Cita-cita Anak HTI

M. Nurul Ikhsan Saleh 23 Juli 2014

Setiap anak yang terlahir, kelak akan memiliki keinginan akan menjadi seperti siapa dia. Keinginan inilah yang kemudian disusun menjadi rangkaian kata “cita-cita”. Cita-cita adalah sebuah gambaran imajinasi yang diinginkan oleh seseorang di masa depan. Munculnya cita-cita dari seorang anak haruslah difasilitasi dengan baik oleh para orang tua dan para guru. Jangan sampai cita-cita dari seorang anak dimatikan. Dengan berbekal cita-citalah, anak-anak muncul semangat belajar agar mencapai cita-citanya tersebut. Selama cita-citanya positif kenapa harus dilarang, malah sebaliknya harus didukung.

Tak peduli apakah anak-anak itu lahir dalam keterbatasan sekalipun. Bahkan saya pun melihat cita-cita anak yang terlahir dalam keterbatasan fasilitas sekalipun mereka tetap memiliki cita-cita tinggi. Seperti halnya di mana tempat saya bertugas menjadi Pengajar Muda,di sinibelum ada listrik, jalanan rusak bahkan licin berlumpur di kala hujan karena belum diaspal sedikitpun. Sehingga bukan sesuatu yang aneh apabila kebanyakan anak-anak tidak masuk sekolah apabila hujan deras, karena memang jalannya sangat sulit ditempuh, lebih-lebih dikarenakan olehsering dilewati truk-truk pengangkut singkong yang manambah parahnya kondisi jalan.Tidak jarang juga seorang guru harus pulang kembali ke rumahnya karena di tengah jalan jatuh dan dipenuhi lumpur ketika hendak menuju ke sekolah. Tapi tetap saja, anak-anak di sinibercita-cita tinggi.

Sekolah tempat saya mengajar hampir seluruhnya di kelilingi oleh pohon karet dan singkong, hanya ada beberapa rumah-rumah kecil di sebelah kanan sekolah. Sampai saat ini pun sekolah yang terbuat dari kayu itu berdiri kokoh sejak berdiri tahun 2002. Meskipun kadang kala pihak sekolah harus siap sedia memperbaiki atap sekolah yang sesekali asbesnya terbang diporak-porakdakan angin kencang. Walaupun demikian, kesederhaan kelas SDS Terang Agung tetap tidak menyurutkan anak belajar untuk mengejar cita-cita mereka demi masa depan mereka yang lebih baik.

SDS Terang Agung sejak berdirinya sampai pertengahan tahun 2014 belum bisa menjadi negeri karena memang bangunan sekolah berdiri di atas lahan HTI (Hutan Tanaman Industri). Siswa di sekolah tersebut berjumlah seratus dua puluhan pada tahun ajaran 2013l2014. Sedangkan jumlah guru sebanyak enam orang, kesemuanya perempuan, saya adalah satu-satunya guru laki-laki disekolah itu dengan ditemani kepala sekolah.Jumlah kelas ada lima, sehingga antara kelas satu dan kelas dua seringkali dalam proses pembelajaran digabung menjadi satu dalam satu kelas, atau kadang kala bergantian, terlebih dahulu kelas satu yang masuk. Di kala kelas satu pulang, baru kemudian kelas dua menyusul masuk ke kelas untuk belajar.

Inilah sekolah tempat saya mengajar yang telah mengajarkan banyak hal pada saya. Pertama, saya belajar tentang sebuah ketangguhan. Betapapun sulitnya rintangan yang menghadang dan keterbatasan yang miliki, saya harus tetap tangguh berjuang keras bersama guru-guru untuk memberikan yang terbaik untuk anak-anak tercinta di sekolah. Pelajaran ini juga saya dapatkan dari salah satu anak didik saya yang bernama Anita Sari, dimana setiap hari harus menempuh jarak berkilo-kilo pergi ke sekolah padahal anak itu dalam sehari hanya makan satu kali di kala siang hari. Pagi, sore dan malam tidak. Kedua, keikhlasan. Saya belajar tentang keikhlasan dari para guru-guru di sini betapapun mereka keseluruhannya belum PNS dan dengan pendapatan ekonomi sehari-hari tidak besar, mereka tetap semangat setiap hari pergi ke sekolah untuk mendidik anak-anak.

Ketiga, ketulusan. Saya juga belajar ketulusan dari guru-guru di sini. Betapa pun kadang kala ada orang yang kurang menghargai apa yang telah diusahakan guru-guru bertahun-tahun mendidik, guru tetap berdiri tegak di depan kelas setiap hari menemani anak-anak tanpa keluh kesah. Keempat, saya belajar tentang kesungguhan. Para guru di sini selain mengajar, kadang kala harus mencari tambahan penghasilan dengan cara sebelum berangkat ke sekolah terlebih dahulu menderes (mengambil getah karet)di kebun, kadang juga habis mengajar di sekolah harus meleles (mencari sisa-sisa singkong hasil panen di kebun orang). Waktu-waktu yang sibuk melinyelimuti para guru setiap hari tetap tidak menyurutkan semangat untuk mendidik di sekolah.

Betapa saya bersyukur sekali karena lewat menjadi Pengajar Muda pada Gerakan Indonesia Mengajar, saya banyak belajar tentang banyak hal. Baik dari anak-anak, guru-guru dan masyarakat yang tinggal di dusun tempat saya tinggal. Setidaknya satu hal lagi yang saya pelajari dari masyarakat di sini adalah tentang sebuah perjuangan tanpa henti. Mereka setiap hari ke kebun untuk mencari penghasilan agar bisa membiayai kehidupan keluarga di rumah.Jadi, sudah menjadi rutinitas yang membahagiankan bagi mereka para orang tua murid, di mana setiap pagi-pagi buta pergi ke ke kebun untuk menderes.

Kembali lagi ke bahasan awal. Di kala anak-anak hidup dalam kesederhanaan di banyak sisi, tapi mimpi-mimpi mereka harus tetap dirawat, bahkan harus didorong. Seperti juga sering diungkapkan oleh Anies Baswedan, “Rumah boleh di kampung, rumah boleh di kepulauan, tapi mimpi (cita-cita) taruh di langit”.Salah satu cita-cita murid sayayang berbeda dari anak-anak pada umumnya yang rata-rata ingin menjadi dokter, guru, polisi, dan TNI adalah cita-citanya untuk menjadi pemadam kebakaran. Sedangkan satu lagi cita-cita yang cukup unik adalah cita-cita seorang murid yangapabila sudah besar nantinya, ingin memerdekakan HTI, agar HTI bisa menjadi seperti dusun lain yang resmi menjadi tempat tinggal penduduk. Cita-cita anak yang terakhir inilah yang oleh Bachtiar Basri selaku Bupati Tulang Bawang Barat (sekarang Wakil Gubernur Provinsi Lampung) seperti yang dipesankan kepada saya, agar tidak dimunculkan. Karena cita-cita seperti itu tidak baik.

Saya pun tercengang setelah melihat, betapa cita-cita yang dimiliki anak HTI yang masih kecil sekalipun belum terbayangkan oleh saya sebelumnya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua