Mencari Kebahagiaan; Hanya Sebuah Solilokui

Luluk Aulianisa 11 Desember 2011

There is no growth in comfort zone and there is no comfort in growth zone.

Waktu terus berjalan. Kadang terasa lambat, kadang pula terasa cepat. Hingga detik ini, sudah lewat sebulan aku berada di Kabupaten Majene, tepatnya Desa Limboro. Terpisah jauh oleh jarak dan waktu dengan keluarga, sahabat, dan teman. Menghitung hari demi hari, berkelana ke beragam tempat asing, menjumpai orang dan bahasa baru. Aku menjalani aktivitas berbeda dan selalu saja ada yang unik setiap harinya. Begitu besar pembelajaran dari setiap jengkal kehidupan. Hanya manusia yang berpikir sajalah yang dapat memetik buah hikmah dari segala kejadian. Mungkin awalnya buah itu terasa pahit namun manis di ujungnya. Bukankah hidup terus berputar ?

Kadang aku begitu takjub dengan orang-orang di desa tempat tinggalku sekarang selama setahun kedepan. Coba kalian bayangkan, desaku ini berada di balik gunung yang tinggi. Letaknya yang seperti itu membuat jaringan telekomunikasi tidak akan sampai. Jalan menuju desaku cukup panjang, rusak dan berliku.Melintas gunung dan hutan. Semula aku berpikir, apakah ada yang tinggal di ujung sana ? Apakah ada yang bertahan ? Tanpa sinyal sedikitpun dan listrik hanya mengandalkan tenaga air dalam waktu tertentu saja. Bahkan tidak ada hiburan yang berarti disini. Hanya siaran televisi yang ada selepas magrib hingga pukul 22.00 WITA.

Kota pegunungan. Itulah istilah orang Limboro untuk menyebut tempat tinggal mereka. Aku masih teringat jika ada yang bertanya “ Dimana tempat tinggalmu ? “ Lalu aku menjawab “ Limboro “ selalu respon mereka rata-rata sama “ Jauh sekali itu, tidak ada sinyal pula, sama sekali “ dan mereka bertanya “ Bagaimana di sana ? Betah ? Bosan atau tidak ? “ Jenis pertanyaan seperti itu selalu muncul dari orang-orang Majene yang mengetahui bahwa aku seorang pendatang. Aku pun tersenyum seraya mengucapkan  “ Alhamdulillah, orang Limboro baik-baik “. Memang begitulah adanya,  disini situasi cukup kondusif. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa sesekali kebosanan melanda diriku. Aku tidak bisa berbohong.

Seringkali aku merenung sendiri. Bersolilokui. Itulah waktu berkualitas untukku. Bukankah yang sulit adalah pembelajaran hidup ? Seperti orang Limboro, bagi mereka desanya adalah rumah yang sebenar-benarnya rumah. Mereka terbiasa dengan keterbatasan. Mereka tidak mengeluh harus menempuh jarak jauh, tidak ada listrik apalagi sinyal. Itu semua bukan masalah. Mereka tidak pernah mengenal hingar bingar kota. Mereka bahagia dengan kemurahan alam yang ada di sekitarnya. Mereka bahagia dengan berendam di air panas saat hujan deras, mereka bahagia naik turun gunung mencari kayu bahkan mereka juga bahagia menelusuri hutan untuk mencari kemiri.

Mereka bahagia dengan apa yang mereka yakini kebenarannya.

Aku masih mengingat jelas bagaimana murid-muridku begitu tertawa lepas saat kami pergi ke hutan mencari mangga dan durian. Menelusuri jalan yang banyak ranting berjatuhan, buah-buahan busuk hingga kotoran sapi. Mereka berlari tak kenal lelah. Hingga akhirnya mereka menemukan sungai yang alirannya deras, tak ragu mereka melepas baju dan terjun berenang. Aku melihat kebahagiaan yang tidak terperi dari raut wajah mereka. Seolah mereka menemukan apa yang sangat menarik dalam hidupnya. Hanya dengan begitu saja. Cukup. Padahal diantara mereka ada yang sudah tidak punya keluarga utuh dan kebanyakan dari mereka tumbuh tidak seperti kehidupan anak yang selalu ceria.

Sesederhana itukah definisi bahagia ?

Namun, mengapa sebagian orang masih mencari-cari kebahagiaan ?

Aku terus bercakap dengan diriku sendiri. Mungkin kata kunci pertama untuk menemukan kebahagiaan itu adalah sabar. Sabar yang berlimpah dan tidak kenal batas. Sabar yang tidak berujung hingga akhirnya manusia akan merasa bahagia. Dan  kata kunci kebahagiaan lainnya yaitu bersyukur atas apa yang ada.

Setiap saat, setiap waktu.

Limboro, penghujung November 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua