tanpa terkecuali. Tujuanku adalah agar mereka kompak dalam kebaikan. Jadi, dalam mengerjakan PR pun harus kompak. Bahkan di awal aku sudah membuat “tutor sebaya” agar mereka bisa saling mengajari jika ada kesulitan termasuk saat membuat PR. Saat di sekolah, program “tutor sebaya” berjalan lancar. Akan tetapi, belum saat di rumah. Ini karena rumah anak-anak tidak saling berdekatan sehingga mereka belum mau saling mengunjungi untuk membuat PR bersama.

Kembali ke kesepakatan awal. Kali ini anak-anak tampak tidak rela jika buku PR mereka kembali kububuhi dengan nilai nol.

“Diginakan saja telinganya Bu!”, usul salah satu anak sambil memperagakan menjewer telinga. Aku tahan tawa melihat ekspresi si pengusul.

“Suruh maju ke depan kelas lalu angkat satu kaki dan pegang telinga begini saja Bu!”, usul yang lain.

“ pukul saja, Bue!”, ada yang menambahi lagi.

Punishment untuk anak-anak yang melanggar aturan itu tetap dibutuhkan, asal tidak melukai baik secara mental maupun fisik. Harapannya, dengan adanya punishment akan ada efek jera dan muncul rasa tanggung jawab di dalam diri anak-anak. Kali ini, punishment pun akan ku jatuhkan. Maka,  aku memberi tawaran kepada kelas.

“hmmm... Bagaimana kalau mereka minta maaf di depan kelas dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi?”.

Anak-anak terlihat sedang berfikir. “Iya sudah, begitu saja Bue!”, jawab salah seorang anak.

Kelas yang berisi 25 anak ini mulai sedikit ribut, kasak-kusuk membicarakan hukuman apa yang sesuai untuk teman-teman mereka yang tidak membuat PR.

“Bagaima?”, aku kembali menawarkan.

“Iya Bue, itu saja. Setuju”, ucap beberapa anak sambil manggut-manggut.

“Yang lain setuju?” aku memastikan.

“Setujuuuuu!”, jawab mereka serempak. Keputusan segera dibuat.

Akhirnya, eksekusi pun dijalankan. Anak-anak kelas V yang hanya bersekat papan dengan kelas kami ikut melihat eksekusi ini. Aku biarkan asal mereka asal tidak gaduh dan menertawakan adik kelas mereka ini. Semoga mereka pun juga bisa belajar dari proses ini.

Dion maju ke depan kelas dengan lancar. Aku hadiahkan tepuk 2x karena dia telah berani bertanggung jawab. Lalu disusul Tima, dia sedikit patah-patah namun tetap bisa menyelasaikan tugasnya. Kuhadiahkan juga pada Tima tepuk 2x. Sekarang giliran Nisa.

Saat Nisa berjalan maju, dia tampak lebih takut dari awal tadi. Sampai di depan, dia hanya diam saja, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Malahan, matanya mulai tampak berkaca-kaca. Aku berdiri agak jongkok di sampingnya. “Ayo, Nisa”, kutatap matanya dengan senyum terbaikku.

Dia masih membisu. Lalu ku coba tuntun dia agar mengikuti kata-kataku.

“Te-man-te-man..”, ucapnya patah-patah.

“Ni-sa min-ta ma-af ka-re-na ti-dak me-nger-ja-kan PR!”, air matanya akhirnya jatuh. Seluruh isi kelas sepenuhnya mengarahkan pandangan mereka pada Nisa.

“Ni-sa ti-dak a-kan meng-u-la-ngi la-gi. Ni-sa jan-ji”.

“Bagaimana teman-teman? Apakah diterima?”, tanyaku padaku pada anak-anak untuk mengkonfirmasi apakah mereka mau menerima permintaan maaf Nisa atau tidak.

“Diterimaaaaaa!”

“Good!. Teman-teman, kita kasih apa untuk Nisa?”, tanyaku pada kelas.

“Tepuk 2x!”

“oke, tepuk 2x,”

Serentak terdengar suara 2x tepuk yang menggema di kelas, “prok-prok”. Oke, kasus ditutup!

“Nisa, mengakui kesalahan itu terkadang memang menyakitakan. Dan inilah saatnya kamu belajar. Suatu saat kamu akan mengerti tentang ini, sayang”, kataku dalam hati.


Cerita Lainnya

Lihat Semua