info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Messawe Totammaq

Luluk Aulianisa 25 Juli 2012

Perlu ada tulisan tersendiri untuk menceritakan tentang Messawe Totammaq yang telah berlangsung sejak tanggal 25 -28 Juni 2012. Acara tahunan terbesar yang selalu ditunggu-tunggu. Beruntung pendatang sepertiku pernah mengalaminya dan mungkin ini tidak akan pernah terlupakan seumur hidup. Sepertinya acara ini juga tidak dimiliki semua tempat di Majene. Yang paling khas dan terbesar adalah di kecamatan penempatanku selama menjadi pengajar muda yaitu Kecamatan Sendana.

Messawe Totammaq (bahasa Mandar) adalah penamatan massal dan Khatamul Qur’an SD/MI dirangkaikan dengan  perkemahan, lomba PRAMUKA, penyerahan medali serta hiburan. Setiap lulusan SD/MI dipakaikan pakaian haji versi Mandar. Laki-laki memakai baju terusan putih dan kain kepala beserta aksesorisnya. Perempuan memakai ciput, kain bercorak untuk di kepala, baju khas Mandar, lipa sa’be (sarung bawahan) beserta aksesorisnya (anting, gelang dan kalung besar) dan memegang kipas. Jangan lupakan juga satu aksesoris lainnya yang dipakai mereka semua yaitu KACAMATA!!! Baik itu kacamata sejenis frame-less, sunglasses, ray-ban, tahun 70-an, lensa kuning bahkan kacamata yang sering dipakai remaja labil dalam sinetron sejenis FTV atau Putih Abu-abu. Entah apa alasannya yang mengharuskan mereka memakai kacamata seperti itu. Ketika kutanya “ Ya, begitu memang ji, Bu “ Aku hanya bisa melongo dilanjutkan dengan decak kagum.

Messawe Totammaq untuk orang Limboro adalah ajang pindah desa. Mereka hanya berpindah tidur saja. Hampir semua orang turun gunung. Ada guyonan yang berkembang bahwa ‘hanya kucing yang tidak turun saat penamatan’.  Bisa dipastikan kemah Limboro adalah kemah yang paling ramai. Para orang tua murid sibuk mempersiapkan ini-itu untuk hajatan buah hatinya. Saat masih di Limboro, mereka sibuk membuat baye’. golla kambu, ketupat, bolu dan kande-kande (makanan ringan-bahasa Mandar) lainnya. Bahkan ada yang membawa ayam hidup beberapa ekor (ya, hidup!) untuk dipotong di kemah. Dari mulai kakek, nenek, om, tante, adik, kakak,keponakan, sepupu satu kali, sepupu dua kali, sepupu berkali-kali, semuanya, tanpa terkecuali ikut turun menyaksikan perhelatan akbar tersebut.

Para lulusan terbaik setiap sekolah di Kecamatan Sendana mendapatkan kehormatan untuk naik kuda sambil diarak. Merupakan suatu kebanggaan terutama untuk orang tua apabila anaknya bisa naik kuda saat Messawe Totammaq. Hanya delapan ranking tiap sekolah yang penilaiannya berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN), Ujian Sekolah (US), dan rapot. Satu kuda dinaiki oleh dua lulusan. Jadi, satu sekolah mendapatkan jatah empat kuda. Ada 25 lima SD/MI di Sendana sehingga jumlah total ada 100 kuda yang siap ‘menggoyang’ Lapangan Bu’ra Sendana, Somba.

Ada yang unik dari kuda yang didatangkan langsung dari Polewali ini. Kuda tersebut sudah terlatih untuk mengangguk-anggukkan kepalanya. Untuk kuda yang memiliki kemahiran menengah, gerakan kepala bisa diselaraskan dengan hentakan kakinya.  Bahkan untuk kuda yang memiliki kemahiran lanjut setaraf expert-user, gerakan kepala dan kaki bisa seirama dengan pukulan rebana yang diselingi pula dengan kalinda’da, sejenis pantun berbahasa Mandar. Itu dinamakan dengan sayyang pattu’du

Ckckckck…butuh berapa lama kuda itu dilatih ya? Luar biasa!

Aku sempat tertawa-tawa ketika mendengar penjelasan Bapak Camat Sendana yang mengisahkan tentang diterbangkannya kuda Polewali via pesawat  ke Jakarta untuk menghadiri acara kebudayaan di Istana Presiden yang menampilkan sayyang pattu’duCkckckck..memangnya di Jakarta tidak ada kuda ya? Mengapa harus jauh-jauh dari Polewali? Aku membayangkan belasan kuda itu dibawa pesawat saja sudah sangat lucu. Aku tergelak. Namun setelah dipikir-pikir, tentunya kuda di Jakarta belum terlatih untuk menganggukkan kepala selaras dengan kakinya. Hal yang hanya bisa dilakukan kuda terlatih saja tentunya. Berbanggalah kalian wahai Kuda Mandar ! :p

Siang hari terik membakar muka yang semakin malo’tong (hitam-bahasa Mandar) ditambah dengan ratusan orang yang memenuhi lapangan berdebu nan luas di Somba. Perpaduan apik yang bisa membuat orang kejang-kejang karena kehausan. Namun justru hal tersebut tidak menggoyahkan semangat warga untuk mengarak kuda, menggebuk rebana dan melantunkan kalinda’da. Para pendamping yaitu orang tua murid yang ranking membawakan payung yang sudah dihias supaya anak-anaknya tidak kepanasan.

Yang menarik penglihatanku adalah anak-anak, para lulusan SD/MI terpilih. Dengan dandanan dan aksesoris yang tidak biasa mereka pakai, ditambah dengan ‘ganasnya’ gerakan kuda membuat wajah mereka terlihat seperti pasrah dan agak takut-takut,  khawatir terpelanting jatuh dari kuda yang sedang on-fire. Tapi jangan salah, pastinya mereka itu juga sangat bangga dan merasakan sensasi luar biasa bisa menunggangi kuda ! Yihaaaaa….

Arak-arakan pun dimulai. Bapak Camat membukanya dengan mengibarkan bendera kotak hitam putih layaknya bendera racing. Hal lucu lainnya juga adalah aksi parawana, pemukul rebana. Dengan irama yang mengundang untuk goyang dan aksi teatrikal mereka dengan menampilkan ‘monyet dan burung pelatuk’ jadi-jadian betul-betul mengocok perut. Hahahahaha….

Sebenarnya saat itu, aku sedang kabur. Ada apa gerangan ? Indoq menyuruhku untuk naik kuda selepas arak-arakan bersama Sabira, adikku yang baru lulus juga namun tidak mendapatkan ranking. Indoq ingin sekali aku memakai pakaian haji dan didandani khas Mandar. Bahkan lebih ekstrim lagi, Indoq rela menyewa kuda untuk keliling demi membawaku dan Sabira. Aku hanya bisa cengar-cengir. Suatu kehormatan bagiku untuk bisa naik kuda dan memakai pakaian khas Mandar.

Namun, aku juga ngeri membayangkan bahwa aku akan didandani ala Mandar beserta aksesorisnya yang aduhai itu. Aku tidak tega menolak permintaan Indoq padahal paginya aku sudah naik kuda tanpa didandani. Itu saja sudah mengundang perhatian hampir setengah lapangan. Bagaimana jika aku didandani lengkap dengan atributnya????!!!! Aku bayangkan, aku akan ditanggap semua orang se-kecamatan!!

Indoq meneleponku berkali-kali dan tidak kuangkat. Aku berusaha kabur ke kemah SD lain namun tidak sampai hati aku mengabaikan panggilan Indoq. Akhirnya dengan segenap kepasrahan aku menuju kemah dan kudapati wajah Indoq yang cemas menunggu. Peluh keringat membasahi wajahku. Aku lihat Sabira sudah hampir selesai didandani dengan muka yang super duper sangat ma’puteh (putih-bahasa Mandar) tapi lehernya tidak dikasih ma’puteh jadi terlihat belang. Itulah yang kulihat berbeda dari riasan Mandar dengan riasan adat lainnya yang pernah kuketahui seperti Jawa dan Sunda. Walaupun pernah juga kulihat penari pattu’du di Salabose Majene yang memakai riasan bedak putih yang rata dari muka sampai leher.

Tanpa diberi kesempatan membersihkan wajahku yang sangat kucel bin kumel itu, aku ditarik duduk dan mukaku diberikan alas bedak entah apa. Alisku yang dari sananya sudah tebal ditambah lagi ketebalannya dengan pensil alis. Bibirku dihiasi gincu entah warna apa. Aku dipakaikan ciput haji dan kain menjuntai berwarna pink dihiasi bordir-bordir. Indoq memberikanku atasan putih yang sebenarnya bagus namun sayang…TIDAK CUKUP DI BADANKU!!!

Alhasil atasanku yang saat itu memakai bahan sejenis denim sebetulnya sangat tidak cocok dengan lipa’sabe kotak-kotak hitam yang etnik dan untaian kalung lebar sampai perut. Belum selesai sampai disitu, Indoq dan ibu lainnya memasangkan anting bulat yang berukuran besar ke telingaku dengan sangat ‘manis’ sekali. Saking manisnya, aku sampai teriak kesakitan. Lebih kacau lagi, antingnya hanya terpasang sebelah. Telinga satu lagi tidak bisa dimasukkan anting. Jadilah aku seperti preman pasar yang norak karena memakai anting sebelah, ada gantungannya pula.

Indoq tertawa dan beliau pun melepas antingku satunya lagi. Orang-orang yang menonton make-over ku sampai tergelak-gelak termasuk Kepala Desa Limboro.  Mereka semua seakan terhibur dengan pemandangan ini.  Bahkan aku sendiri belum lihat bagaimana rupaku saat itu. Lengkap sudah.  Ngeri.

Sabira sudah menunggu diatas kuda. Kedatanganku ditunggu banyak orang. Melihat itu, aku bukannya bangga. Yang ada malah aku menutupi muka memakai kain menjuntai warna pink itu karena massi’ri (malu-bahasa Mandar). Semua mata memandang dan mungkin menahan tawa. Saat itu aku lebih merasa seperti buronan yang sedang tertangkap setelah diciduk polisi.

Aku pun naik kuda yang sudah tidak sabar menunggu. Saking tidak sabarnya, kuda itu sempat goyang-goyang tidak jelas saat aku beranjak naik. Aku pun waswas. Orang-orang tambah menertawakanku. Dengan semangat ‘45, kuda tersebut berjalan hampir ke tengah lapangan diikuti dengan alunan kalinda’da dan rebana sambil berputar-putar. Aku juga jadi ikut tertawa. Tertawa gila maksudnya. Sampai saat itu aku belum lihat wajahku, takutnya malah pingsan.

Setelah pertunjukan ‘spektakuler’ itu selesai, aku langsung turun dan banyak yang minta foto bersama. Eits..berasa artis padahal mereka pikir ‘kapan lagi berfoto bersama anggota ludruk ibukota???’ Aku  pun cengar-cengir, senyumku lebar, melebihi lebar senyum kuda.

Masuk ke kemah, langsung kuminta cermin bagi siapapun yang membawa. Ketika melihat wajahku setelah dipermak habis-habisan, aku ternganga. Aaaaaaaaarrrggghhhh..bahkan alas bedakku tidak rata, alisku tebal setebal kamus bahasa Inggris, dan bibirku begitu menyala!!!!! Belum lagi kalau kulihat ekspresi dan pose saat tertangkap kamera. Sungguh sangat ekspresif dan bahkan berlebihan. Bajuku yang sangat tidak nyambung dari atas sampai bawah dengan kombinasi aksesoris dan warna mentereng.

Saat itu, buronan polisi yang ada dalam pikiranku berubah menjadi sosok bencong taman lawang. Duh, akika ndak kuku deh bo’!!!

!@$%^Y&**(())^##%^%%$@#$%^^&*(()!@#$%^&&*())%$@@!^()

Sampai sekarang aku selalu ngakak jika melihat foto-foto saat penamatan. Bahkan orang Limboro pun ketika di desa masih suka membahasnya sambil tertawa. Jika aku turun gunung dan bertemu siapapun baik kukenal atau tidak selalu pertanyaan terlontar “ Ki ta (panggilan sopan pengganti kamu) yang naik kuda waktu di Somba ? Yang pakai baju Mandar di’? “

Aku pun mengiyakan sambil tertawa. Mereka pun melanjutkan “ Ki ta sudah jadi orang Mandar di, makkapaq sana’ !” *.

*Kamu sudah jadi orang Mandar, bagus sekali!


Cerita Lainnya

Lihat Semua