AMI dan telinga yang selalu mendengarkan

Lana Alfiyana 1 September 2013
Ijinkan saya untuk sedikit bernostalgia, mohon maaf ini masih belum banyak tentang mereka disini yang bisa saya ceritakan, tapi ini tentang mereka disana yang mengajariku untuk mendengarkan, setidaknya itulah bekal dari mereka yang aku bawa kemari. Tulisan ini aku dedikasikan untuk mereka AMI.     AMI!! aye!! AMI!! aye!! Sudah satu setengah bulan aku di Bima, masih dalam fase adaptasi lingkungan disini. Malam ini tiba-tiba ingatanku kebali ke beberapa tahun yang lalu, 3-4 tahun yang lalu. Saat aku masih menjadi mahasiswa :). 2009.AMI. Advokasi Media dan Informasi. Sebuah bidang baru yang dibentuk oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi  untuk mengadvokasikan kepentingan-kepentingan mahasiswa Gizi. Jujur awalnya saya tidak berminat pada bidang Advokasi, yang menurut saya RIBET. Serius bahkan waktu itu dengan segala kesombongan yang saya miliki saya berpikir 'ngapain juga ngurusin urusan orang.males banget' mohon maaaf. Lalu kenapa saya bisa tersasar ke bidang itu? Padahal saya bisa saja memilih bidang-bidang lain yang ada. Sebenarnya saya tertarik di bidang Media dan Informasi bukan di bidang Advokasi hehehe. Segala sesuatu terjadi karena alasan dan saya pun bergabung di bidang AMI. Saya yakin ada campur tangan Tuhan disini, Dia sedang menyiapkan segala sesuatunya untukku, segala sesuatu yang aku butuhkan di masa yang akan datang. Entah darimana saya mendapatkan gen ini gen Gatal dan Risih setiap kali mendengarkan keluahan-keluhan orang tapi orang tersebut hanya mengeluh-mengeluh saja. Serius orang-orang yang mengeluh tanpa melakukan apapun seperti mereka kehilangan rasa untuk bersyukur.     Senior-senior saya mengajari dan terus belajar bersama saya dan teman-teman yang lain untuk meyakinkan diri masing-masing bahwa kami ada untuk mereka. -Hah?! Untuk apa?! Sok Pahlawan sekali-. Separuh waktu yang dimiliki oleh para tenaga kesehatan adalah milik orang lain-masayarakat-. Jadi sebenarnya sejak saya masuk di jurusan ini seharusnya saya paham bahwa sebagian waktu saya adalah untuk orang lain. Untuk ngurusin orang lain. Peduli apa saya? -Ya Saya Peduli- mungkin saat itu kadarnya masih sangat minimal.Inilah yang baru saya sadari.Di Bidang AMI saya belajar mengasah kepedulian dan respek terhadap sesama. Ya Tuhan.. bahkan saya tidak pernah berkir kenapa saya harus ribet mikirin orang, sibuk ngurusin orang, semakin saya tanya kenapa semakin gatel dan risih saya terhadap diri sendiri. Apa bedanya saya dengan orang-orang yang suka mengeluh tanpa melakukan apapun.Saya terlalu sering melabeli diri sendiri dengan sebutan orang yang cuek dan nggak peduli, tapi saya peduli hanya tak mau mengakui. Terkadang saya tersiksa sendiri melihat orang yang bisa bahagia tanpa memikirkan orang lain. Kok saya nggak bisa? Ah Sial! Ya saat itu saya masih dalam hormon masa muda meledak-ledak.     Di AMI saya menemukan pelampiasan, saya tidak suka langsung membantu orang, saya tidak suka memberi ikan bakar, saya lebih suka memberikan kail pancing entah ikan apa yang akan didapat dan akan dimasak apa itu semua tergantu si pemegang pancing. Kalau boleh saya membuat analogi ketika seseorang datang dan mengeluh dia gatal, dia hanya bilang "aduh gatal" tanpa ada usaha menggaruk, atau cari bedak gatal, atau cari minyak kayu putih, hanya bilang "aduh gatal" apa iya rasa gatal itu bisa hilang. Di AMI saya tidak harus menggaruk semua bagian yang gatal, saya cukup memberi tahu bahwa di P3K ada bedak gatal dan minyak kayu putih untuk meredakan gatal atau saya bisa menyarankan untuk menggarukknya tapi bukan saya yang menggaruk. Apakah jadinya seperti menggurui? bukan, itulah yang harus dihindari saya hanya diminta untuk mendengarkan keluhannya sebenarnya dia tau bisa menggaruk mungkin dia takut kalau digaruk akan menimbulkan koreng, tapi dia tidak punya bedak gatal untuk meredakan bedak gatal atau sebenarnya malah dia belum tau bahwa ada benda bernama bedak gatal beraneka merk untuk meredakan gatal.Itulah fungsiku.Mendengarkan, memberikan pandangan,memberi tahu hal yang mungkin belum diketahui, mendorong agar ada sesuatu yang dilakukan atas keluhan, dan apabila sudah benar-benar tidak mampu barulah bantuan langsung diturunkan. Serius akhirnya saya menikmatinya, saya tidak perlu mengurusi detail urusan orang lain, saya hanya diminta mendengarkan. Karena tugas utama kami mendengarkan, mengelola keluhan, salah seorang teman saya di AMI membuat lambang untuk AMI yaitu Telinga, karena telinga adalah indera pendengaran, agar kita lebih banyak mendengarkan. Keren kaan?!?     Iya keren, tapi untuk menjadi keren itu tidak mudah, ada yang ingin berpartisipasi juga ketika si Telinga ini sedang bekerja. Siapa dia? Tentu saja si Mulut parisipasi si Mulut kadang bisa membantu atau malah jadi sumber bencana. Saran yang menggurui, sindirian, atau kalimat yang mengintimidasi terkadang meluncur dengan bebas dari si Mulut. Wajar manusiawi kok setiap orang ingin ucapannya didengar. Anggota AMI juga manusia kadang juga jenuh. Saat dalam masa kejenuhan saya pernah berpikir 'kalau setiap orang ingin didengarkan siapa yang akan mendengarkan saya? kenapa saran saya selalu dimentahkan? kalau seperti itu jangan mengeluh ke saya'. Wajar? ya wajar. Manusiawi? ya sangat saya pun butuh didengar, saya butuh telinga. Di AMI saya belajar, saya belajar membagi membagi apapun baik itu keluhan, saran. Tak semua keluhan butuh saran, dan tak semua saran harus dilakukan. Cukuplah dengarkan dipikirkan baik-baik dan ambil tindakan terbaik yang bisa dilakukan. Sepertinya berat sekali, memang berat, dan susah tapi dari sanalah saya belajar selama dua tahun bergabung di AMI mulai dari staf biasa sampai menjadi staf senior saya tetap belajar. Dan benar pembelajaran itu bermanfaat sekarang.

 

Satu setengah bulan di Bima sebagai guru bukan sebagai tenaga kesehatan, daerah yang sama sekali baru buat saya. Disini banyak sekali yang ingin didengar ,kalau dulu masalah-masalah yang saya dengarkan adalah masalah seputar mahasiswa, sekarang akan lebih komplek lagi, saya akan diminta untuk lebih mem-peka-kan telinga saya meningkatkan respek saya. Saya pernah dilatih, kini saatnya saya menjalankannya langsung di masyarakat. Saya pun melihat persamaan dari guru dan tenaga kesehatan bahwa separuh waktu yang mereka miliki bukan milik mereka tapi milik masyarakat. Dan disini juga saya belajar lebih banyak berbagi,berbagi separuh waktuku yang lain untuk orang lain. Karena saya selalu yakin berbagi tak akan pernah mengurangi. Terima kasih AMI dengan segala pembelajarannya, saatnya saya belajar lebih lagi. Terima kasih AMI dan telinga yang akan selalu mendengarkan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua