#2 Si Komo Juggling

Maman Dwi Cahyo 25 Oktober 2012

Komo. Komo adalah sebutan ikan tongkol di kampungku. Mungkin di tempat lain juga, namun aku baru tahu nama komo di kampung Tarak. Nah, setelah aktivasi keramba kelas, euforia anak-anak sangat tinggi untuk mendapatkan ikan (makhluk laut) sebagai koleksi keramba masing-masing. Setelah keramba mereka lumayan banyak terisi dengan makhluk-makhluk laut, anak-anak memintaku untuk membuat baris sendiri di keramba dan menuliskan namaku di dalamnya. Yup! Mereka memintaku untuk membuat kerambaku sendiri dan mereka yang menilainya. Begini katanya:

Murid: "Pak Guru, Pak Guru boleh bikin Pak Guru pu nama di situ"

Murid: "Iya Pak Guru, nanti kitorang yang kasih komo"

Aku : "O begitu, boleh, terus PR untuk Pak Guru apa?"

Murid: "Iyo, nanti tong kasih pelajaran bahasa kampung ke Pak Guru"

Aku : "Haha... Baiklah kalau begitu, Pak Guru tulis di sini eee?"

(dan tertulislah "Pak Guru" di keramba itu)

Hari Jumat, harinya kebersihan, pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan di SD Negeri Tarak. Setelah memeriksa kebersihan badan dan kuku, anak-anak terbagi menjadi dua kubu. Ada yang bermain sepak bola dan ada yang bermain voli. Sengaja aku mengadakan pertandingan untuk kelas III vs IV dan V vs VI, selanjutnya yang menang dari kedua pertandingan itu saling bertanding. Sementara mereka bertanding, aku latihan sepak bola bersama anak-anak kelas I dan II. Mohon tidak salah sangka, yang belajar adalah aku, aku lah yang diajari anak-anak murid kelas I dan II bermain bola, bukan sebaliknya. Hehe... Memang, permainan yang satu ini belum pernah kukuasai betul. Bahkan peraturan mainnya pun samar-samar kuketahui. *tepok-tepok_jidat*

Halaman sekolah dipenuhi para pemain yang sedang bertanding. Aku bersama anak-anak murid kelas I dan II berada di bawah pohon mangga untuk berlatih dan bertanding banyak-banyakan skor dalam juggling. Selama berpuluh-puluh menit, Anda pasti bisa menebak skor juggling saya, kalau ngga dua pantulan ya pling mentok tiga pantulan saja. Haha... Setelah itu bola nggelinding entah ke mana.

Beberapa lama kemudian anak-anak pun selesai bertanding dengan Kelas V sebagai pemenang. Aku pun belum berprogres, paling-paling maksimal lima pantulan kemudian melenceng entah berantah. Aku dan anak-anak pun duduk-duduk sejenak di bawah pohon mangga menikmati belaian angin. Mereka pun mulai bercerita tentang pertandingan yang baru saja mereka lakukan, komentar ini, itu, keeper, kartu merah dan hukuman selama 2 minggu ke depan belum boleh menjadi pemain, dll.

Selanjutnya aku mengajak mereka latihan jadi keeper karena mereka mengeluh tidak ada yang bisa menjadi penjaga gawang. Secara bergantian mereka dribbling, tendang, dan menjadi keeper. Aku pun ada di samping gawang sambil tetap latihan juggling. Matahari mulai menunjukkan taringnya kuat-kuat, anak-anak pun mulai kelelahan dan duduk di samping gawang melihatku kuwalahan juggling dan sesekali ribet sendiri kejar bola yang lepas kendali.

"Pak Guru, sampai 10 boleh... Nanti saya kasih satu komo buat Pak Guru", kata salah seorang murid kelas VI. "Serius ya?", tanyaku. "Iya Pak Guru, nanti saya ambil komo dari keramba lama, lalu tempel di Pak Guru punya", jawabnya. "Wah, kau gambar sendiri boleh... Pak Guru mau kau sendiri yang gambar. Gimana?", balasku. "Gambar saya tara baik, Pak Guru", katanya. "Tara pa-pa, yang penting asli kau pu gambar", kataku. Akhirnya kesepakatan pun terjadi.

Duk...duk...dukdukdu... Bola lari hilang kendali, begitu seterusnya. 3 pantulan, lepas, 5 pantulan, lepas lagi, turun jadi 2 pantulan, lagi-lagi lepas, 3, 4, 3, 5,...7 PANTULAN! Lagi-lagi lepas lagi (terdengar teriakan dari anak-anak, "Wooooah, 3 lagi Pak Guru!!!"), turun menjadi 3 pantulan, 2 pantulan, dst. Begitu teruuus sampai lebih dari 30 menit. Keringat membanjiri kaos biru Indonesia Mengajarku, anak-anak pun semakin banyak yang berkerumun di sekitarku. Nafasku mulai ngos-ngosan. "Wah, Pak Guru soak", kata salah seorang murid. "Duduk dulu boleh, Pak Guru", sahut yang lain. "Ino, basah semua begitu", kata yang lain.

Namun aku tetap melanjutkan, mungkin sudah lebih dari 50, 70, 80, atau bahkan 100 kali kuambil bola dan kupantulkan lagi, kulemaskan otot kaki dengan menggoyang-goyangnya sebentar, kemudian lanjut lagi. Hanya untuk mendapatkan satu komo di keramba? BUKAN! (bukan hanya itu maksudnya, hehe..). Sebenarnya aku ingin menunjukkan ke mereka Man Jadda Wa Jada yang sering mereka teriakkan di Masjid, di Kelas, di Jalan, atau di mana pun itu, bahwa memang benar-benar semua itu mungkin bagi yang bersungguh-sungguh. 8 Pantulan!!! Terdengar teriakan heboh lagi dari mereka. "DUA LAGI Pak Guru... DUA LAGI", kata mereka. Namun setelah itu, kembali lagi ke 3 pantulan, 2 pantulan, dan mulai dari awal. Ada pikiran untuk berhenti, namun aku berdoa lagi agar berhasil memantulkan 10 kali sambil tetap memantul-pantulkan bola. 9 PANTULAAAN!!! Namun lepas lagi. Fiuh...

Anak-anak ada yang melongo, ada yang serius melotot, ada yang selonjor, dan ada juga yang manggut-manggut mengikuti pantulan bola. Celana bahan sudah kotor, kaos pun sudah penuh keringat. "satu, dua, tiga, empat-lima, enam, tuuujuh", mereka mengikuti ayunan kaki dan pantulan bola sambil menghitung. Duk...duk..duk..dukduk...duk..duuuk..duk. Delapan dukK..SEMBILAAAN duauwak!!! SEPULUUUUH!!! Tendangan kesepuluh, kukerahkan tenaga kuat-kuat dan menendangnya jauh-jauh ke atas. HOREEEEEEEEEE!!! Kepuasan itu langsung membanjiri diriku. Kemudian kuperhatikan anak-anakku, mereka berlarian ikut gembira dan puas. Aneh? Memang. Mereka menonton, namun kepuasan itu ikut mereka rasakan, meledak bukan main. Kegembiaraanku menjadi dua kali lipat, pertama puas bisa 10 pantulan, kedua gembira melihat anak-anakku ikut gembira.

Mereka berlarian ke ruang kelas. Langsung mengambil gambar komo dari keramba sebelumnya dan menjiplak gambar tersebut untuk diberikan kepadaku. Yang kubingung adalah, bukan satu orang yang membuat gambar komo. Namun hampir semua anak menggambar dan menempelkan komo-nya di kerambaku. "Loh?! Bukannya 1 komo saja?", tanyaku. "Biar yang lain kasih satu, saya kasih dua komo buat Pak Guru, karena Pak Guru tadi sudah setengah mati", kata muridku yang tadi bersepakat denganku di awal. WHAAAT? Kegembiaraanku menjadi berkali-kali lipat. Kerambaku pun penuh seketika. Terima kasihku kepada-Mu Ya Allah, telah memberikan kesempatan itu untuk disaksikan anak-anakku yang hebat. Semoga pesan itu mereka terima, agar Man Jadda Wa Jada mereka pun benar-benar bermakna.


Cerita Lainnya

Lihat Semua