Ini Sekolah?

Maisya Farhati 30 Juni 2011
“Ini sekolah?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut seorang ibu. Malam itu adalah malam perpisahan dan pelepasan kelas VI tahun ajaran 2010/2011 di sekolah tempatku mengajar, SDN IV Teluk Jatidawang. Aku berdiri bersebelahan dengan ibu itu, berbincang sambil menyaksikan penampilan murid-murid di panggung. Sebut saja namanya Ibu Laila. Ia bercerita kepadaku bahwa pertanyaan tadi meluncur begitu saja saat ia tahu bahwa bangunan yang terbuat dari kayu usang ini adalah sekolah. Ia bukan orang Dusun Pinang Gunung, namun kebetulan ia memiliki keluarga di dusun ini. Ia memang telah beberapa kali berkunjung ke Pinang Gunung dan melewati gedung sekolahku, namun di kali ke sekian lah ia baru tahu bahwa itu adalah gedung sekolah. Dan ia kaget bukan kepalang. “Masya Allah, Bu.. masih ada ya sekolah macam ini di zaman sekarang?” Kawan, jika kau melihat sekolahku, simpanlah dahulu rasa sedihmu. Sebelum aku berangkat ke Bawean, aku pernah bercerita pengalamanku mengajar di salah satu SD negeri di Bogor. Saat itu aku bercerita bahwa aku mulai mengerti mengapa Ibu Muslimah dalam cerita Laskar Pelangi begitu setia dan berdedikasi tinggi dalam mengajar: karena ia mencintai murid-muridnya. Dan kini, aku ingin belajar sekali lagi dari Ibu Muslimah bahwa optimisme selalu ada, dan harus selalu ada, sekalipun dari ruang-ruang gelap kelas yang beralaskan tanah berdebu, berdinding kayu yang bolong, dan beratapkan asbes yang bocor dan hampir roboh. Kawan, seperti itulah sekolahku. Entah bagaimana ceritanya, sekolah ini hanya memiliki satu lokal kelas standar. Standar yang aku maksud di sini adalah bangunan dengan tembok batu-bata dan memiliki pintu dan jendela seperti sekolah pada umumnya. Ya, di sini hanya ada satu. Satu ruangan ini kemudian disulap menjadi tiga ruangan dengan sekat lemari-lemari dan papan. Tiga ruangan itu adalah ruang kepala sekolah sekaligus ruang guru, ruang kelas V, dan ruang kelas VI. Sedangkan sisanya, yaitu kelas I sampai dengan kelas IV, terpaksa belajar di gedung kelas darurat, bangunan kayu yang aku ceritakan tadi. Gedung kelas darurat itu pun sama, hanya dipisah oleh sekat yang tidak permanen dengan tinggi sekitar 1,5 meter sehingga murid kelas I akan bisa mendengar dengan jelas suara dari kelas II, dan seterusnya. Pada kesempatan ini, aku tak bermaksud menyalahkan siapapun. Di bawah langit Bawean yang cantik ini, aku tak akan mengumpat siapapun, sekalipun aku ingin. Di tengah segala keterbatasan ini, di antara suara gesekan dedaunan yang tertiup angin di atas gunung ini, aku ingin berjanji kepada diriku sendiri. Aku memang bukan pahlawan yang datang untuk menyelesaikan semua permasalahan yang ada, namun aku berjanji bahwa aku akan selalu berusaha dan tidak patah semangat. Mungkin akan ada saat-saat aku lelah, sedih, dan mengeluh. Namun aku berjanji untuk segera bangkit dan mensyukuri apa yang telah kumiliki, apa yang sekolahku miliki, dan apa yang bisa aku lakukan dengan semua hal yang ada. Aku berjanji untuk memberikan senyum terbaik untuk murid-muridku, membuat belajar selalu menyenangkan, dan meyakinkan bahwa di ruang-ruang gelap dengan sekat seadanya itu, harapan selalu ada. Harapan selalu ada. Bukankah itu yang Tuhan janjikan bagi orang-orang yang mau berusaha? (230611)

Cerita Lainnya

Lihat Semua