“Itu adik-adikmu…”

Maisya Farhati 1 Oktober 2011

 

“Itu adik-adikmu. Kita tidak akan membiarkan adik-adik kita ‘jatuh’…”

 

Aku baru tahu, bahwa guru adalah orang pertama yang bersedih hati saat tahu hasil ulangan atau ujian siswanya kurang memuaskan. Pada saat itulah guru melakukan monolog, mempertanyakan banyak hal kepada dirinya sendiri.

“Apa yang sudah aku ajarkan?”

“Apa yang telah aku lakukan untuk memotivasi murid-muridku agar belajar dengan giat?”

“Apa yang salah dalam caraku mengajar?”

“Apa kekuranganku? Bagaimana caraku memperbaikinya?”

Dan banyak pertanyaan lainnya.

Hari itu, sebulan yang lalu, murid-murid kelas 6 ulangan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Sepulang sekolah aku mengetik sebuah pesan singkat. Aku mengadu. Aku mencurahkan perasaanku. Aku bilang bahwa hasil ulangan pertama murid-muridku ternyata tak sebaik ekspektasiku. Aku bilang bahwa selama belajar di kelas, mereka semua aktif dan bisa menjawab sebagian pertanyaanku dengan benar. Mereka juga berebut mengacungkan tangan saat aku adakan kuis lisan (semacam cepat tepat). Mungkin semua itu hanya terekam dalam memori jangka pendek mereka.

Memori jangka pendek. Ya, hal itu dibenarkan oleh Ibu Wei Lin Han, salah satu pembimbing setia Pengajar Muda semenjak pelatihan intensif di Bogor beberapa bulan lalu. Kepada Ibu Wei lah aku mengadu siang itu. Kata Ibu Wei, aku masih punya banyak waktu untuk mencari strategi terbaik dalam mengajar murid-muridku.

Aku juga jadi teringat perkataan Pak Munif Chatib, salah satu pembicara dalam pelatihan tersebut yang memberikan materi mengenai Multiple Intelligence. Bahwa sesungguhnya semua anak itu cerdas, hanya saja kecerdasan mereka berbeda-beda. Tugas guru adalah membantu mereka menemukan kecerdasan mereka. Dan jika metode mengajar guru = cara belajar siwa, maka belajar menjadi hal yang menyenangkan dan tidak ada pelajaran yang dirasa sulit oleh siswa. Itulah tugas guru. Itulah tugasku.

“Itu adik-adikmu. Kita tidak akan membiarkan adik-adik kita ‘jatuh’…”

Itulah petikan pesan singkat dari Ibu Wei Lin Han yang muncul di layar telepon genggamku. Aku ingin menangis. Ada haru, ada optimis. Betul sekali, aku tak akan membiarkan mereka ‘jatuh’. Selama setahun ke depan aku ingin memberikan yang terbaik yang bisa kuberikan.

Mengajar adalah seni yang tak punya rumus pasti. Tetapi banyak sekali ‘resep’ yang bisa dicoba di kelas dan dimanapun tempat anak-anak bisa belajar. ‘Resep’ yang bisa kucari di buku catatanku selama pelatihan, di email inbox yang berisi cerita para Pengajar Muda lainnya, dari buku bacaan, dan dari kreativitasku sendiri setelah mengamati kebiasaan murid-muridku.

Tugas setahun ini adalah marathon, bukan sprint. Aku ingat hal itu pernah dikatakan oleh Pak Hikmat, Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar. Oleh karenanya, aku harus bisa menjaga energiku agar selalu stabil. Tidak semua hal dapat dicapai di bulan-bulan awal mengajar. Tapi, tak ada hal yang sia-sia kan selama kita mau berusaha?


Cerita Lainnya

Lihat Semua