Tidak Takut Gelap
Maisya Farhati 4 Juli 2011Kenyataan < Ekspektasi --> MASALAH
“Ibu…” panggil seorang anak perempuan saat aku berjalan menyusuri sawah di Dusun Pinang Gunung. Aku berpaling ke arah suara itu, suara gadis kecil berbaju kurung dan berkerudung putih. Ia adalah Nada, salah satu muridku. Saat itu aku baru saja kembali dari rumah Pak Kepala Dusun. Bisa kukatakan, rumah Pak Kepala Dusun terletak di jantung hutan Pinang Gunung. Bagaimana tidak, jalan menuju rumahnya benar-benar tak terduga. Kupikir sudah tak ada jalan lagi, karena yang terlihat hanya tebing dan hijau rimbun pepohonan. Susana sekitar sepi sempurna. Aku tahu, rumah Nada terletak tak jauh dari rumah Pak Kepala Dusun. Di sana hanya ada lima rumah. Dan aku kagum karena Nada setiap sore tetap berangkat ke surau untuk mengaji. Ah, mengapa mengaji menjadi sesuatu yang istimewa? Begini kawan, kalau perjalanan dari rumah ke surau tidaklah jauh, itu tak masalah. Kalau perjalanan pulang dari surau ke rumah ditemani cahaya lampu, tentu itu pun bukan masalah. Namun, Nada harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan tanpa cahaya. Dan perlu digarisbawahi, ia melewati hutan yang rimbun dan sepi. Dengan polosnya aku bertanya pada Nada, “Nada nggak takut pulangnya?” Ia hanya tersenyum dan menggeleng. Bagi kita orang kota, melewati jalanan yang gelap berarti menyiapkan senter. Bagi anak-anak di dusunku, gelap berarti tetap berjalan dalam gelap. Mereka sudah biasa berjalan tanpa cahaya dan mereka tidak takut sama sekali. Selain Nada, masih banyak muridku yang lain yang rumahnya cukup jauh dari surau. Tiba-tiba aku teringat kegiatan caraka malam saat pelatihan di Rindam Jaya. Saat itu kami para Pengajar Muda harus berjalan sendirian menyusuri hutan dan sungai tanpa bantuan cahaya apapun (termasuk senter). Dulu kupikir itu berlebihan. Kalau ada senter kenapa tidak dipakai saja? Tapi ternyata dalam situasi tertentu, kemungkinan tak ada cahaya sama sekali itu selalu ada. Dan anak-anak Pinang Gunung sama sekali tak bermasalah soal itu. Aku belajar bahwa segala ekspektasi berawal dari kebiasaan. Di dusunku, Dusun Pinang Gunung, listrik PLN sampai saat ini belum juga masuk. Di siang hari, tentu tak terlalu menjadi soal, karena masih ada cahaya matahari sehingga tidak perlu menyalakan lampu. Di malam hari, sebagian besar rumah di dusun ini mulai menyala – meskipun redup – dengan tenaga diesel maupun genset. Sekali lagi, nyala itu sangatlah terbatas. Jika aku duduk di depan rumah pada malam hari, yang kulihat adalah gulita dengan sedikit titik cahaya dari rumah-rumah yang jaraknya berjauhan. Salah satu pembicara pada Pelatihan Intensif IM beberapa bulan lalu pernah bilang bahwa masalah ada ketika kenyataan lebih rendah daripada ekspektasi. Selama bertugas ini, dengan segala keterbatasan yang ada, aku tak ingin mempermasalahkan hal-hal kecil yang tak perlu. Dan aku belajar dari anak-anak yang tidak takut gelap. Aku selalu mengingatkan diriku sendiri tentang dua cara untuk menjadi kaya: 1. Have more 2. Want less Aku memilih opsi yang kedua, seperti murid-muridku yang kaya raya dalam kegelapan.Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda