Pesawatku

Maisya Farhati 1 Oktober 2011

 

21 Agustus 2011. Minggu pagi itu aku punya janji dengan murid-muridku. ‘Naik-naik ke puncak gunung’, begitulah kira-kira tema jalan-jalan yang kami rencanakan. Yah…dusunku memang sudah di gunung, tapi masih ada bagian dari dusun ini yang ternyata belum pernah aku kunjungi, khususnya daerah dan rumah-rumah yang letaknya lebih menanjak lagi dari sekolah dan tempat tinggalku. Dan banyak pula murid di sekolahku yang rumahnya di sana, cukup jauh dan terpisah dari rumah penduduk kebanyakan.  Aku sendiri tak tahu persis kemana kami akan menuju, maka aku mempersilakan murid-muridku menjadi pemandu pagi itu.

Perjalanan itu membawa kami ke bukit rumput dekat rumah Wahid, murid kelas lima. Anak-anak serempak memanggil Wahid, kemudia ia muncul dari pintu belakang rumahnya dan segera bergabung. Banyak hal seru yang kami lakukan hari itu: membaca buku, mendengarkan cerita (aku berperan sebagai pencerita), menyanyi, bermain musik (dengan alat musik dadakan dari botol-botol bekas), bermain bola, dan memanjat pohon belimbing (untuk hal ini, aku hanya sebagai penonton :D). Namun selain itu, ada satu kegiatan yang paling berkesan, yaitu menerbangkan pesawat cita-cita.

Sesampainya di bukit, aku meminta murid-muridku duduk melingkar. Lalu aku bagikan masing-masing selembar kertas. Di kertas itu, mereka menulis nama dan cita-cita mereka. Ada yang ingin menjadi guru, polisi, pramugari, penyanyi, penari, bahkan anggota DPR (kebanyakan orang Bawean melafalkannya: di-pi-er. Sepertinya cara mereka mengeja huruf sedikit banyak mendapat pengaruh dari Malaysia. Sebagaimana mereka mengeja es-em-pi untuk SMP).

“Saya mau jadi di-pi-er, Bu,” ujar Harun sambil nyengir.

“Oh..maksudnya anggota DPR?” tanyaku sambil tersenyum. Ia mengangguk.

“Mengapa Harun mau menjadi anggota DPR?” tanyaku lagi. Penasaran. Ini bukanlah cita-cita yang lazim aku dengar dari murid-muridku.

“Supaya punya uang banyak!” jawabnya polos. Aku kaget. Belakangan aku tahu dari ibu angkatku bahwa kakek Harun adalah anggota DPRD di Madura.

Aku membantu meluruskan kepadanya, bahwa tugas anggota DPR itu adalah mengabdi untuk masyarakat. Kemudian aku memancing murid-muridku bagaimana seharusnya seorang abdi masyarakat.

“Harus jujur tidak?”

“Harus…”

Lalu anak-anak lain menambahkan bahwa anggota DPR harus membela rakyat. Wah!

Dalam lingkaran kecil pagi itu, semua muridku mendapatkan giliran untuk menyebutkan cita-citanya dan apa usaha yang mereka lakukan untuk mencapai cita-cita tersebut. Memang jawaban mereka cenderung seragam dengan jawaban teman-teman sebelumnya. Hanya saja kalimatnya yang sedikit berbeda, atau ditambahkan sedikit-sedikit.

“Saya akan belajar sungguh-sungguh dan berdoa,”

“Saya akan rajin belajar, menghormati orang tua, dan berdoa,”

Mungkin terdengar sederhana. Hal sederhana ini semoga bisa tertanam dalam benak mereka dan benar-benar mereka laksanakan. Setelah semua mendapat giliran, tibalah waktu menerbangkannya. Sebelum menerbangkan pesawat tersebut, mereka berdoa dalam hati, memanjatkan segala pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. Semoga cita-cita mulia itu dapat tercapai.

Dan..wuss… Beterbanganlah pesawat-pesawat harapan itu tertiup angin Pinang Gunung, melayang-layang beberapa saat.

Terbanglah…terbanglah setinggi  dan semulia cita-cita kalian. Biarkan angin, langit biru, dan awan putih ini menjadi saksi bahwa kalian berani bermimpi dan bertekad untuk tak mudah putus asa. Doa Ibu selalu menyertai kalian. 


Cerita Lainnya

Lihat Semua