Keluarga Baru
Maisya Farhati 30 Juni 2011
Seperti telah kuceritakan sebelumnya, aku kini tinggal di rumah Bapak Samsul Arifin dan Ibu Khairiyah. Mereka adalah orang tuaku di sini. Bersama mereka, ada pula dua orang adik baru yang kini menjadi bagian dari hari-hariku. Adikku yang paling besar namanya Romlah. Ia baru saja lulus dari Madrasah Tsanawiyah. Adikku yang kecil bernama Sakina, Kina panggilannya. Usianya masih empat tahun. Ia suka mengikuti kemana aku pergi, termasuk ke sekolah. Di rumah pun, jika aku ke kamar, ia ikut ke kamar. Jika aku ke dapur, ia ikut ke dapur. Mungkin ia senang karena mengenal orang baru.
Dusun tempat tinggalku adalah dusun tanpa aliran listrik PLN dan sinyal telepon seluler. Malam di sini hampir gelap sempurna, hanya ada pendar-pendar cahaya lampu rumah yang menyala redup dengan tenaga diesel pada jam 6 sore sampai jam 10 malam. Pada waktu tersebut, di rumahku hanya ada satu lampu yang menyala karena rumahku 'menumpang' listrik dari tetangga. Di malam pertamaku di rumah baru ini, di bawah sinar lampu seadanya, Ibu mengatakan bahwa ia khawatir aku tak suka masakannya, dan katanya, Ibu tak biasa makan dengan mewah karena penghasilan Bapak tidaklah seberapa. Aku sampaikan kepada Ibu, “Saya ini anak ibu. Apa yang ibu dan keluarga makan, saya ikut makan. Jika ibu tidak makan, saya pun ikut tidak makan.” Aku menekankan bahwa apa yang ibu sediakan di rumah ini janganlah berubah ketika aku hadir. Aku tidak ingin mengubah gaya hidup, apalagi jika ibu sampai memaksakan hal-hal di luar kemampuannya. Aku adalah orang baru di sini, jadi memang sudah seharusnya aku yang menyesuaikan, bukan sebaliknya.
Kalau ada yang bilang orang Madura itu keras, yang aku temukan di sini mereka cukup terbuka dan bersahabat. Keramahannya tak diragukan lagi. Hampir semua orang yang telah aku kenal, baik itu di jalan maupun di sekolah, mengundangku untuk berkunjung ke rumahnya.
“Bu Guru..mampir-mampirlah ke rumah saya.”
“Iya Ibu..terima kasih. Ibu tinggal dimana?”
“Di atas, Bu..ke selatan.”
Aku tentu mengiyakan, meskipun tidak semuanya aku tahu jelas dimana rumahnya.
Hari kedua di dusun ini, aku berkunjung ke rumah Ibu Samliye. Huruf “e” di situ dibaca “eu”. Di sini secara umum ada dua macam nama: nama Madura dan nama Arab. Nama Madura lebih banyak ditemukan pada orang tua, agaknya cukup sedikit anak-anak yang memiliki nama Madura, meskipun tentunya masih ada. Sedangkan nama Arab lebih lazim ditemui, sebut saja Shalehah, Romlah, Fatimah, Nur Jannah, Khairiyah, Sakina, Fadia, Sahib, Aziz, Farhan, Imam, dan Amin.
Ibu Samliye tinggal bersama kedua anaknya dan seorang menantu. Suaminya bekerja di Malaysia. Nah, inilah salah satu hal yang sangat umum ditemukan di Bawean: kaum pria bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia (dan sebagian kecil di Singapura). Tak heran jika mayoritas penduduk Bawean kini adalah perempuan. Aku pernah menanyakan soal hal ini kepada kepala sekolahku, Pak Nur. Ternyata budaya bekerja di luar negeri ini sudah lama ada di Bawean. Menurutnya, orang Bawean cenderung ingin memperoleh penghasilan yang cepat dan besar. Hal itu tidak akan mereka peroleh jika mereka ‘hanya’ bekerja sebagai nelayan dan petani. Di Bawean ini sebenarnya cukup banyak sawah, tapi di sini panen hanya setahun sekali. Lahan pun sangat subur untuk menanam sayur mayur, namun sedikit yang melakukannya. Alasannya, pasar di sini tidak terlalu luas. Kalaupun hasil sayur mayur itu dikirim ke Jawa, ongkosnya cukup mahal dan di Jawa sendiri sudah ada penghasil sayuran.
Sehari-hari, lauk utama orang Bawean adalah ikan. Saya jadi ingat ucapan orang Bangka saat saya berkunjung ke Pangkal Pinang, “Orang Bangka kalau tak makan ikan itu rasanya pusing.” Mungkin begitu pula dengan orang Bawean. Selama beberapa hari di sini, tak pernah ada hari tanpa makan ikan. Dengan demikian, anak-anak Bawean seharusnya cerdas-cerdas, bukan? Aku percaya hal itu.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda