Pulau Itu Bernama Bawean!
Maisya Farhati 30 Juni 2011Mengarungi Laut Jawa dengan kapal cepat Bahari Express rasanya seperti naik kereta. Goyangan kapal yang disebabkan oleh gelombang bagiku rasanya seperti goyangan di gerbong kereta. Aku tak sempat naik ke dek kapal, satu jam pertama aku sibuk menelepon – selagi masih ada sinyal – dan dua jam berikutnya aku terlelap tidur. Aku kelelahan setelah beberapa hari terakhir yang sangat padat sebelum keberangkatan. Hari itu 15 Juni 2011, aku dan lima Pengajar Muda lainnya meninggalkan tanah Jawa. Pukul 9.15 pagi kapal resmi memulai perjalanan dari Gresik menuju Pulau Bawean.
Dari jendela kapal, tak ada yang terlihat selain hamparan laut dan cerahnya langit. Indonesiaku..izinkan aku mengenal satu lagi bagian indahmu. Kurang lebih tiga jam berlalu, akhirnya aku melihat daratan. Sebagian orang mulai berdiri. Hatiku dipenuhi rasa haru dan senang. Bawean…kami datang! Sungguh rasanya waktu berlalu begitu cepat. Kemarin Bawean masih menjadi suatu tempat yang hanya ada dalam angan-angan. Namun kini, aku melihatnya. Kami melihatnya.
Pulau Bawean terletak di tengah laut Jawa, di antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan. Mungkin sebagian orang belum pernah mengetahui atau mendengar tentang Pulau Bawean. Bisa dibilang mengherankan, karena sebenarnya pulau ini masih bagian dari Kabupaten Gresik, provinsi Jawa Timur. Namun bisa juga dibilang tidak mengherankan, karena nyatanya memang tidak semua peta Indonesia mencantumkan Pulau Bawean di dalamnya. Jujur saja, saat bergabung dengan Indonesia Mengajar lah untuk kali pertama aku tahu tentang Bawean. Hanya sekedar tahu. Sebab ketika aku mencari di internet pun, sumber informasi mengenai Bawean sangat terbatas.
Di pulau ini hanya ada dua kecamatan, yaitu Sangkapura dan Tambak. Dermaga berada di Kecamatan Sangkapura, sedangkan aku akan bertugas di Kecamatan Tambak. Sebelum ditempatkan di dusun yang berbeda, kami disambut secara resmi di Kantor UPT Sangkapura. Para perangkat kecamatan dan desa, serta kepala sekolah dan pengawas sekolah yang saat itu hadir, semuanya luar biasa ramah. Kami berenam optimis, rasanya takkan sulit bagi kami untuk betah tinggal di pulau ini. Sekitar jam 4 sore, kami bergegas ke tiga mobil yang berbeda. Aku dengan Lasti; Putri dengan Hety dan Tidar; sementara Wintang sendirian karena ia akan menuju pulau kecil yang terpisah dari Bawean, Pulau Gili namanya. Atmosfer haru tak terlalu terlihat saat itu. Hening. Tetapi entahlah dalam hati kami masing-masing. Karena bagiku sendiri, saat itu adalah saat yang berat. Minggu-minggu terakhir di camp pelatihan, kami berenam selalu bersama terutama saat Pengalaman Praktek Mengajar (PPM). Dan perjalanan panjang dari Jakarta ke Bawean pun, telah kami tempuh bersama.
Beberapa menit berada di mobil, aku sudah merindukan mereka semua. Perjalanan dari Sangkapura ke dusunku, Dusun Pinang Gunung, Desa Teluk Jati Dawang, Kec. Tambak, ditempuh dalam waktu sekitar 1-1,5 jam. Jalan utama di Pulau Bawean ini bentuknya melingkar mengelilingi pulau. Di satu sisi jalan, pemandangan yang terlihat adalah pantai dan di sisi lainnya adalah gunung. Sungguh perpaduan yang unik dan cantik. Lima dari kami mendapatkan penempatan di daerah pegunungan, sedangkan satu orang ditugaskan di daerah pesisir, di pulau kecil yang terpisah, Pulau Gili namanya.
Jalan ke dusunku sungguh tak terduga. Aku melihat papan arah “Dusun Pinang Gunung” ke jalan kecil yang masuk ke tengah hutan. Gosh, ternyata di dalam sana masih ada kehidupan. Jalan menuju dusun itu sebagian adalah jalan yang sudah dicor, namun sebagiannya lagi rusak, hanya tanah dan bebatuan. Sangat rawan sekali, apalagi jalan menuju ke sana merupakan tanjakan yang cukup curam.
Pada dasarnya, wilayah tersebut memang hutan. Belakangan aku dengar dari Pak Nur, kepala sekolahku, bahwa dusun ini memang ditinggali oleh para pendatang dari Madura. Daerah yang dulunya hutan mulai diisi oleh tempat tinggal dan akhirnya menjadi permukiman kecil seperti sekarang. Awalnya hanya satu-dua keluarga saja, kemudian semakin banyak sampai ke anak cucu. Ucapan Pak Nursyahid ini terbukti benar, karena orang tua angkatku, Bapak Samsul Arifin dan Ibu Khairiyah, memiliki banyak keluarga dan sanak saudara di sini. Ada orang tuanya, ada adiknya, sepupunya, dll. Begitu pula ketika aku di sekolah, aku menemukan banyak murid yang masih ada ikatan keluarga. Usut punya usut, bahkan ternyata semua penduduk di dusun ini adalah sebuah keluarga besar!
Pada malam perpisahan sekolah beberapa waktu lalu, aku sempat bercakap-cakap cukup panjang dengan salah satu orang tua murid. Ia bercerita tentang keluarganya. Kalau dirunut ke atas, yang pertama kali merantau dari Madura dan tinggal di dusun ini adalah kakeknya. Aku hitung-hitung, berarti sudah ada empat generasi yang menetap di sini. Dan dengan asal-usul suku Madura tersebut, tak heran bila bahasa yang digunakan masyarakat di sini adalah Bahasa Madura. Menurut masyarakat, Bahasa Madura dan Bahasa Boyan (sebutan untuk Bawean) itu bisa dibilang serupa tapi tak sama. Ada pula yang bilang bahwa Bahasa Boyan adalah versi halus dari Bahasa Madura. Namun jika orang Madura dan orang Bawean asli mengobrol, keduanya masih bisa saling memahami.
Eson/engko tero ngakana… Saya mau makan
Hmm..nyaman na… Hmm…enaknya… ^^
(petikan Bahasa Boyan dan Bahasa Madura)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda