Papua, Surga Kecil Jatuh ke Bumi

Lidya Annisa Widyastuti 25 Mei 2015

“Tanah Papua tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi

Seluas tanah sebanyak batu adalah harta harapan”

Sepenggal lagu yang dinyanyikan oleh Edo Kondologit dengan judul Aku Papua. Lagu merdu sarat makna yang paling sering dinyanyikan oleh anak-anakku. Ya, anak-anak hebat yang sudah menemani hari-hariku selama hampir 10 bulan ini. Anak-anak super yang dari merekalah aku belajar banyak hal. Cinta kasih, ketulusan, pantang menyerah, semangat belajar hingga rela berkorban, dari si Cilik Kambar (Kampung Baru) SD Inpres Kampung Baru, Kokas, Fakfak, Papua Barat.

"Selamat ya, Lid, kamu dapat di Papua," teringat pada perkataan seorang temanku sambil menepuk-nepuk bahuku. Saat itu, sekitar bulan Mei tahun lalu, saat kami berada di camp pelatihan Pengajar Muda VIII di Cisarua. Seluruh Pengajar Muda memang mendapatkan pelatihan dari pendagogis, metal, fisik hingga cara menangani anak dalam sisi psikologis.

"Kenapa memang," tanyaku padanya.

"Yah, bayanganku, di Papua itu guru yang harus cari anak-anaknya untuk masuk sekolah. Bangunannya pun mungkin..." tambahnya sambil mengangkat bahunya.

Lemas langsung aku saat itu, tapi aku tetap yakin dan bersemangat untuk pergi ke Papua, yang kata lagu Edo Kondologit "Surga kecil jatuh ke Bumi". Setelah pengumuman penempatan, kami dipertemukan dengan alumni kami.

"Tenang, di sana tidak seperti itu kok. Sudah aspal jalannya. Bangunannya juga sudah kokoh dan berubin. Orang-orangnya juga baik. Wajah Rambo hati Hello Kitty," kata mereka menenangkan.

"Ah, bener Kak?" tanya kami penasaran.

"Iya, bahkan kalian akan puas makan ikan. Ikan mati sekali. Pancing langsung masak. Kalau di sini kan mati ratusan kali - pancing - bekukan - jual - kulkas - goreng. Makan buah pun sama, kalau musimnya, anak-anak murid pasti kasih buah banyak ke kalian," aku lega sekali mendengar sedikit gambaran mereka tentang Fakfak, Kabupaten tempat kami tinggal setahun ke depan.

Benar saja. Pertama kali menginjakkan kaki di bandar udara Torea, rasa lelah karena perjalanan cukup panjang dari Jakarta - Ambon - Fakfak, terbayar lunas! Bandara yang mungil, tapi hamparan awan, hijaunya pemandangan, dan bentangan laut biru memanjakan mata. Ah, asri sekali!

Pun demikian saat mulai mengajar dan tinggal di masyarakat. Kami hanya ditemani satu minggu oleh pendahulu kami, Wiwik nama pendahuluku. Tugas kami di sini memang melanjutkan misi dan visi dari Indonesia Mengajar. Dia mengayomiku, mengenalkanku dan memberi banyak wejangan tentang kampung Baru, desa tempat tinggalku setahun ini, beserta isinya, dia kenalkan semua.

Di Fakfak, ada semboyan "Satu Tungku Tiga Batu". Kristen, Katolik, Islam hidup berdampingan harmonis. Semua orang bersaudara, baik Islam, Kristen, dan Katolik. Satu keluarga bisa memiliki lebih dari satu jenis agama.

Keamanan? Alhamdulillah, di Fakfak, walaupun motor Mama asuh ku simpan di pinggir jalan, hingga saat ini, motor itu tetap aman dan terparkir rapi di tempatnya.

Perbedaan suku? Di sini, berbagai suku sudah tinggal dan membumi, beranak pinak. Ada suku asli, ada Maluku, Manado, Makassar, Jawa dan lain sebagainya. Mereka melebur menjadi satu; warga Fakfak.

Yang paling luar biasa adalah kecerdasan, kecekatan dan ide luar biasa dari anak-anak di sini. Anak-anak bisa menjadi Superman, Pelukis, Penyiar radio, adik, anak, petani, perenang, penjelajah apa pun mereka bisa.

Pertama kali berinteraksi dengan mereka dan mengajar mereka, yang kupikirkan adalah betapa cerdas dan luar biasanya mereka. Lama-lama karena tingkah mereka yang tidak bisa diam; selalu bergerak sana sini, aku jadi berpikir, "Ya Allah, ada banyak Lidya kecil di sini! Kasiannya orang tua dan guruku dulu. Haha." Tingkah mereka kadang lucu menggemaskan, kadang luar biasa menjengkelkan.

Di sini anak-anak juga menjadi superman cilikku. Saat dalam keadaan apapun, mereka sangat dapat diandalkan. Misal saat main, mereka akan melindungiku, menjaga agar aku tak jatuh, mendorongku agar selalu semangat, rela berkorban untukku. Apapun mereka lalukan untukku. Para Pahlawan kecilku...

Anak-anakku tahu aku suka buah, mereka sering memberiku buah. Apalagi saat musimnya. Mangga, durian, langsat, jambu biji, rambutan, sukun, dari sebutir hingga sekantong plastik penuh buah.

Hadiah buatan tangan mereka sendiri juga menjadi pemberian yang luar biasa indah, seperti bangun ruang yang dibentuk jadi rumah impian, dan hiasan dinding dari kerang.

Tak hanya itu, bak pelukis handal sekaligus punjangga hebat nan romantis, mereka berikan hasil karya lukis beraneka bentuk nan penuh warna serta surat cinta romantis, untukku. Mereka memberikannya pun dengan penuh kejutan; taruh di meja, diselipkan di tas, atau tiba-tiba saja diberikan di depanku. Manis romantis...

Sama seperti hari-hari yang sudah 10 bulan ini kami lewati bersana. Awal April ini aku menatap sedih kebun sekolah kami yang sudah kami mulai saat bulan Januari lalu, sekarang rusak dan berantakan, karena kurang perawatan dan dimakan kambing. Saat itu, dengan lesu kupandangi mereka.

"Ibu, tong pu kebun su tra baik (kebun kita sudah tidak indah). Su (sudah) macam hutan saja," kata mereka padaku.

"Katong tra rawat baek-baek to (Kita tidak jaga dengan benar). Jadi tong pu kebun jadi begitu sudah," kataku.

"Itu sudah Ibu!"

"Yo sudah, tong kasih bagus lae e. Pameri rumput (memotong rumput dengan parang) kebun sebentar (nanti) sore e," ajakku waktu pelajaran pagi itu.

Kami memang janjian jam 3. Saat aku datang, sudah banyak anak yang datang dengan membawa parang, kecil besar, laki-laki perempuan. Semua mau turun tangan memperbaiki kebun sekolah kami.

"Ibu, tong (kita) biking pagar e? Biar kambing tra (tidak) masuk. Tra makan tong pu tanaman lae," kata Majid, anakku kelas 5.

"Eh, tra usah. Kamong tra cape ka? Su pameri lai biking pagar,"

"Trada Ibu, tong biking pagar biar aman to Ibu,"

"Sebentar malam lai tong jaga di kebun deng senter sudah," kata salah seorang anak.

"Eh! Tra usah sudah. Kamong besok sekola to. Jangan e," pintaku.

Yang awalnya pekerjaan tentram. Tiba-tiba ada dua kubu di antara mereka. Terjadi dua pendapat yang membuat mereka bertengkar mulut. Sehingga membuat kebun itu juga menjadi dua bagian dengan dibatasi oleh pagar yang mereka buat sendiri.

"Ibu ajak kamong buat bagus kebon biar tong bisa tanam bibit-bibit to, kalau su besar bisa dimakan bersama to. Baru ini, kamong malah bekelai lae. Padahal Ibu su mau pulang lho Nak," kataku pada mereka.

"Ibu biking kebun lae biar kamong bisa inga Ibu to. Kenang-kenangan buat kamong dari Ibu. Biar Ibu su trada di sini, kamong tetap inga Ibu. Pas panen, petik, kamong makan, jangan lupa difoto e, kirim ke Ibu. Pamer, 'Ibu tong su panen ini!'," lanjutku.

Yang tiba-tiba mereka menghentikan kegiatan mereka, dan hening.

"Ih, Ibu," kata salah satunya.

Keesokan sorenya saat aku datang ke kebun sekolah, kami memang janjian untuk melanjutkannya, aku melihat sudah banyak anak di kebun dan mulai bekerja. Bahkan, pagar pembatas di tengah di kebun sudah hilang.

Mereka sudah berbaikan. Bekerja sama membersihkan rumput liar di seluruh kebun. Yang sebagian mencari kayu untuk pagar, lainnya mencangkul tanah untuk menanam bibit. Dalam dua hari itu saja kebun kami yang kata mereka seperti hutan, berubah menjadi kebun rapi dan indah.

Pagar sudah melindungi di sekeliling kebun. Berbagai macam bibit sudah ditanam. Tanpa mengenal menyerah.

"Ibu besok pi kota, kamong mau bibit apa kah?" tanyaku.

"Bibit bayam, jagung, rica (cabai) bole Ibu,"

"Apa lai?" tanyaku.

"Sudah Ibu, trausah. Ibu pu uang nanti habis," kata mereka.

Begitu sayangnya mereka padaku. Bahkan beberapa anak ikhlas memberikan bibit tanaman mereka untuk ditanam di kebun. Kebun kami memang rusak, namun tidak semangat mereka. Mereka mengajarkanku untuk tidak pernah menyerah. Terimakasih anak-anakku di SD Inpres Kampung Baru, Kokas, Fakfak, Papua Barat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua