Ulfa dan Hawari

Lidya Annisa Widyastuti 31 Desember 2014

Awal Berjumpa

Saat itu, Senin, 1 Desember 2014, hujan deras mengguyur Kokas pagi itu, langit gelap, angin bertiup cukup membuat bulu kudu berdiri. Sudah ditetapkan hari itu menjadi hari pertama UAS para siswa di SD Inpres Kampung Baru. Di sini aku menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika untuk kelas 4, 5 dan 6. Aku memberikan ulangan Matematika hari itu. Mungkin karena hujan yang cukup kencang, banyak siswa yang datang terlambat, dan beberapa guru tak sempat datang ke sekolah hari itu.

 Jadilah aku berkeliling kelas 4, 5 dan 6 untuk memberikan soal sekaligus penjelasan pengerjaan soal. Untunglah Pak Taher, wali kelas 3 sedang senggang, karena hari itu kelas 3 ulangan sehingga yang menjaga adalah Ibu Rugaya, guru agama Islam. Langsung ku minta beliau untuk mengawasi kelas 6 karena letak kelas 6 yang bersebelahan dengan ruang guru, dan berhadapan dengan bangunan kelas 4 dan 5. Dengan persetujuan Pak Taher, akhirnya pagi itu aku bolak balik dari kelas 4 dan 5, mengawasi anak-anak dengan wajah serius menghadapi angka-angka yang tertera di kertas soal.

Saat hujan sedang kencang-kencangnya, tiba-tiba kulihat seorang Ibu bersama dua orang anak yang mengenakan seragam merah putih, berjalan ke arah bangunan tempatku mengawasi anak-anak menggunakan sebuah payung kecil. Ku tunggu mereka di depan pintu, dan ku tanya maksudnya.

“Ibu, saya mau mendaftarkan keponakan saya dua orang. Dong (mereka) pindahan dari Bomberay, SD SP (SP itu penamaan area di Bomberay) 8. Sekolah di sana dong (mereka) hanya berdua saja di sekolah itu, Ibu, itu saja hanya diajar oleh suster (perawat), jadi dari pada tra (tidak) sekolah, sa (saya) ajak untuk sekolah di sini,” kata Ibu itu panjang lebar. Pakaian yang dipakai Ibu itu basah kuyup terguyur hujan, begitu pula ke dua anak yang berdiri di sampingnya.

“Ibu, kepala sekolah sedang tidak ditempat. Coba Ibu ke Ibu Rahma dulu untuk melapor. Beliau adalah sekertaris sekolah. Itu beliau yang memakai baju hijau,” kataku.

“Baik, Ibu,” lalu Ibu dan dua anak itu pergi menghadap ke kantor guru.

Ku lihat Ibu itu langsung menghadap Ibu Rahma dan Pak Taher. Sekitar 10 menit kemudian, Ibu itu kembali lagi ke kelas tempat berada. “Ibu, katanya dong (mereka) su (sudah) boleh masuk,” jelas Ibu itu.

“Iyo, Ibu. Dong kelas berapa?” tanyaku.

“Yang perempuan kelas 4, Ulfa. Yang laki-laki kelas 3, Hawari,” katanya.

Kemudian Ulfa ku suruh masuk. Ku kenalkan dia di depan kelas. “Anak-anak, hari ini tong (kita) punya teman baru lho. Namanya Ulfa. Hai Ulfa…,” kataku. “Hai Ulfa…,” kata anak-anak mengikuti.

Karena tempat duduk yang kurang, akhirnya kursi guru ku berikan padanya. Meja pun begitu, Ulfa semeja dengan Ummi, salah satu murid kelas 4. Langsung ku berikan soal matematika kelas 4. “Langsung ko (kau) kerjakan e,” pintaku. Sementara Ibu itu dan Hawari berdiri di luar pintu melihat ke dalam.

Setelah itu ku ajak Hawari ke kelas 3. Ku ketuk pintu, kuberitahu Ibu Rugaya bahwa ada siswa baru masuk hari ini. Saat ku ajak masuk, Hawari seperti takut. Wajahnya berubah sedih. Dia mulai meneteskan air mata dan merengek. Berusaha menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh Mama tuanya. Mama tua itu panggilan setingkat Budhe atau Makwo. Mama tuanya menarik sayang Hawari dan menyuruhnya masuk.

Seperti Ulfa, Hawari juga ku kenalkan di depan kelas. Kemudian mereka mengerjakan soal yang diberikan. Saat keluar istirahat, ku lihat mereka sudah mulai berteman akrab dengan teman-teman sekelasnya. Terutama Hawari, ternyata dia sudah sangat membaur bahkan sudah “main kelereng bareng” di dalam kelas.

Cerita Mereka

Sudah lebih dari 10 hari Hawari dan Ulfa bersekolah di SD Inpres Kampung Baru. Aku cukup senang betapa bersemangatnya mereka belajar dan bermain bersama teman-teman. Hari ini tanggal 15 Desember 2014, sudah selesai UAS, saatnya santai bersama anak-anak. Sudah ku siapkan semuanya. Aku ingin menonton bersama anak-anak semua gambar dan video yang sudah kami lalui bersama. Sebenarnya hari ini juga peringatanku sudah 6 bulan berada di sini.

Namun betapa teledornya aku, speaker lupa ku bawa! Akhirnya aku pulang sendirian ke rumah, ku biarkan anak-anak menonton melalui proyektor yang terpantul ke dinding kelas 1. Ku percepat langkah, takut tidak ada yang jaga, guru-guru belum ada yang datang. Setelah mengambil, aku langsung mengambil langkah lebar agar cepat sampai sekolah. Sudah kubayangkan betapa menyenangkan menonton foto dan video itu bersama mereka.

Saat sampai di kelas, pasukan yang sudah duduk teratur terpecah-pecah. Ada yang menonton langsung melalui laptop, ada yang main kelereng di luar, ada juga yang main sapu lidi di pojokan kelas. Langsung ku panggil semua. Meminta mereka kerja sama lagi untuk menonton bersama di kelas. Entah kerena gambar pantulan di dinding yang tidak terlalu jelas, cahaya yang masuk ke ruang kelas 1 terlalu kencang, terlalu banyak anak di kelas itu, atau suara dari speaker yang tidak terlalu keras, sehingga membuat beberapa anak mulai gelisah dan berkelompok, untuk mengobrol atau pun main.

Karena sudah terlalu bising, dan dikhawatirkan baterai yang habis seketika. Aku memutuskan untuk melepas proyektor dan speaker, sehingga anak-anak menonton dari laptop langsung, dan anak-anak yang sudah tidak betah ku minta untuk main di luar saja agar tidak mengganggu yang tengah asyik menonton. Sampai akhirnya waktunya untuk pulang dan anak-anak berkumpul untuk kuajak berefleksi tentang apa saja yang sudah dilakukan hari ini.

Sebenarnya dari awal aku melihat perbedaan antara ke dua anak baru, Ulfa dan Hawari. Mereka kakak beradik, namun bagai dua sisi mata uang. Ulfa begitu manis, penurut dan pendiam. Sedangkan adiknya, Hawari, lebih aktif, pecicilan dan memahami permintaanku setelah beberapa kali ku katakan dan harus dengan nada sedikit keras. Mungkin karena mereka laki-laki dan perempuan atau karena yang satu kakak yang satu adik. Entahlah…

Karena agak kesal aku dibuat oleh Hawari, akhirnya aku meminta Ulfa untuk membantu Hawari agar bisa menjadi contoh untuk adiknya. Mungkin karena nada suaraku yang cukup tinggi sehingga membuat Ulfa mengeluarkan air mata. Tak lama karena melihat Kakaknya menangis, seketika itu juga Hawari melelehlah air dari kedua mata indahnya. Bahkan lebih kencang dari Kakaknya.

Ku biarkan sebentar mereka untuk menangis, sehingga anak-anak lain yang mencoba menenangkan keduanya. Mau ku, mereka ku ajak mengobrol di ruang guru. Jadilah semua anak ku ajak berdoa dan pulang setelah salim tangan dan janjian untuk anak kelas 4, 5 dan 6 untuk jalan-jalan bersama sore itu ke pelabuhan. Setelah anak terakhir pamit pulang, ku rangkul adik kakak itu sembari berjalan menuju ruang guru. Memang saat itu para guru sudah pulang duluan. Jadilah kami bertiga saja yang ada di ruang itu.

Setelah masuk ruang guru, ku minta mereka untuk duduk di dua kursi yang ada. Kemudian ku berikan air putih agar mereka lebih tenang. Setelah agak tenang dan tidak keluar air mata, mulailah perbincanganku dengan mereka. “Kalian kenapa menangis? Ibu tidak marah, Nak,” kataku memulai percakapan.

“Ti… tidak Ibu,” kata Ulfa sedang terbata-bata.

“Baru (lalu) kenapa kalian menangis?” tanyaku lagi.

“Tadi Ibu bilang soal Mama. Sa (saya) jadi ingat Mama,” katanya sedih.

“Deg! Ya Allah, apa kata-kataku menyinggung dan mengingatkan mereka kepada Mamanya. Astafirullah!” kataku dalam hati. “Baru ko Mama (Mamamu) dimanakah? Ko pu Bapak (Bapakmu)?” tanyaku pelan lagi sambil merangkul mereka berdua. Merasa bersalah.

“Tong pu Mama kerja di Tomage (tempat yang lebih jauh dari Bomberay. Dari Fakfak ke Bomberay bisa 3 hingga 5 jam). Bapak kerja proyek di Fakfak, Ibu,” jelas Ulfa.

“Baru kalian tinggal dimanakah?” tanyaku penasaran.

“Beta (saya) tinggal di Mama Tua di atas. Hawari diangkat anak deng (dengan) Milham (siswa kelas 5) pu keluarga (Keluarga Milham) di bawah. Jadi tong tinggal pisah (kami tinggalnya tidak satu rumah),” kata Ulfa. Di kampung Baru terbagi dua, yang tinggal di bagian atas, rumah yang jauh lebih tinggi, dan yang tinggal di pesisir pantai, di bagian bawah.

“Su (sudah) lama kah apa?” tanyaku cukup kaget, karena setahuku mereka masih kecil dan baru saja pindah.

“Sudah Ibu. Tong tinggal pisah. Itu Hawari digigit Arif (siswa kelas 2), Milham pu adik (adiknya Milham) di rumah,” terang Ulfa. Hawari tiba-tiba menangis kencang sambil menunjukkan bekas gigitannya di lengan sebelah kiri.

“Ya Allah, baru su tra sakit kah? Ko di sana tidur deng siapa, Hawari (di sana kamu tidur dengan siapa, Hawari)?” tanyaku sambil memeriksa bekas gigitan yang sudah mengering disambut gelengan kepala dari Hawari.

“Deng Milham dong (dengan Milham dan lainnya),” kata Hawari sambil menyeka air mata.

“Baru ko Ulfa, tidur deng (dengan) siapa di rumah ko pu Mama tua?” tanyaku sambil menoleh pada Ulfa.

“Beta tidur deng Mama tua, Ibu,” jelas Ulfa.

“Baru ko su ketemu deng ko pu Mama deng Bapak?” tanyaku yang disambut gelengan kepala mereka berdua. “Tong rindu Bapak deng Mama, Ibu,” kata Ulfa.

Ku lihat lagi mereka berdua. Keduanya matanya bengkak dan merah. Jelas sekali mereka habis menangis. Karena perkataanku, hingga mereka berdua menangis. Rindu Mama dan Bapak. Setelah kurenungkan kembali, sebenarnya itu adalah cara Hawari mengekspresikan dirinya. Begitu juga Ulfa. Mencari perhatian orang lain tepatnya.

Semua Kejadian Berakhir Menjadi Kenangan dan Pelajaran

Saat itulah, bak film layar lebar, potongan-potongan kenanganku masa kecil melintas. Persis mereka, aku dan adik laki-lakiku. Selama 4 tahun aku dan dia tinggal bersama Nenek (Mbah) kami di Salatiga. Saat itu aku sudah SMA kelas 1, sedangkan adikku masih SD kelas 6. Sedikit mirip cerita mereka, ayahku tugasnya pindah-pindah dari kota satu ke kota lain. Sehingga yang dapat ikut hanya Ibu dan adik bungsuku. Saat itu adik bungsuku masih kecil.

Jadi perpindahan si bungsu dari sekolah satu ke lainnya tidak terlalu mengganggu, sedangkan aku dan adikku laki-laki, kami sudah di jenjang lebih tinggi. Karena tidak mau sekolah anak-anaknya terlantar dan bisa belajar dan sekolah di lingkungan yang kondusif, dan juga karena pilihanku sendiri, akhirnya orang tuaku memutuskan agar kami tinggal di rumah Mbah, sekaligus menemani Mbah yang tinggal sendirian dan sudah sepuh.

Sedikit banyak, apa yang dirasakan oleh Hawari dan Ulfa bisa ku rasakan. Mbah, Mama Tua atau siapapun itu memang menyambut dan berlaku dengan baik kepada kita. Namun memang darah itu lebih kental. Perlakuan kita kepada saudara atau Mbah tidak bisa sama dengan perlakuan kita kepada orang tua sendiri. Entah itu sungkan atau malu, tapi memang ada sedikit jarak sehingga tidak seleluasa dengan orang tua sendiri.

Saat itu aku dan adikku masih tinggal satu atap, sama-sama tinggal di rumah Mbah. Ulfa dan Hawari lebih hebat, mereka masing sama-sama kecil dan mereka yang mau tinggal di Kampung Baru agar bisa bersekolah. Tinggal terpisah pun tak jadi masalah, yang penting mereka merasa nyaman. Ulfa dan Hawari mengingatkanku.

Betapa pentingnya keluarga. Betapa rindunya sosok orang tua dan rapuhnya tinggal jauh dari orang tua. Kakak yang melindungi adik, orang tua yang memperjuangkan kehidupan anak-anaknya, dan adik yang tidak mau melihat kakaknya sedih. Karena orang akan melakukan apapun untuk kebahagiaan dan kenyamanan keluarganya. Terima kasih sudah mengingatkan Ibu ya, Nak… Terima kasih… :)

 Fakfak, 20 Desember 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua