Kisah tentang Ayah Angkatku

Luluk Aulianisa 14 Februari 2012

Aku ingin menceritakan sosok yang menarik di desaku. Tak lain, beliau adalah adalah ayah angkatku sendiri. Namanya Bakri, seorang Kepala Dusun sekaligus Kepala Madrasah Tsanawiyah DDI Limboro. Kau boleh percaya atau tidak, Kawan ! Selama 3 bulan aku di Limboro, percakapanku dengannya bisa dihitung dengan jari. Ayahku ini sangatlah pendiam dan bahkan jika aku tidak mengajaknya bicara, ia tidak akan bicara duluan. Selama ini aku lebih sering bercerita dengan indoq (Ibu) dan nampaknya indoq ku menceritakan pada ayah mengenai apa-apa yang kukerjakan dengan bahasa Mandar yang tidak kumengerti. Sekali waktu aku menceritakan tentang kegiatanku, respon darinya hanyalah senyum dan berkata ya ya saja.

Ayah tidak pernah memboncengku naik motor, meskipun itu hanya untuk masuk kampung. Apalagi untuk turun dari Limboro yang jaraknya 7 km disertai jalanan yang menurun dan mendaki. Ya, begitulah ayah angkatku. Namun, hari demi hari aku semakin tahu bahwa aku tidak menyesal mengenalnya dan banyak pelajaran yang bisa kuambil dari sosok ayah. Belakangan baru kutahu bahwa ayah terkenal sering jatuh dari motor dan ternyata itu benar adanya. Ayah mengalami kecelakaan di Pamboang saat hendak pulang ke Limboro dari Majene. Badannya luka-luka dan untungnya tidak parah. Dari situ kutahu juga bahwa ayah memang tidak berani membonceng siapapun di motornya meskipun itu istrinya sendiri karena takut jatuh.

Suatu hari, aku pulang mengajar dan di rumah hanya ada ayah dan Afdal, adik bungsuku. Setelah mengucapkan salam, aku masuk kamar dan bersiap lagi untuk turun ke Binanga, mengajar Olimpiade Sains Kuark. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan berkata “ Lulu, makan “. Ternyata itu adalah ayah. Aku terheran biasanya indoq ku yang menyiapkannya namun saat itu ternyata indoq sedang pergi ke kebun. Aku membuka tudung saji dan kulihat disitu sudah lengkap ada menu cumi dan sayur kacang untuk makan siang. Ayah menghampiriku dan berkata “ Sebentar turun ke Binanga ? “ . kata sebentar dalam bahasa Mandar maksudnya adalah nanti. Aku mengiyakan. Ia kembali berkata “ Sudah ada yang antar, pakai motor di rumah, orangnya sudah tunggu di pangkalan “. Aku pun terkesiap. Aku tak perlu repot lagi mencari orang yang bisa antar karena ayahku sudah menyiapkannya.

Suatu hari juga aku dikejutkan dengan kedatangan lemari. Kata indoq, ayah yang memesannya di Majene. Seringkali ia melihat kamarku berantakan karena aku tak punya lemari, barang pun berserakan. Lagi-lagi, aku terdiam dan ingin mengucapkan terima kasih pada ayah. Aku bertanya “ Dimana Ayah, Bu ? “ . Kata indoq, ayah bermalam di kebun untuk menjaga padi supaya tidak dimakan babi. Saat itu aku mendengar suara hujan rintik-rintik membasahi malam.

“ Tidak apa hujan begini, Bu ? “

 “ Tidak apa, sudah biasa. Padi sudah mulai menguning, sayang kalau dimakan babi. Ayah sekalian juga cari sapi “

Untuk diketahui, biasanya orang sini melepas sapinya secara sembarang dan mereka beranggapan bahwa nanti pasti akan ketemu lagi.

Aku tergugah dengan perilaku ayah. Dalam diam, ia memperhatikan, dalam diam ia melakukan sesuatu. Ayahku memang orang baik dan aku percaya itu. Aku ingin mencontoh ayah. Akan kujadikan ia sebagai salah satu teladan dalam hidupku. Terima kasih, Ayah.


Cerita Lainnya

Lihat Semua