info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

It’s About Choice, It’s About Choose

Laili Khusna 29 Januari 2011
Apa yang dicari seorang bapak yang jauh-jauh datang dari Gunung Kidul, Yogyakarta ke pedalaman Kalimantan? Seorang guru SD yang sejak awal millenium mengabdikan diri di sebuah desa sunyi di sudut timur Borneo. Kisah ini bermula ketika Sabtu lalu saat aku tidak ada jadwal mengajar, Bapak angkat mengajakku ke sebuah desa yang berjarak kurang lebih 50 km dari ibukota kabupaten, ditempuh sekitar 2 jam dengan sepeda motor dikarenakan kondisi jalan yang tak bersahabat. Dari ibukota kabupaten, kami menyusuri jalan aspal, melewati dua jembatan yang menghubungkan beberapa wilayah yang terbelah sungai Kandilo, lalu masuk daerah transmigrasi yang dipenuhi perkebunan sawit di kanan kiri jalan. Sekitar dua puluh menit kemudian good bye sudah jalan mulus. Kami harus offroad dengan Jupiter MX melewati jalan bebatuan. Benar-benar serasa naik kuda. Tak terasa lagi halusnya motor kopling andalan Yamaha itu. Lebih baik helm standard dilepas karena akan menambah beban berat di kepala sehingga mengakibatkan rasa puyeng... Hamparan sawit yang baru saja ditanam, perkebunan sawit yang rimbun menghiasi kanan kiri jalan yang kami lalui. Tajamnya kerikil membuat kami harus berhenti sejenak untuk membuang sedikit angin ban motor agar tak terasa terlalu keras. Jalan inilah yang musti dilewati empat sahabatku yang bertugas di pulau-pulau seberang untuk sampai di ibukota kabupaten, setelah mereka menyeberang laut tentunya. Sesekali truk-truk pengangkut sawit menyelip kami. Laju betul truk itu hingga asapnya menutupi pandangan. Setelah melalui beberapa desa yang agak banyak penduduknya, kami sampai di sebuah persimpangan. Arah kanan adalah arah menuju Lori, pelabuhan tempat empat sahabatku menyeberang ke pulau penempatan mereka. Tujuan kami adalah lurus, menuju desa ujung. Selain jalan bebatuan, kami juga disambut jalan yang super becek plus lengket karena hari sebelumnya turun hujan deras. Pengendara harus pandai-pandai memilih jalan yang bisa dilalui jika tidak mau terpeleset. Apalagi jalannya naik turun bukit. Beberapa kali kami hampir terpeleset karena licinnya jalan. Di beberapa titik, motor sempat terhenti karena lengket dengan tanah merah. Alhasil, aku perlu turun untuk mendorong motor. Maka, ikut lengket juga sepatu ketsku. Well, lagi-lagi coklat Silver-Queen menghiasi sepatu kesayanganku. Senyap. Ini yang pertama kurasakan. Tempat apa ini, sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia? Yang terdengar hanya suara motor kami dan kicau burung serta bunyi serangga di dalam hutan. Terbayang dalam ingatanku beberapa bulan lalu saat penelitian di daerah Rongkop, Gunung Kidul, DIY. Senyap, jalannya berkelok-kelok, tapi aspal muluuss... dan di ujung perjalanan disambut hamparan laut biru dan pasir putih yang sangat indah. Aku tak tahu akan disambut apa nanti sesampainya di ujung jalan yang rasanya tak berujung ini. Desa ini baru saja ada tahun 2010, sebelumnya menjadi satu dengan desa induk yang jaraknya cukup jauh dari tempat ini. Daerah ini dekat dengan laut, karenanya dari daerahku bisa ditempuh melalui sungai lalu tembus laut, namun risiko gelombang tinggi. Jadi, tinggal milih, offroad di atas air atau di atas batu. Hehe. Dua jam berlalu. Dari kejauhan tampak beberapa siswa berseragam pramuka berjalan ke arah kami. Oh, syukurlah, kami sudah dekat dengan sekolah. Aku sangat ingin berkunjung ke SD itu. Benar saja. Kami melihat bangunan papan di kiri jalan dan masjid di kanan jalan. Sampailah kami di sebuah sekolah dasar yang sederhana. Halamannya cukup luas, namun bangunan sekolahnya kecil. Kami masuk ke halaman dan berhenti di depan sebuah bangunan mungil berbentuk persegi, dari papan, bercat hijau, atapnya seperti dari pelepah kering. Di depannya bertuliskan: Kantor SD 024. Kantor Guru ini terpisah dari bangunan kelas, sebenarnya aku tidak tega mengatakannya, tapi bagaimana lagi, kantor itu seperti gubuk atau pondokan kecil saja. Namun suasana hangat menyelimuti kantor mungil itu. Kami disambut dengan sangat ramah oleh tiga orang guru. Sekolah baru saja usai sehingga anak-anak sudah pulangan (pulangan adalah istilah di sini untuk kata: pulang). Hari Sabtu tidak ada pelajaran khusus, jadi banyak guru tidak turun ke sekolah. SD ini memiliki 7 guru bersama seorang kepala sekolah. Jika hari hujan sehingga jalan sulit ditembus, hanya dua guru saja yang hadir. Dua guru inilah yang memajukan sekolah ini sejak awal berdirinya sebagai sekolah darurat tahun 2001 lalu. Mereka sepasang suami-istri yang ternyata berdarah Ngayogyakarta Hadiningrat. Sang bapak berasal dari Gunung Kidul, salah satu kabupaten di DIY yang sedang berkembang dan terus berkembang meski alamnya tandus, tidak subur, sulit air, dan label-label negatif lain yang melekat pada daerah itu. Jauh-jauh ke pedalaman Kalimantan, ee... bertemu juga sama orang Gunung Kidul. Aku sampai geleng-geleng kepala, di mana-mana ada orang Gunung Kidul dan hampir semua yang kutemui memiliki karakter ulet. Aku percaya alam telah menempa mereka dan mereka yang berani keluar dari daerah asal mereka tidak pernah menyerah dengan alam yang ada. Aku salut dengan mereka, termasuk dengan bapak tujuh anak ini setelah beliau menuturkan kisahnya. Memasuki abad 21, tahun 2001, bapak dan istrinya diminta tolong Kepala Dinas Pendidikan setempat untuk mengajar SD darurat di ujung timur kabupaten Paser. Berdua mengajar enam kelas. Muridnya memang tidak banyak, satu kelas biasanya hanya sekitar 6-10 anak. Totalnya 45-50 siswa. Mayoritas muridnya suku lokal (Paser), beberapa suku Jawa dan Bajo. Anak-anak kelas bawah banyak yang belum bisa Bahasa Indonesia hingga sekarang. Kelas 1 banyak yang masih menggunakan bahasa daerah (hal ini banyak terjadi di mana-mana). Saat itu usia sebagian murid seharusnya sudah masuk kelas atas, tapi karena belum pernah sekolah, baca tulis hitung pun mereka tak kenal. Akhirnya dengan metode akselerasi ciptaan bapak ibu guru honorer ini sendiri, anak-anak yang sudah lancar calistung langsung dinaikkan. Mereka diajari dengan cepat, yang sudah bisa memahami pelajaran kelas tertentu langsung naik levelnya tanpa menunggu 1 tahun penuh. Dalam waktu sekitar 4 tahun semenjak berdirinya sekolah itu, bapak ibu guru di SD mungil tersebut telah berhasil menamatkan angkatan 1. Aku hanya melongo. Subhanallah... Untuk membuka pintu dengan dunia luar, bapak ibu ini pun membuka jalan. Sebelumnya hanya ada jalan setapak kecil, sehingga untuk keluar harus melalui perairan. Sekarang jalan sudah agak lebar, cukup untuk mobil, meski kondisi jalannya tak ramah. Sebagian guru berasal dari ibukota kabupaten, termasuk kepala sekolah. Aku membayangkan mereka berangkat dari rumah jam 6 pagi (jam 6 di sini belum terlalu terang), menembus bebatuan dan jalan becek di tengah hutan. Seorang guru baru memilih bertempat tinggal dengan keluarga angkat di depan sekolah dan baru pulang ke kota setiap akhir pekan. SD ini dahulunya terletak di daerah bawah, dekat dengan laut. Kemudian mereka memindahkan sekolah ini ke daerah yang lebih atas. Ruang kelas hanya ada tiga. Masing-masing ruang untuk dua kelas dengan sekat papan. Selain untuk sekolah dasar, tempat ini juga digunakan untuk pembinaan masyarakat melalui program Paket A, B, C, dan KF (Keaksaraan Fungsional/Pemberantasan Buta Aksara) yang dirintis juga oleh suami istri tersebut. Guru program paket ini adalah guru-guru SD itu juga. Menariknya untuk kelas ibu-ibu yang belum bisa membaca, Ibu Guru mengajarkan bacaan resep kue. Misalnya, Kue Bolu, bahan: tepung terigu, dan seterusnya. Ibu-ibu setempat belajar membaca sesuatu yang mereka sukai. Pekan selanjutnya, mereka akan bersama-sama mempraktekkan pembuatan kue yang bacaannya telah mereka pelajari sebelumnya. Menjelang dzuhur, kami berpamitan dan berjanji akan mampir ke rumah bapak ibu guru itu yang meminta kami mampir ke rumah mereka setelah kami melihat ujung desa. Ujung desa yang kumaksud sebenarnya adalah laut, namun jembatan papan yang dapat dilalui motor tidak sampai ke laut. Akhirnya kami berhenti di daerah tambak. Di seberang tampak hutan bakau yang meranggas. Di tepian hilir sungai berdiri rumah-rumah panggung khas pemukiman penduduk pesisir. Jika Anda ke Kalimantan dan menemukan rumah-rumah semacam ini berarti Anda tak jauh dari laut. Jujur saja aku tak dapat membayangkan jika hidup di tempat seperti itu selama bertahun-tahun. Sunyi... di ujung sebuah desa yang tak kalah sunyinya... Kami pun berbalik ke arah pusat desa dan sampai di rumah bapak ibu guru. Pagar kayu membatasi rumah mereka dengan badan jalan. Tanaman singkong dan berbagai tumbuhan bumi lainnya menghiasi pekarangan rumah. Kata bapak angkatku yang orang Bugis, “Nah ini baru benar-benar orang Jawa. Rumahnya pasti banyak pohon buahnya.” Kami disambut sepiring singkong goreng (hmm... lezat sekali rasanya seperti tak makan singkong bertahun-tahun, meski singkongnya keriput, tetap uenak di lidah *efek juarang suekali makan singkong*), sepiring singkong rebus dan sepiring buah pepaya (alhamdulillah, terimakasih Engkau Mempertemukanku dengan pepaya, lezatnya), plus segelas teh hangat. Hidangan khas orang Gunung Kidul: tela! (baca: telo, arti: singkong). Oalah memang orang Gunung Kidul, jauh-jauh sampai pelosok Borneo tetap aja makan singkong (makanan favorit mereka). Hehe. Pak Guru melanjutkan lagi kisahnya. Sebenarnya dulu beliau dan istrinya sudah hampir diangkat jadi PNS ketika menjadi guru di Paser Utara (daerah perkotaan), tapi kemudian mereka memilih pulang ke Jawa. Akhirnya entah karena sebab apa, mereka kembali lagi ke Kalimantan dan bersedia mengajar di SD darurat saat itu. SK PNS pun hangus sudah dan hingga sepuluh tahun semenjak mereka mengajar di SD itu mereka masih berstatus honorer. Namun bukan status itu yang mereka kejar. Mereka ingin membina masyarakat di desa ini. Saat pertama kali datang mereka sempat terkejut dengan kultur lokal. Murid memanggil gurunya dengan kata, “Kamu” adalah hal lumrah. Anak menyuruh kaik-nya (kakeknya) sendiri dengan memanggil namanya adalah hal biasa, “Jo, ambilkan aku gelas Jo.” Memang di beberapa daerah, terutama di pesisir, hal seperti ini sudah biasa. Sementara bagi bapak ibu yang Jawa tulen ini hal tersebut tentu luar biasa. Pelan-pelan mereka mengajarkan murid mereka sopan santun versi nasional. Sedikit demi sedikit mereka mengajak masyarakat untuk belajar, minimal calistung. Akhirnya di tahun 2010 desa ini memekarkan diri, pisah dari desa induk yang letaknya cukup jauh. Namun rupanya calon perangkat desa yang baru belum paham mengenai tata cara administrasi desa dan segala hal yang berkaitan dengan urusan desa. Boro-boro laptop, administrasi yang biasa pun mereka belum mengerti. Pak Guru yang merangkap ketua BPD ini pun berinisiatif mengajari mereka ketimbang desanya tidak maju-maju. Beliau sampai geleng-geleng kepala membandingkan desa tempat tinggalnya saat ini dengan dusun masa kecilnya di Gunung Kidul. “Saya itu cuma ingat daerah kelahiran saya dulu Bu. Tiga puluh tahun lalu, Gunung Kidul seperti ini. Sekarang sudah banyak jalan aspal, listrik juga ada. Jadi, kalau desa ini mau jadi kayak Gunung Kidul, saya bayanginnya ya mungkin baru terjadi tiga puluh tahun lagi.” Tiga puluh tahun lagi... (membayangkan) “Saudara-saudara saya sampai geleng-geleng kepala Bu tahu saya jadi guru di sini. Apa yang kamu cari tu? Begitu tanya mereka. Saya ingat sekolah saya dulu Bu, guru-gurunya dari Sleman, Bantul, Jogja, ngajari kami. Dulu sekolah saya juga kayak di sini Bu, kecil gitu, guru-gurunya padha berjuang datang jauh-jauh demi ngajari kami. Saya ingat itu Bu.” Rasa terimakasih pada guru-guru beliau barangkali yang membawa beliau ke pelosok ini. “Kami ini memang pengin mbina masyarakat Bu. Karena itu kami harap Ibu bisa pindah ke sini atau dari yayasan Ibu berkenan mengirimkan guru-guru muda seperti Ibu. Kan tujuannya juga membina masyarakat to Bu? Lha masyarakat di sini masih perlu dibina banyak. Mungkin bisa disampaikan ke atasan Ibu. ” Pindah ke tempat ini? Eng, sebentar Pak, walau sekolah tempat saya bertugas dekat dengan kota, tapi kondisinya jauh dari kota Pak... Gimana ya Pak dengan negeri yang aneh ini? (batinku). “Ya walau di sini muridnya sedikit, tapi anak-anak itu juga berhak mendapatkan pendidikan yang baik kan Bu.” Plak! Rasanya seperti ditampar. Sepanjang yang kutahu, untuk angkatan pertama ini sekolah sasaran kami diprioritaskan yang memiliki murid lebih dari seratus, karena pasti memerlukan tenaga yang lebih banyak. Alasan keduanya sama-sama tak keliru. Namun tetap saja itu seperti tamparan. Dan aku hanya bisa membatin: negeri yang aneh... Sepulang dari desa sunyi itu, Desa Sunge Batu, Jalan Solo Batu, aku terus berpikir, sama seperti pikiran saudara-saudara Bapak Ibu Guru itu. Apa yang mereka cari sebenarnya? Kalau aku hanya akan satu tahun menjalani dunia ini. Aku tahu ujungnya. Mereka tak tahu ujungnya, tapi mereka terus menjalani hari-hari mereka. Bagi mereka hidup juga bukan hanya untuk hari ini. Mereka memikirkan masyarakatnya, desanya yang barangkali akan seperti Gunung Kidul sekian puluh tahun lagi. Mereka memikirkan murid-murid mereka yang walau jumlahnya sedikit namun tetap berhak atas pendidikan yang layak. Mereka melakukan banyak hal untuk semua itu. Dengan segala keterbatasan fikirku, aku hanya bisa berkata: it’s about choice, it’s about choose. Itu pilihan mereka dan pasti Tuhan Membalas pilihan mereka dengan kebaikan: beberapa putranya sudah sampai di perguruan tinggi di Balikpapan, Samarinda, dan Jakarta. God, I always believe in Your arithmatic. Rantau Panjang, 17  Januari 2011 Terimakasih Allah telah Mempertemukanku dengan mereka di kala aku sempat suntuk dengan tugas-tugasku.

Cerita Lainnya

Lihat Semua