Merah-Putih Kembali Berkibar bersama Noinoi

Maman Dwi Cahyo 21 November 2012

Di tengah hiruk pikuk kota Fakfak yang sedang memperingati ulang tahun ke-112, kami datang berbondong-bondong dari Kampung Tarak. Dua longboat dan satu perahu motor membawa orang-orang Kampung Tarak menuju kota pala. Misi kami hanya satu, menunjukkan bahwa kami memiliki adat dan budaya yang patut untuk dilestarikan dan menjadi kekayaan Indonesia melalui tarian Noinoi.

Berminggu-minggu kami berlatih dan mempersiapkan momen ini. Momen di mana kami bisa mengenang perjuangan nenek moyang akan tanah yang sekarang menjadi tanah kelahiran anak-anak hebat Tarak.

Tari Noinoi. Tarian ini bercerita tentang perang Hongi yang terjadi di Kampung Tarak. Pada masa itu manusia masih hidup nomaden. Mereka berpakaian menggunakan Tatofi (penutup badan seadanya), menggunakan bahasa sederhana, dan belum mengenal aksara. Perang Hongi yang terjadi pada zaman nenek moyang itu merupakan perang yang cukup besar untuk menguasai suatu wilayah. Perang ini masih menggunakan alat-alat sederhana, seperti parang, kulibia (alat musik dari kulit siput), kalawai (tombak bermata dua), dan juga bambu runcing. Perang yang terjadi memakan korban yang cukup banyak. Korban yang bertumbangan tersebut diumpamakan seperti JIMBORO (batang pohon nipah) yang hanyut di laut. Mayat-mayat yang hanyut tersebut terbawa arus hingga ke Weri, Teluk Patipi, bahkan ke daerah Lakaria, kabupaten Kaimana. Kemenangan perang ini dirayakan dengan tari noinoi.

Arang dari gaba-gaba (batang daun sagu yang sudah kering) membalut kulit kami. Kain merah menjadi ikat kepala kami, serta karung goni yang menjadi penutup seadanya. Parang dan tombak pun siap di tangan. Hanya pukulan tifa dan alunan lagu noinoi yang menggerakkan kami berperang di atas panggung di depan puluhan, ratusan, atau lebih mata. Hingga akhirnya, bendera Merah-Putih pun berkibar kembali seperti tahun lalu. Merah-Putih berkibar di tengah-tengah kota pala bersama lantunan Indonesia Pusaka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua