Nggak Ada Noda ya Nggak Belajar

Maisya Farhati 16 Juli 2011

Pagi itu wajah-wajah ceria telah hadir di SDN 4 Telukjatidawang, Bawean. 11 Juli 2011, hari pertama di tahun ajaran 2011-2012. Bagi kebanyakan anak, pertanyaan yang muncul ketika kembali bersekolah adalah “saya akan belajar apa”. Tidak demikian dengan murid-murid di sekolahku. Wajah ceria mereka disambut oleh kenyataan bahwa pembangunanan ruang kelas mereka belumlah selesai. Maka pertanyaan yang muncul adalah “saya akan belajar di mana”.

Bagi kawan-kawan yang sudah membaca ceritaku sebelumnya, pastilah sudah tak asing dengan kondisi sekolahku. Pada minggu kedua liburan semester lalu, bangunan kayu yang pernah kuceritakan itu dirobohkan sampai rata dengan tanah. Alasannya, karena memang sudah rapuh dan tak layak, bahkan membahayakan murid-murid yang belajar di dalamnya.

Di minggu terakhir liburan, setelah berusaha mencari bahan dari sana-sini, ruang-ruang kelas itu baru mulai dibangun kembali. Bangunan baru ini pun masih tetap dari kayu. Namun sebagian merupakan kayu baru dan posisinya agak digeser ke timur sehingga rapat dengan satu-satunya bangunan kelas permanen. Pembangunan ini terlaksana berkat inisiatif dari Pak Nur, kepala sekolahku, dan kerjasama dari para guru dan warga masyarakat.

Kembali ke tanggal 11 Juli 2011. Pagi itu kulihat sekolahku masih berantakan. Potongan kayu, serbuk kayu, dan papan masih berserakan tak beraturan. Aku dan murid-murid yang sudah datang mulai membereskannya. Ketika murid yang datang sudah bertambah, Pak Nur menginstruksikan para murid untuk mencangkul tanah demi mengisi tanah di bangunan kelas yang belum rata.

Itu adalah kali pertama aku melihat bocah-bocah berseragam putih merah rapi harus bersimbah keringat mencangkul, menyekop, dan mengangkut tanah demi bisa belajar. Para guru pun ikut berkotor ria dalam kegiatan tersebut. Sementara itu, di sisi lain sekolah ada pula guru dan murid yang mencabuti paku dari papan bekas dan mengangkut papan yang masih bisa digunakan kembali untuk membangun kelas baru.

Murid-muridku yang budiman itu bekerja dengan ceria. Aku pun terkesima melihat begitu terampilnya mereka dalam pekerjaan seberat itu. Aku sempat mencoba menggunakan sekop dan memindahkan tanah ke atas karung untuk kemudian diangkut. Dan ternyata..tidak semudah yang kukira. Namun aku tetap berusaha sampai kemudian seorang murid mendekatiku, “Biar saya saja, Bu,” Nampaknya ia melihat kesulitanku.

Aku pun tersenyum dan menyerahkan sekop kepadanya. Aku kembali menjadi seorang pengangkut tanah. Sepertinya itulah satu-satunya yang paling aku kuasai dari semua pekerjaan yang ada saat itu. Ah..betapa beruntungnya kita, orang-orang yang begitu datang ke sekolah bisa langsung duduk manis di kelas tanpa kesulitan apapun. Apa lagi alasan kita untuk tidak bersyukur?

(11072011)


Cerita Lainnya

Lihat Semua