Ajari Engko, Bu…

Maisya Farhati 1 Agustus 2011

Kawan, total jumlah murid di sekolahku – yang berarti dari kelas 1 s.d. kelas 6 – hanyalah 53 orang. Tidak mengherankan untuk ukuran sekolah di daerah yang bisa dibilang cukup terpencil, mengingat populasi masyarakatnya juga memang tidak banyak. Hal ini cukup kontras dengan jumlah murid di perkotaan. Aku ingat, pertama kali aku pindah sekolah ke Bekasi di kelas 6 SD, jumlah murid di kelasku mencapai 54 orang. Jumlah tersebut bahkan melebihi total murid di tempatku mengajar sekarang.

Jumlah murid yang tidak banyak ini sebetulnya bisa menjadi keuntungan bagi guru. Dengan murid yang tidak terlalu banyak di setiap kelasnya, guru dapat lebih mengendalikan kelas dan memantau perkembangan tiap muridnya secara lebih komprehensif. Ya, itu idealnya. Namun kenyataan tak selalu manis, bukan?

Jumlah murid paling sedikit adalah kelas 2. Kelas itu hanya berisikan tiga orang murid. TIGA. Itu saja. Awalnya aku pikir mudah. Namun ternyata, ketika aku mengajar kelas dua di minggu pertama masuk sekolah, dunia seakan mau runtuh. Bukan saja karena ternyata mereka belum bisa membaca, namun dua dari tiga murid itu, yang adalah laki-laki, bagiku adalah murid-murid yang spesial. Aku tidak mau menggunakan istilah anak nakal dan sampai detik ini tak pernah ada satu pun muridku yang aku bilang nakal. Mereka ‘hanya’ masih kesulitan untuk fokus saat belajar. Apalagi kelas-kelas hanya disekat oleh papan sehingga suara dari kelas sebelah bisa sangat jelas terdengar. Dan di sini aku berusaha keras untuk membantu mereka agar bisa fokus dan menemukan kecintaan mereka pada belajar.

Izinkanlah aku menggambarkan secara umum perjalanan singkatku mengajar kelas 2 selama beberapa hari, karena aku hanya menggantikan guru kelas yang saat itu berhalangan untuk mengajar. Satu orang murid perempuan, Ely namanya, adalah tipe murid dambaan para guru. Pintar, patuh, dan menghargai guru. Mengajari Ely bukanlah perkara sulit. Sementara dua orang lainnya, hanya lima sampai sepuluh menit bisa duduk manis di bangku masing-masing. Sisanya mereka berkelahi, saling berebut tempat duduk, berebut kertas, lari berhamburan ke luar kelas, dan lainnya. Aku berusaha menarik perhatian mereka dengan mengajak mereka bernyanyi. Yes, it did work. Tetapi dalam hitungan beberapa menit setelah itu, mereka akan berkata, “Bu..lepang, Bu…” (Bu..capek, Bu…).

Di sekolahku, guru dan murid terbiasa berkomunikasi dengan tangan atau bambu. Yang aku maksud di sini adalah cubitan, jewer, maupun pecut. Yang menjadi perhatianku, apa gunanya semua itu jika murid-muridku tak tahu mengapa mereka tak boleh melanggar peraturan ataupun tak tahu bagaimana seharusnya mereka bersikap. Aku berpikir bahwa kami benar-benar perlu bicara. Maka hal itu aku mulai dari kelas 1 dan 2 di minggu pertamaku mengajar. Aku ajarkan mereka lewat nyanyian dan dialog. Dan saat kelas 2 sangat sulit diatur, aku mengajak mereka menyanyi “Satu..satu..aku sayang ibu..”. Lalu aku bertanya apakah mereka sayang kepada ibu dan ayah mereka? Mereka menjawab “ya”. Maka aku mengatakan bahwa jika mereka sayang, bahagiakanlah kedua orang tua mereka dengan belajar yang rajin, sungguh-sungguh, dan menyimak penjelasan guru. Mereka terdiam sejenak dan kemudian mengiyakan, walaupun setelah itu mereka mengeluh “lepang” lagi.

Aku percaya tidak ada yang sia-sia. Nilai-nilai kebaikan akan bisa diinternalisasikan lewat berbicara dari hati ke hati. Semua hanya masalah kebiasaan. Yah..dan waktu. Jika mereka terbiasa untuk berdialog, mereka akan belajar untuk memahami masalah, memahami sebab-akibat. Mereka tidak akan berbuat baik hanya semata-mata menghindari sebilah bambu yang akan mendarat di kaki mereka.

***

Selanjutnya, aku tidak mengajar kelas 1 dan 2 lagi. Aku mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris kelas 3-6, serta IPS dan Keterampilan kelas 4-6. Namun, ada sesuatu yang menyentuh hatiku di minggu ketiga sekolah. Saat itu, guru kelas 2 belum datang. Aku kebetulan lewat kelas 2 untuk mengajar di kelas lain. Sungguh pemandangan yang tak pernah kukira. Mereka semua sudah duduk dengan rapi di bangku masing-masing walaupun guru mereka belum hadir. Dan saat aku lewat, Haris, salah seorang dari mereka berkata kepadaku, “Bu..ajari engko, Bu…” (Bu…ajari saya, Bu..). Haris seolah sedang kehausan ingin diberi minum. Ia haus ingin belajar. Dan di hari lain, dengan setting yang hampir sama, Haris berkata lagi kepadaku setengah memohon, “Bu…ngajar dinna, Bu…” (Bu, mengajar di sini, Bu…).

Sayangnya aku harus mengajar di kelas lain. Haris terlihat kecewa. Dulu ia kesal karena tak ingin belajar, kini ia terlihat kesal karena tak bisa belajar. Aku meninggalkan mereka dengan air yang tertahan di sudut mataku.

[290711]


Cerita Lainnya

Lihat Semua