Bule Masuk Kokas

Lidya Annisa Widyastuti 25 Mei 2015

Awal Maret 2015, distrik (kecamatan) Kokas seperti November 2014 dan Februari 2015 yang lalu. Kami dikunjungi oleh turis yang ingin melihat tempat-tempat bersejarah peninggalan Perang Dunia ke II. Ada bunker tempat Tentara Jepang memerangkap para pasukan sekutu, tempat pengintaian, basoka, senjata perang dan lain sebagainya.

Tak seperti 2 kunjungan yang lalu, kunjungan para turis menggunakan kapal pesiar kali ini, anak-anakku didaulat untuk menari tarian daerah lakadinding dikaloborasikan dengan timor untuk menyambut para turis di depan rumah negara (rumah kepala distrik / rumah dinas camat).

Dari pagi sekitar 24 anak dari kelas 1 hingga 6 sudah berdandan rapi dan cantik ganteng. Yang laki-laki memakai cawat/rok warna merah, hiasan kain merah di kepala, di tangan dan memakai tomang. Untuk mempertegas, wajah dan badan mereka dihias corat coret berpola sana sini dengan odol putih.

Yang perempuan, mereka sudah makeup lengkap. Kebaya dan rok kain menjadi kostum cantik yang mereka gunakan. Rambut digelung rapi. Rumbai-rumbai di tangan, yang sebagian menggunakan bulu cenderawasih sebagai hiasannya serta tomang (tas) dari rajutan kulit kayu di kepala si penari pemimpin (penari yanh berada di paling depan.

Mereka memang sudah biasa menari di depan para turis dan di kegiatan lainnya. Ibu Rahma dengan semangat selalu melatih beberapa kali anak-anak yang mau "tampil".

Akhirnya jam 10 dengan menggunakan taxi kami meluncur menuju rumah negara. Sudah banyak orang berkumpul merapikan ini itu membuat ini itu.

Sambil menunggu, anak-anak duduk dan berjalan sana sini. Melihat di papan ada banyak foto tentang telapak tangan berdarah, usaha rumput laut warga dan sebagainya.

Di Fakfak sendiri mengenal istilah, satu tungku tiga batu. Islam, Kristen, Katolik bersaudara karena itu merupakan merupakan agama keluarga. Jadi pernikahan lintas agama, atau pun dalam satu keluarga ada yang beragama Islam, Kristen dan Katolik tidak jadi masalah. Mereka hidup akur rukun sejahtera.

Karena itulah acara apapun baik acara umum, keagamaan dan sebagainya, semua orang dari ras, agama dan suku apapun bersatu padu membuat acara menjadi sukses. Termasuk kunjungan turis kali ini.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya para turis itu yang biasanya berusia di atas 40 tahun itu berkelompok di antar menggunakan "Zodiac" perahu karet hitam olej para kru. Dari kapal pesiar menuju daratan Kokas. Turis kali ini berasal dari berbagai negara: Autria, Italia, dan sebagainya.

Kemudian digiringlah mereka semua ke depan rumah negara setelah mendapat penyambutan berupa pengalungan kembang pala dan buah pala serta gantungan kunci biji pala hasil karya pahatan tangan pengrajinnya.

Dimulailah acara di depan rumah negara. Anak-anakku mendapat giliran pertama. Mereka menari selama lebih kurang 10 menit. Nofela yang selalu menjadi penari laki-laki (karena laki-laki yang lain bernyanyi) melakukan hojat (teriakan "Hoood" menghentak) beberapa kali ke arah para turis sambil menghunuskan parang buatan. Disambut dengan ekspresi terkejut dan tawa dari turis-turis itu.

Yang paling tidak disangka adalah pemberian sikat gigi, pewarna dan buku dari seorang turis yang diberikan kepada Ibu Rahma. Selama ini aku memang bercita-cita ingin agar anak-anak mendapatkan sikat gigi. Karena anak-anak sangat sulit membersihkan gigi mereka sendiri. Bahkan terkadang aku melihat satu sikat gigi untuk seluruh anggota keluarga. Padahal kan gigi itu area penting. Allah memang luar biasa baik. Doaku dikabulkan dengan cara tak terduga. Walau tak cukup untuk semua anak karena hanya cukup untuk anak-anak yang menari namun aku senang bukan kepalang.

Setelah berbagai suguhan tarian adat, para turis tadi sudah siap memulai perjalanan berkeliling menjelajah Kokas. Yang pertama dikunjungi adalah gereja. Di sana sudah menunggu Ibu Linda. Gereja ini merupakan gereja tua yang baru saja dipugar.

Sedangkan aku dan seorang anak SMA, Yuni kebagian di Masjid tua di dekat rumah negara. Masjid ini awalnya hanya sebuah linggar sederhana. Dulunya penyebaran muslim di tanah Fakfak ini dibawa oleh para sultan dari Tidore. Karenanya banyak Petuanan di sini, diantaranya Petuanan Arguni, Petuanan Wertuar, Petuanan Pattipi, dan Petuanan Sekar.

Setelah masuk dan bercerita tentang Imam, wudu, bedug dan kiblat ku jelaskan sedikit ke para turis. Setelah kelompok turis terakhir datang, kami beralih dari masjid ke bunker Jepang. Sepanjang jalan para turis banyak yang penasaran dan memotret rumah dan masyarakat.

Ternyata ada 2 turis yang dulunya orang Indonesia. Mereka masih fasih berbahasa tetapi dengan logat yang kaku; sepasang suami isteri berkewarganegaraan Singapura yang katanya berasal dari Pulau Selebes.

Akhirnya aku dan rombongan berhenti di depan sebuah warung makan di dekat pelabuhan. Di sana sudah banyak turis yang mentraktir anak-anak makan siang. Sambil menunggu aku mengobrol dengan beberapa kru yang juga menunggu para tamunya tersebut.

Tiba-tiba beberapa anakku mendekatiku. Mereka sudah berganti pakaian. Dari kostum menari menjadi baju biasa. Dengan malu-malu mereka minta berkenalan dan minta difoto dengan beberapa bule.

Mengingat pengalaman masa lalu yang mereka pasif bertemu dengan para bule. Akhirnya beberapa bulan belakang, anak-anak mulai ku ajari kata-kata bahasa Inggris sederhana, seperti: How are you? I am fine. What is your name? My name is...

Ternyata itu menambah percaya diri mereka saat berhadapan dengan para bule. Saat minta dikenalkan, "Ko pigi kenalan sendiri bole to. Bilang bagaimana?"

"Hello, what is your name? My name is Nahia Patiran," kata Nahia sambil tertawa.

"Tra kosong wok. Su bisa to?" yakinku padanya.

"Iyo Ibu," Nahia menjawab malu-malu.

Sebelumnya aku sudah meminta para turis dan kru yang ingin diminta foto bersama oleh anak-anak untuk membantu mereka berlatih Bahada Inggris. Semua membantu dengan senang hati. Perkenalan anak-anak dengan teman bule baru dimulai...

"Hello, my name is Nahia Pattiran. What is your name?" katanya belepotan.

"Hi Nahia. My name is Kate. Nice to meet you Nahia," kata Kate kru kapal perlahan sambil tersenyum. Kemudian mereka berfoto bersama.

"Hello, my name is Nurul Candra Sorowat. What is your name?" kata Nurul tak kalah belepotan.

"Hi Nurul. My name is James. It is pleased to meet you," kata salah seorang turis kebangsaan Austria. Kemudian mereka berfoto kembali. Kemudian anak-anak mempraktekkan lagu are you sleeping versi Indonesia Inggris.

Aku memodifikasi lagu ayam chicken yang awalnya diajarkan Yenni pada anak-anakku sewaktu dia berkunjung dan mengajar di SD Inpres Kampung Baru.

Misalnya Ayam Chicken, Anjing Dog, Buaya crocodile, Ikan fish. Rambut hair, mata eyes, telinga ears, hidung nose. Mulut mouth, gigi teeth, lidah tongue, bibir lips dan seterusnya. Semua dinyanyikan dengan irama Are You Sleeping dibarengi dengan gerakan. Menyenangkan sekali...

Begitu seterusnya sampai akhirnya seorang wanita cantik paruh baya tiba-tiba bernyanyi lagu Are you sleeping versi bahasa Prancis.

"Frère Jacques, frère Jacques, Dormez-vous ? Dormez-vous ?

Sonnez les matines! Sonnez les matines!

Ding, dang, dong. Ding, dang, dong."

Kami semua terpana dan anak-anak tertawa senang.

Kemudian Bapak yang memberikan kami banyak sikat gigi keluar dari rumah makan sambil mengobrol dengan seorang bapak tua penduduk lokal.

Aku cukup terpana, baru kali ini ada orang bule yang bisa berbahasa Indonesia, fasih pula, tetap dengan dialek Bule nya memang. Ternyata Bapak setengah baya, yang berprofesi sebagai pramugara dan berkewarganegaraan Amerika, sejak 1968 Bapak ini sudah tinggal dan menetap di New York. Lahir di Jakarta, dulu orang Indonesia.

Ku ajak Bapak itu mengobrol dan kuminta beliau untuk membantu anak-anak untuk berlatih berbicara Bahasa Inggris. Dayung pun bersambung, dengan senang hati Bapak tadi meladeni anak-anak yang penasaran ingin berkenalan.

Bapak tadi pura-pura tidak bisa bicara Bahasa Indonesia. Setelah cukup lama melayani anak-anak berkenalan dengannya, Bapak tadi lalu berkata, "Kalian pasti bisa kemana saja. Bahkan ke Amerika. Asal kalian rajin belajar dan berusaha."

Anak-anak sontak kaget dan terkagum-kagum karena ada orang bule yang bisa Bahasa Indonesia. Saat pulang, "Ibu beta mau ke Amerika. Macam Bapak tadi itu to," kata Nahia.

"Yo sudah. Berarti dengar-dengar kata Bapak tadi to?"

"Iyo Ibu!" kata Nahia tegas.

"Beta lai, beta lai!" kata anak-anak yang lain.

Hari ini tidak hanya tampil memukau, tapi anak-anak juga mencoba menerapkan pelajaran Bahasa Inggris sederhana yang mereka terima. Mungkin kalian bertemu Bapak itu di Kokas Nak, siapa yang tahu justru kalian yang mengunjunginya ke sana. Semangat terus anak-anakku. Raih cita-citamu hingga ke Negeri Paman Sam.


Cerita Lainnya

Lihat Semua