"Jangan pisahkan kelasnya, Pak"

Ady Saputra Wansa 18 Februari 2012

Hari ini tanggal 14 Februari 2012, bertepatan dengan hari kasih sayang. Saya patut berbesar hati mengingat sekolah tempat saya mengabdi SD Inpres Sawang Akar semua rombongan belajarnya, telah mendapatkan guru. Sekarang, dan esok tentu saya tidak akan lagi melihat anak-anak berseragam putih-merah itu berkeliaran tanpa ibu asuhnya (guru) di lorong-lorong sekolah. Atau harus di kunci dari luar pintu kelasnya, agar mereka hanya gaduh di dalam kelas mereka saja. Saya juga tentu tidak akan lagi melihat murid-murid ingusan itu (memang mereka masih banyak yang ingusan) duduk berjajar di depan pintu kelas saya melihat kakak-kakak mereka belajar, sembari menunggu saya menyambangi kelas mereka.

Selama ini, hanya ada empat guru saja yang mengajar di sekolah ini (termasuk saya),  beserta dengan kepala sekolah. Tapi kepala sekolah biasanya hanya hadir 2 hari atau 1 hari saja dalam satu minggu. Otomatis setiap hari hanya tiga orang guru yang mengajar enam rombongan belajar. Itupun satu guru harus dijemput dulu oleh anak-anak muridnya, karena kalau tidak, biasanya akan datang mendekati jam istirahat. Biasanya karena saya guru dari "Jakarta" selalu mendapatkan porsi lebih untuk mengajar, yakni tiga kelas (4,5 dan 6). Agar efisens biasanya saya menggabungkan mereka semua dalam satu kelas tentu hal ini tidak efektif tapi apabila mereka tetap berada dikelas mereka masing-masing maka yang terjadi adalah, mereka akan turut keluar dari kelasnya saat saya keluar kelas menyambangi kelas yang lainnya.

Saya merasa senang dengan tambahan dua orang guru baru, tapi ternyata tidak begitu dengan murid-murid yang selama ini saya ajar yakni kelas 6. Kepergian saya di kelas 5 bagi mereka adalah sebuah bentuk "pengkhianatan" dan harus dibalas dengan semua kemarahan. Kejadian ini berawal pada hari senin pagi tanggal 13 Februari 2012. Dari luar pagar saya sudah melihat pintu kelas, kelas 5 yang selama ini tertutup hari ini "tiba-tiba" terbuka, semenjak saya gabungkan kelas 5 dengan kelas 6, baru dua kali pintu kelas, kelas lima dibuka lagi. Pertama waktu rapat dana BOS tanggal 8 Februari 2012 yang lalu, dan yang kedua ya hari ini. Ketika saya masuk, saya melihat siswa kelas 5 sedang membersihkan kelas mereka, dan saat saya bertanya kenapa sekarang mereka kembali lagi ke kelasnya. "bapak kepala sekolah suruh torang pindah ke kelas lima" jawab Suwardi sembari membersihkan kelasnya, "kapan?" tanya saya " waktu kalamarin pak sekolah datang tuh, hari kamiskah? katanya torang kelasnya dipisah, nanti kalau pak Ady datang lagi baru digabung lagi" jelas Suwardi. Minggu kemarin saya memang pergi ke kota kabupaten, sejak hari kamis karena harus mengurus beberapa persiapan OSK (Olimpiade Sains Kuark).

Berdasarkan intruksi kepala sekolah seharusnya saya bisa saja kembali menggabungkan kelas mereka, tapi saya tidak melakukan hal itu. Saya berpikir ini adalah saat yang tepat buat saya untuk kembali mengajari masyarakat disini untuk perduli pada pendidikan anak-anak mereka. Semalam saya sempat membahas habis-habisan tentang kekecewaan saya kepada masyarakat yang hanya ribut dibelakang tidak berani berkata jujur ketika diberikan kesempatan. Kemarahan dan kekecewaan ini tidak bisa saya bendung lagi, pasalnya mereka selalu meributkan tentang tidak transparannya kepala sekolah dalam penggunaan dana BOS dan kerap absensnya kepala sekolah. Pada tanggal 8 februari 2012 yang lalu saya fasilitasi mereka untuk rapat dengan kepala sekolah, pikir saya para orang tua yang selama ini "ngedumel" dibelakang akan datang dan bicara lantang di rapat. Tapi, jangankan bicara datangpun mereka tidak, tampillah dikelas para ibu-ibu yang berbedak tebal dan beginju. Mereka semua sepakat dengan satu notasi yakni hening dan satu simphoni yakni kebisuan.

Apapun model dan macamnya, akhirnya rapat tersebut tetap menghasilkan empat buah putusan penting dan langkah, yakni penambahan guru honorer, uang BOS dipegang bendahara, Transparansi dana BOS, dan pembelian satu set perlengkapan komputer. Tanggal 8 Februari 2012, adalah hari bersejarah pengelolaan pendidikan di Sawang Akar. Tapi apa nyana? sampai satu minggu keputusan itu disahkan keempat-empatnya belum juga terwujud, dan saya memilih untuk tidak bersitegang dengan kepala sekolah. Saya hanya menginformasikan hal-hal tersebut kepada masyarakat yang bertanya di masjid dan di tempat bebaca (tahlilan). Tapi satu minggu juga saya menunggu tidak ada satu orangpun yang datang ke sekolah dan bertanya. Jadi patut kalau saya kemudian geram, dan malam senin saya lampiaskan kemaharan saya itu kepada para orang tua, baik bapak-bapak dan ibu-ibu, baik yang hadir sejak tahlilan tadi atau yang hanya duduk-duduk sebentar dan kemudian terpancing untuk mendekat, mengenai ketdak perdulian mereka. Saya mengancam kalau sayapun tidak akan perduli dengan anak-anak mereka, kalau nyatanya merekapun tidak melakukan apapun untuk merebut hak anak-anak mereka dan mereka sendiri. Unddang-Undang sudah saya lisankan ke telinga mereka, kemarahan dan ancaman sudah saya kabarkan juga. Jadi kalau mereka tetap tidak mau terlibat maka "perang" telah dikobarkan.

Di kelas, pada hari senin tanggal 12 Februari 2012. Saya gunakan momentum pemisahan kelas 5 dan 6 yang dipelopori oleh kepala sekolah, untuk kembali mengabarkan kemarahan saya kepada orang tua mereka lewat keengganan saya mengajar siswa kelas 6 (dalam hal ini saya pikir saya tidak bisa dipersalahkan. Karena dalam kontrak kerja saya dengan SD Inpres Sawang Akar. Saya sebagai guru kelas, kelas lima. Sedangkan kelas enam adalah kepala sekolah. Dan selama empat bulan saya mengajar di SD Inpres Sawang Akar, selama itu pula dua kelas itu dan kadang-kadang kelas empat juga saya yang mengajar. Dalam hemat saya, sekarang tidak lagi "priviledge" itu saya berikan kepada orang-orang yang "tidak perduli" dengan pendidikan anak-anaknya). Ketika masuk di kelas 6 "pak Hamdi kemarin su bilang toh kelas enam deng kelas lima dipisah" saya membuka pembicaraan "pak Hamdi juga, bilang sama bapak kalau semua guru nanti harus merasakan bagaimana rasanya mengajar di kelas 6, bu ustadjah su mengajar ngoni agama toh? nah mungkin nanti pak Ady cuma kasih ajar ngoni Matematika deng Ipa saja" saya diam sejenak "sekarang ngoni harus bacarita, ngoni pe bapak, bilang kalau sekarang pak Ady cuma kasih ajar ngoni matematika deng ipa saja yang lain tarada. Itu berarti selain tiga mata pelajaran, untuk mata pelajaran yang lain ngoni tarada guru yang kasih ajar, kasih tahu ngoni pe bapak biar mereka datang kesekolah dan tanya kepala sekolah. Ingat kasih tahu ngoni pe bapak" kemudian saya pergi meninggalkan kelas mereka.

Entah intruksi itu dipahami apa oleh mereka, tapi hari itu di kelas lima saya kembali membuat aturan baru. Melakukan pemilihan petugas perpustakaan kelas, memilih kembali kapten subasa (sabtu bakar sampah). Entah apa juga yang dipikirkan oleh siswa kelas 5, ketika saya ajak beberapa siswa ke kantor untuk mengambil beberapa buku yang akan digunakan di perpustakaan kelas mereka. Tiba-tiba Suwardi mengacungkan jempol tangan terbalik ke arah anak-anak kelas 6, "cemen". Semenjak kejadian itu, siswa kelas 6 dan kelas 5 mengalami fase baru yakni perang dingin. Pekerjaan pertanian yang sedang dijalankan oleh siswa kelas 6 dan 5 akhirnya menjadi ajang unjuk kekuatan (balas dendam) pertama oleh kelas 6 atas acungan jempol terbalik Suwardi. Semaian cabai Yani tiba-tiba menghilang dari semaian kelompoknya, dan hari itu Yani harus menitikan air mata. Tidak hanya itu, beberapa anak kelas 6 melakukan manifulasi dengan menyabuti beberapa semaian cabai mereka, dan kemudian Yani dijadikan kambing hitam atas hal itu. Untung saja ada Fahrul (siswa kelas enam) yang melihat kejadian itu dan menjadi saksi kalau Yani sama sekali tidak bersalah. Imbasnya juga kepada saya, hari itu selepas sekolah ketika saya berangkat ke masjid untuk sholat dzuhur, saya melihat siswa-siswa kelas enam begitu acuh tidak seperti biasanya, dan ketika selesai sholat "pak mereka kelas enam tara mester (menyahut) waktu tong panggil, mereka marah sama torang" lapor Yani. "Ya pak mereka marah torang, kita gabungkan lagi saja pak kelasnya seperti kalamarin!" pinta Masra. Saya hanya menjawab dengan senyuman sembari menunjuk kearah calon guru baru yang ada di hadapan mereka


Cerita Lainnya

Lihat Semua