Ksatria Hutan Sawit

LiliSakilah 31 Mei 2016

Ditengah-tengah penyulapan lahan-lahan pertanian warga menjadi tanaman megah sawit yang konon bisa menambah kesejahteraan warganya dengan pundi-pundi rupiah yang lebih. Disana pula tersimpan berbagai cerita tentang anak-anak yang hidup di rumah-rumah diantara tanaman megah itu. Diluar apakah penyulapan lahan-lahan itu adalah hal yang baik untuk semua orang, atau bahkan Negara, yang mereka ketahui hanyalah orang tua mereka yang berpeluh tiap harinya bergantung pada tumbuhan sawit untuk membesarkan dan menafkahi mereka.

Tiap harinya, kaki-kaki kecil itu harus menempuh paling tidak 6 kilometer jauhnya untuk pergi ke sekolah. Beruntung, ada tumpangan spesial mereka, truk sawit (disebut: Trek) atau traktor sawit (disebut: Jonder, entah apa ejaan yang sebenarnya) tiap pagi dan akan menjemput kembali setelah lewat tengah hari. Kalau tidak sedang beruntung, ya mereka akan mendarat (berjalan kaki) pulang ke rumah.

Anak-anak yang tinggal di camp-camp sawit itu, sebut saja ‘Ksatria Hutan Sawit’, kebanyakan berasal dari daerah diluar Banggai, saya sendiri tidak mengetahui sejarah awal mula sawit ini mengambil alih pertanian. Dusun tempatku tinggal, adalah dusun transmigran, jadi mungkin, secara perawakan, anak-anak ini sangat mudah dibedakan ketika di sekolah. Tapi, ini semualah yang membuat sekolah tempat saya mengajar menjadi lebih berwarna.

Minggu ini, adalah minggu ulangan umum akhir semester. Tentu saja siswa akan pulang lebih awal dari biasanya, meskipun sama saja, energi yang dihabiskan untuk mengerjakan soal-soal ujian itu tak kalah melelahkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sawit membuat udara siang hari disekitar tempat tinggal kami semakin panas. Beberapa ksatria hutan sawit terlihat duduk di ters sekolah, menunggu ksatria sawit lainnya yang masih di kelas untuk pulang bersama. Sempat beberapa kali kutanyakan apakah jemputan spesial merera itu akan menjemput lebih awal juga ketika musim ujian seperti ini.

“Tidak, Bu! Jemputannya ya sama saja, mungkin nanti jam 2 siang. Kalau bosan menunggu, ya torang pergi mendarat.”  Ketika itu masih pukul 10 pagi meskipun matahari memang sudah benar-benar terik menantang.

 Hari itu, hari keempat ujian. Siswa kelas 6 yang hanya tinggal menunggu hari sampai kelulusannya mengajakku berjalan-jalan ke pos sawit yang ada diatas bukit.

“Ayo, Bu! Belum tentu nanti kitorang bisa jalan-jalan lagi kalau sudah lulus.” Ajak mereka.

Jalan menuju ke pos ada di belakang dusun kami, melewati kebun sawit, komplek pemakaman, tapi mungkin hanya sepertiga dari perjalanan menuju dusun ksatria hutan sawit.

Ketika berjalan perlahan keluar dari dusun kami menuju jajaran pohon sawit yang sudah mengeluarkan bau khasnya, sepertinya saya akan segera mengetahui jawaban atas pertanyaan apa yang dilakukan ksatria hutan sawit sambil menunggu jemputannya. Saya melihat mereka ada di perbatasan desa dengan hutan sawit itu, berlarian dan bermain-main.

“Ibu… mau kemana?”

“Jalan-jalan ke pos dengan Mida, Desi dan Santi.” Jawabku sambil menunjuk siswi kelas 6 yang berjalan bersamaku.

Ba apa?” (untuk apa?)

“Ya berjalan-jalan saya, sekalian mencari sinyal mungkin.” Jawabku sambil tersenyum. Jaringan seluler memang tidak tersedia di dusun kami, jadi harus panda-pandai mencari titik di ketinggian yang paling tidak menyediakan sedikit jaringan untuk berkomunikasi meskipun sekedar menelpon dan mengirimkan pesan singkat.

“Jauh, Bu! Panas! Nanti Ibu hitam, torang saja menunggu disini.” Kata ‘hitam’ itulah yang terkadang membuatku tersenyum, karena bahkan mereka mengkhawatirkanku hingga ke warna kulitku yang mulai berubah selama tinggal disana.

Ingin sekali saya bergabung bermain bersama mereka, tapi sayapun memiliki janji untuk menemani Mida, Desi dan Santi untuk berjalan-jalan. Nanti sajalah, mungkin saat perjalanan pulang. Matahari memang menyengat sekali ketika itu, jalan berbatu diantara hutan sawit juga mulai terasa sangat berdebu. Tapi, itu menjadi perjalanan yang menyenangkan karena kami berempat banyak bercerita tentang kebersamaan kami paling tidak 5 bulan ini.

Perjalanan pulang tentu saja terasa lebih mudah meskipun panasnya tengah hari lebih menyengat lagi, karena perjalanan kami hanya tinggal menuruni bukit. Sesuai dengan rencanaku, selanjutnya aku akan bermain bersama ksatria hutan sawit ditempat mereka menunggu jemputan tadi. Beberapa anak terlihat sudah berlarian dari kejauhan, bermain membawa dedaunan dan ranting-ranting pohon sawit, aku mempercepat langkahku menghampiri.

Tetapi langkahku terhenti ketika lahan kosong sebelum hutan sawit itu kini telah disulap menjadi arena taman bermain yang mungkin keseruannya mengalahkan arena outbond berbayar di perkotaan. Beberapa gubuk dari batang-batang sawit telah berdiri megah, beralaskan daun pisang, mere menyulapnya menjadi senyaman villa transit mereka menunggu jemputan. Bahkan akar-akar pohon yang menjuntai itu dijadikan mereka arena bergelantungan bak tarzan. Ketika aku bertanya mereka menyebut apa arena tersebut, “ini namanya Awuwo kitorang, Bu!” jawab mereka.  Mereka menghipnotisku untuk bisa merasakan kembali apa yang dinamakan masa kecil dan seperti apa indahnya perasaan itu. Meskipun suasana tempatku tinggal sedikit berbeda, ini merupakan kenangan yang mungkin tidak akan saya lupakan tentang kebahagiaan dan kesederhanaan. Padahal, ketika itu waktuku berjalan-jalan ke bukit tadi tidak lebih dari satu setengah jam. Inilah yang membuatku selalu bangga kepada mereka yang terus bisa berkarya dan bahagia ditengah segala keterbatasan yang ada.

Semangat terus ksatriaku, tidak ada tantangan apapun yang bisa menumbangkan kalian!

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua