Gaudeamus Igitur

Maisya Farhati 1 Agustus 2011
Pagi itu, aku sedang membuka-buka buku Iilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dua hari lagi masuk sekolah dan aku mencoba membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Karena alasan jatah jam mengajar minimum bagi guru-guru lainnya, aku mendapat tugas mengajar mata pelajaran IPS, Bahasa Inggris, dan Keterampilan, bukan menjadi wali kelas. Rumah sepi. Ibu pergi mencari rumput. Kina, adikku yang berumur empat tahun, ikut ibu. Sementara Bapak belum pulang melaut. Di rumah hanya ada aku dan Romlah, adikku yang baru saja lulus MTs. Kami sama-sama diam. Romlah sedang serius membaca salah satu majalah yang aku beli di Pasar Blauran, Surabaya. Aku mengambil handphone dan earphone. Untuk memecah kesunyian, aku mendengarkan mp3. Rasanya lama juga telinga ini tak mendengarkan musik. Maka mengalirlah lagu-lagu di playlist-ku sementara otakku sibuk berpikir mengenai langkah-langkah pembelajaran yang sekiranya menarik untuk diterapkan di sekolah baruku. Tiba-tiba lagu itu mengalun. Syahdu namun tegas. Syahdu dan membuat merinding. Lagu itu berjudul Gaudeamus Igitur. Ah ya, aku baru ingat. Beberapa waktu lalu aku mendengar sahabatku Wintang memutar lagu ini di mp3-nya dan memintanya mengirimkan ke handphone-ku. “Eh, ini lagu wisuda ya?” tanyaku polos, berusaha mengingat dimana aku pernah mendengar lagu ini. Wintang mengangguk. Katanya ini lagu berbahasa Latin.  Mendengar lagu ini, kenanganku melayang pada 19 Agustus tahun lalu, di hari wisudaku. Lagu ini menggema di ruangan Grha Sabha Pramana UGM. Saat itu, aku tak tahu jelas makna lirik lagu ini. Namun merinding sekali aku dibuatnya. Aku merasa..bisa bersekolah sampai perguruan tinggi adalah nikmat yang luar biasa. Ini adalah kesempatan yang mungkin bagi kita hanyalah hal sederhana, namun bagi banyak orang bisa jadi merupakan hal yang mewah. Mendengar lagu ini di Pulau Bawean, dalam sunyi, dalam sepi, rasanya memberikan berjuta makna. Kemarin aku sekolah, sekarang aku menjadi guru. Kemarin aku belajar, sekarang aku mengajar. Dan, percayalah, dalam mengajar itu pun selalu ada proses belajar. Karena mengajar berarti kembali belajar. Rene Suhardono dalam salah satu bukunya yang berjudul “Career Snippet” menuliskan bahwa pendidikan yang ideal mengajarkan CARA berpikir (how to think), bukan APA yang harus dipikirkan (what to think). Baiklah, kalimat tersebut mungkin bisa berujung pada diskusi yang sangat panjang. Namun aku sampai pada suatu kesimpulan bahwa mungkin ada benarnya. Aku berada di sini, bergabung dalam Gerakan Indonesia Mengajar, salah satunya karena pendidikan telah mengajarkanku cara berpikir. Pendidikan telah mengajarkan kami, para Pengajar Muda, cara berpikir. Pertanyaan yang kerap muncul dari orang-orang mengenai keputusan kami antara lain adalah: “Kenapa mau bergabung dengan Gerakan Indonesia Mengajar?” “Apa yang membuat kamu mau melakukan ini?” “Kok mau tinggal di tempat-tempat yang jauh ‘hanya’ untuk menjadi guru?” Kurang lebih, inilah cara berpikir kami: Kami sudah banyak menerima. Kami menimba ilmu sejak TK, SD, SMP, SMP, S1, bahkan ada yang sudah lulus S2. Selama itu kami menerima pendidikan. Dan dengan pendidikan itu wawasan kami lebih terbuka, kami bisa melihat dunia, dan sampai pada suatu titik dimana kami ingin ilmu yang kami miliki ini bermanfaat. ”So, this is the time to give back,” kata-kata itu pernah dilontarkan oleh salah satu Pengajar Muda dan diamini oleh para Pengajar Muda lainnya. Yes, this is the time to give back. Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi. Rasanya slogan Indonesia Mengajar itu menjadi salah satu hal yang menggerakkan diriku, memantapkan langkahku, hingga akhirnya aku berada di sini. “Kalian hadir di sana bukan untuk mengubah mimpi mereka sepenuhnya, namun setidaknya kalian dapat memberikan pilihan-pilihan yang ada di luar ‘dunia’ mereka,” kira-kira itulah yang disampaikan oleh Edward Suhadi, seorang fotografer profesional yang pernah menyaksikan langsung kehidupan Pengajar Muda I di Halmahera Selatan beberapa bulan lalu. Sekali lagi, aku, kami, bukan pahlawan yang bisa memecahkan semua masalah. Kehadiran kami adalah demi melunasi janji bangsa, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dan kebahagiaan bagi kami adalah ketika orang-orang yang jauh di sini dan di sana, tempat-tempat yang masih merupakan bagian dari negeri ini, bisa merasakan nikmatnya pendidikan. Dan suatu saat, dalam diri mereka tertanam cara berpikir. Cara berpikir tentang bagaimana membangun diri, masyarakat, dan bangsanya.

Vivat academia! Vivant professores! Vivat membrum quod libet Vivant membra quae libet Semper sint in flore.

(Panjang umur akademi! Panjang umur para pengajar! Panjang umur setiap pelajar! Panjang umur seluruh pelajar! Semoga mereka terus tumbuh berkembang!)
*petikan lirik Gaudeamus Igitur
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gaudeamus_igitur
[10072011]

Cerita Lainnya

Lihat Semua