info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Maya Ngambek Lagi

Laili Khusna 29 Januari 2011
Maya. Siswi kelas 3. Mohon maaf sebelumnya, Maya mengalami hambatan fisik dan psikologis. Ia kurang mampu melihat dari jarak jauh. Ketika membaca matanya nyaris lengket dengan tulisan yang dibaca. Akibatnya saat menulis di kelas ia harus maju sampai depan papan tulis persis untuk bisa membaca tulisan di papan dan dampaknya kawan-kawannya jadi ribut karena papan terlindung oleh Maya. Ia sudah bisa menulis meski pelan sekali. Ia juga bisa membaca sedikit, tapi yang jelas ia tahu huruf. Secara psikologis, emosinya labil. Maya sering ngambek, marah, mengamuk, menangis. Tidak lama kemudian ia bisa tertawa, lalu merengek lagi. Seperti hari ini. Tidak biasanya Maya datang terlambat. Setelah duduk, kawan sebangkunya melapor kepadaku, “Bu, Maya pusing katanya.” Kukonfirmasi laporan ini ke Maya, ia menggeleng sambil tersenyum. Kutawari ke UKS, ia tidak bersedia. Akhirnya pelajaran kulanjutkan dengan bermain drama. Maya memperhatikan teman-temannya yang maju memerankan dialog singkat. Ia tersenyum dan tertawa sebagaimana biasa. Saat hendak pergantian tokoh, teman sebangku Maya menyampaikan laporan kedua, “Bu, saya nggak bisa duduk Bu, ini Maya tidur di kursi saya Bu.” Aku berjalan ke meja Maya, kuminta Maya duduk, kuangkat tangannya yang menutupi wajahnya. “Maya sakitkah?” Ia menggeleng. Kududukkan ia dengan sedikit memaksa. “Kalau Maya tidur, Enceng nggak bisa duduk.” Akhirnya Maya duduk. Selesai. Lalu kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dengan tugas menyusun percakapan antartokoh sebagaimana dialog yang sudah dicontohkan sebelumnya. Di tengah riuh rendah anak-anak berdiskusi, kawan sebangku Maya menyampaikan laporan ketiganya, “Bu, Maya nggak mau nulis Bu.” Hal ini biasa terjadi, sehingga jujur karena aku juga sedang sibuk membimbing kelompok lain dan merasa hal itu berkali-kali terjadi, kubiarkan saja dan hanya kukatakan, “Maya, semua harus menulis, yang nggak menulis nanti nggak dapat nilai.” Pelajaran kulanjutkan hingga jam terakhir. Semua anak harus mengumpulkan karya drama kelompok mereka. Saat buku tulis Maya sampai di tanganku dan siap kukoreksi, tiba-tiba kawan sebangku Maya melapor lagi untuk keempat kalinya, “Bu, Maya nggak nulis Bu. Itu tadi dituliskan sama Jihan.” Kupandang lagi tulisan di buku tulis Maya. Aku kenal betul tulisan Maya. Memang bukan seperti tulisannya sendiri. Maka, bodohnya aku, tanpa konfirmasi seperti biasanya (meski aku sudah tahu, tapi bertanya pada tertuduh seharusnya tetap dilakukan) aku memandang Maya dan berkata dengan nada tegas, “Maya harus nulis sendiri, Ibu nggak mau memberi nilai kalau bukan tulisan Maya sendiri.” Sepersekian detik kemudian, “Hwaaaa......” Maya langsung menangis dan berjongkok di dekat meja guru. Dilemparnya buku tulis miliknya sendiri. Ia kembali ke bangkunya. Wajahnya langsung ditundukkan di atas meja dan ditutupi kedua lengannya. Aku merasa bersalah jadi ikut menuduhnya. Entah karena sudah lelah dan betapa banyak persoalan yang musti kuselesaikan di kelas itu segera, aku lalai. Kubiarkan dulu Maya, emosi negatifnya sedang meluap dan aku tidak ingin dia disikapi dengan langsung dan secara halus penuh kasih sayang yang jatuhnya adalah semakin membuat dia manja, sebab hal semacam ini bukan yang pertama terjadi pada Maya, meskipun ini yang terbesar dari yang pernah kutemui. Aku harus menyelesaikan siswa lain dahulu sebelum kembali ke Maya. Di tengah aku memeriksa kelompok lain, teman-teman Maya berusaha mengembalikan buku tulis Maya ke mejanya, namun justru dilempar Maya dengan keras ke arah teman-temannya. Berkali-kali hingga teman-temannya yang sebelumnya berniat baik justru mengerjai. Kuminta satu anak meletakkan buku itu di meja guru. Keributan berakhir. Setelah semua naskah selesai kuperiksa, jam sudah menunjukkan waktu pulang. Semua anak bersiap-siap pulang, kecuali Maya tentu saja. Setelah semua anak keluar kelas, kuambil buku tulis Maya dan kuletakkan di mejanya, “Maya, ini buku tulismu.” Maya masih merengek sambil berbaring miring di kursinya. Suara tangis rendahnya menyayat hati. Aku mengambil posisi duduk di bangku terdekat. “Maya kenapa? Cerita sama Ibu.” Tak ada jawaban kata, hanya tangisan yang bertambah keras. Kucoba mengingat-ingat kuliah Psikologi Perkembangan, diapakan anak kalau sedang begini. Diajak bicara? Ditanya kenapa? Dibiarkan? Ditinggal saja? Ah, entahlah, aku ingat malasnya aku di kuliah itu. Lagipula tak harus dengan teori kan Zak. Inilah “sok-sok”-annya sarjana psikologi. “Maya marahkah? Marah sama siapa May? Sama Ibukah?” Tak ada jawaban. “Sama teman-temankah?” Tak ada jawaban kata, hanya tangis yang bertambah keras, lalu pelan lagi. Aku berpindah tempat duduk ke bangku di mana Maya meletakkan kepalanya. “Geser May, gimana Ibu mau duduk kalau Maya tiduran gini. Ibu pengin duduk di sini.” Ini strategi mendekat. Aku berhasil menggeser sedikit kepala Maya, namun ia tetap berbaring dan menutupi wajahnya sambil menangis. “Kenapa May? Cerita aja sama Ibu. Kalau menangis terus gimana bisa cerita,” kataku membujuk dengan nada obrolan layaknya sepasang sahabat. Dengan prinsip trial error, aku berinisiatif menirukan tangisannya, “Huhuhu... huhuhu... Kedengeran gimana May? Bagus nggak? Nggak enak didengar kan May?” Tiba-tiba Maya diam. Tidak menangis. Aku terkejut sendiri. Metode apa yang barusan kugunakan? Menirukan anak menangis sebagai salah satu cara berempati?? Anyway, ada efeknya. Beberapa saat kemudian, Maya menangis lagi, tapi pelan, tak sekeras sebelumnya. Kadang diam, kadang muncul lagi tangisannya, diam lagi. Kusimpulkan, dia agak tenang. “May, Ibu mau ke kantor. Maya mau ikut pulang nggak?” Maya masih menangis. Akhirnya, trial error lagi, aku berdiri, mengambil tas, dan bersiap berjalan keluar kelas. “May, Ibu mau ke kantor, kalau Maya nggak mau ikut, Maya tinggal di kelas, kelasnya Ibu tutup.” Tak ada respon. Aku berjalan keluar kelas dan menutup pintu dengan agak keras, berharap ia tiba-tiba bersedia duduk dan mau keluar, meski aku tahu betul kemungkinannya sangat kecil. Benar. Kuputuskan kembali masuk kelas dan duduk di bangku terdekat Maya sambil menunduk, mencoba mencari wajah sedih yang ditutupinya. Kucoba bicara lagi. “Maya kenapa? Marah sama Ibukah?” Sempat terpikir olehku Maya marah padaku karena masalah tulisan tadi. Tangisnya bertambah sedikit keras. Apa benar? Jujur saja aku takut jika anak ini marah padaku karena kesalahanku. Aku pasti akan menyesal dengan sangat sangat menyesal. Namun tak ada jawaban. Atau tangis yang bertambah keras itu adalah sebagai jawaban “Ya”? Kucoba bertanya lagi, “Atau marah sama teman-teman?” Tangisnya bertambah keras lagi. Apakah Maya marah dengan teman-temannya yang mengerjainya tadi? Tapi kurasa tidak. Ia langsung mengamuk setelah kuminta menulis sendiri. Aku bertanya lagi, “Marah sama Enceng kah?” Enceng, kawan sebangku Maya yang melapor padaku berkali-kali. Tiba-tiba... “Iiyyaaa....” Maya menjawab sambil menangis lalu bangkit duduk di kursi dan menelungkupkan wajahnya di meja dengan kedua lengannya. Alhamdulillah, terjawab. Syukurlah bukan marah padaku. “Kenapa marah sama Enceng?” Maya tak menjawab. Sebenarnya aku tahu lemungkinan besar penyebabnya, tentang Enceng yang melaporkan padaku bahwa tulisan itu bukan tulisan Maya. “Maya marah ya karena Enceng bilang ke Ibu kalau itu tadi bukan tulisan Maya?” Maya mengangguk. Aku mencoba berempati, “Kalau jadi Maya, Ibu juga sebel kalau dibegitukan. Penginnya Enceng nggak usah bilang ke Ibu ya?” Maya mengangguk lagi. Ia membuka wajahnya yang masih berurai air mata. Maya menegakkan kepalanya. Kusentuh pundak Maya dengan tangan kiriku. Kupandang ia dengan entah perasaan apa, antara ikut sedih bercampur kasihan dan empati (oh batas kasihan dan empati sangat tipis). “Maya kenapa dituliskan Jihan tadi?” Maya terdiam. “Maya pengin cepat selesai seperti teman-teman yang lain ya?” Maya mengangguk. “Maya dituliskan Jihan karena kalau menulis sendiri lama ya? Karena Maya menulisnya lambat ya?” Aku mencoba membuat Maya melihat dirinya sebagaimana adanya. Maya mengangguk. Dan aku nyaris menangis. Ketika berkata itu pun, sampai pada kata “ya”, ada yang menyesak di tenggorokan hingga nada bicaraku berubah seperti orang menangis. Aku berusaha tersenyum. “Maya, karena Maya anak yang istimewa, Maya menulis agak lama. Tapi kemarin-kemarin Maya menulis sendiri bisa selesai juga kan akhirnya?” Maya mengangguk lagi. “Biasanya Ibu siapkan tulisan juga kan untuk bisa disalin Maya sendiri?” Maya mengangguk. Memang sebagaimana saran teman-teman satu timku, sebaiknya aku membuat catatan sendiri persis seperti yang kutulis di papan tulis sehingga Maya bisa menyalin catatan materi tanpa harus maju hingga menutupi papan tulis. Alhamdulillah sejauh ini cukup berhasil, meski kadang Maya tetap tak mampu menyelesaikan semuanya atau aku yang tidak dapat menuliskan semua secara persis karena masalah waktu, tenaga, dan perhatian yang terbagi dengan anak-anak lain. Sungguh, perlu tenaga ekstra untuk aktivitas ini. “Kalau Maya belum selesai nulis, Ibu tungguin juga kan sampai Maya selesai? Ingat hari itu kan waktu Maya nulis di sini dan Ibu tunggu sampai selesai?” Maya kembali mengangguk. Pandangan matanya menunduk. Kutepuk-tepuk pundaknya, “May, Maya bisa menulis sendiri sampai bener-bener selesai. Meski lama, Ibu tunggu, kadang ditunggu juga sama teman-teman. Ibu seneng kalau Maya mau nulis sendiri, nggak apa-apa lama, yang penting Maya sendiri yang nulis. Maya bisa. Ya?” Aku berkata dengan mantap. Sebuah anggukan lagi. Aku tersenyum. “Udah, sekarang pulang yuk.” Maya mengambil buku tulisnya yang tadi dilempar-lemparnya. Ia masukkan ke dalam tas dan menutup resleting tas. Kuamati tas kumal itu, beberapa bagian sobek, warnanya sudah pudar. Aku menatap sedih. Maya lalu bangkit berdiri dan berjalan keluar kelas bersamaku. Oh, aku lupa mengatakan hal penting. “Maya, maksud Enceng itu baik, dia pengin Maya nulis sendiri, ya?” Ini sebagai bujukan halus agar Maya memaafkan Enceng dalam hatinya. Namun Maya masih sedikit merajuk. Kubiarkan saja, ia sudah kembali seperti anak-anak lain, seberapa mudah memaafkan? Orang dewasa malah tidak mudah. Bagi Maya peristiwa tadi barangkali begitu menyakitkan, antara sisi dirinya yang ingin seperti kawan-kawannya dan kenyataan bahwa ia belum mampu seperti mereka. Inilah esensi yang ingin kutanamkan pada Maya: menerima diri dan berusaha terus menjadi lebih baik dengan kemampuan sendiri. Aku yakin esok hari Maya akan bermain lagi bersama kawan sebangkunya, Enceng. Itulah anak-anak. Semarah apapun, dengan cepat mereka akan kembali riang bersama. Sekalipun anak-anak sering melapor padaku kalau Maya memang sering ngambek, dan sebagainya, tak pernah sekalipun aku mendengar mereka mengolok-olok Maya dengan kata yang menggambarkan kekurangannya. Maka, guru ini telah belajar satu hal penting dalam hidup ini dari murid-muridnya: ketulusan.

Rantau Panjang, 24 Januari 2011

Di tengah-tengah serangan agas dan nyamuk


Cerita Lainnya

Lihat Semua