Ibu Ah Bukan, Kakak Ibu..

Lidya Annisa Widyastuti 19 Desember 2014

“Hello students, how are you today? Let me introduce myself, my name is Lidya. Just call me Miss, Kakak, atau Mbak ya. Jangan panggil Ibu! ” Kataku setiap kali aku memperkenalkan diri di depan semua siswaku. Aku, tidak pernah mau, untuk dipanggil Ibu Lidya. Saat itu, hampir setahun yang lalu, saat aku mengajar siswa SMP dan SMA. Saat ditawari mengajar siswa SD, “No, thanks!” kataku yakin. Ya, saat itu aku takut sekali mengajar siswa SD. Takut salah. Takut mereka cepat bosan. Takut tidak bisa diatur. Takut…

Begitulah aku, hampir setahun yang lalu. Tidak pernah mau dipanggil Ibu Lidya, Mbak, Kakak, Miss adalah sapaan yang selalu ku inginkan dan ku wajibkan kepada murid-muridku saat memanggilku. Agar lebih akrab… Well, sebenarnya kata sapaan Ibu itu terkesan tua dan ugh… berjarak. Toh, pada kenyataannya usiaku dan murid-muridku tidak terlalu jauh. Saat itu…

Sekarang, sudah 5 purnama sudah terlewati di Fakfak. Kami, Pengajar Muda angkatan 8, berjumlah 8 orang, ditempatkan di 7 distrik di Fakfak, Papua Barat. Aku di kampung Baru, Cahaya di Urat-Fakfak Timur, Nia di Siboru – Fakfak Barat, Yenni di Offie – Teluk Pattipi, Dwi di Arguni, Kokas, sama denganku distriknya, Fadli di Pikpik – Kramomongga, Angga di Tarak – Karas, Pascal di Bomberay.

“Ibu! Ibu! Ibu Lidya,” sapaan yang selalu ku dengar dari semua orang. Sebenarnya aku maunya dipanggil Kakak saja. Tapi sepertinya untuk anak-anak murid SD kurang pas. Jadilah, “Ibu Guru Lidya” menjadi sapaan manis dan penuh semangat dari semua anak yang bertemu denganku atau sapaan santun dari semua warga masyarakat Kokas saat mereka bertemu denganku di jalan atau saat aku berkeliling Kokas, Ibu Kota distrik. Sapaan yang awalnya agak berat untuk ku sandang namun kini menjadi sesuatu yang selalu terdengar dan kunanti, terutama dari anak-anakku, siswa-siswa pintar penuh semangat dari SD Inpres Kampung Baru, Kokas.

Ah betapa aku ingat, dulu aku paling tidak mau dipanggil Ibu. Pernah suatu kali aku belanja di suatu supermarket di tempat asalku, kasirnya menyapaku Ibu. Reaksiku? “Emangnya saya setua itu ya?” kataku ketus. Tapi semenjak tinggal di Kampung Baru, sebuah kampung tenang nan sejuk dengan masyarakat yang ramah dan bersahabat, dan anak-anak kecil yang luar biasa bersemangat, sapaan “Ibu atau Ibu Guru” menjadi luar biasa merdu. Karena menjadi sebuah kehormatan, anak-anak yang manis itu memanggilku Ibu. Ibu mereka. Bangganya…

Ada lagi sapaan lain. Pertama kali datang, orang tua asuhku menyapaku “Kakak Ibu Lidya”. Aku bingung, kok Kakak Ibu? Ah ternyata Kakak itu karena di sini aku menjadi salah satu anak mereka, membahasakan anak-anak mereka (adik-adikku), sedangkan Ibu karena aku juga mengajar di sekolah, menjadi guru adik-adikku. Jadi digabunglah dua sapaan itu menjadi satu, “Kakak Ibu”. Mungkin sapaan yang asing tapi justru unik. Tidak semua orang mendapatkan sapaan itu, bukan? Dan tidak setiap orang berkesempatan mengajar di sekolah dengan anak-anak yang penuh semangat dan potensi ini, kan? J

Kampung Baru Kokas, Fakfak – 18 November 2014


Cerita Lainnya

Lihat Semua