Ketika Anak-anak Berpikir...
Laili Khusna 23 April 2011
Sebutkan jenis-jenis lingkungan alami!
Demikian kurang lebih bunyi salah satu soal Ulangan Tengah Semester kelas 2. Anak-anak diberi pilihan-pilihan jawaban, seperti gunung, laut, sungai, sawah, kebun pisang, kolam ikan, dan hutan. Setelah semua lembar jawaban terkumpul, kukoreksi satu per satu. Di luar dugaan muncul kata “langit” sebagai salah satu jenis lingkungan alami. Awalnya aku geli, merasa lucu dengan jawaban polos anak ini. Apalagi sudah diberikan pilihan jawaban, tinggal mengingat-ingat mana lingkungan alami sebagaimana yang dijelaskan guru sebelumnya. Sejauh aku membaca buku pelajaran SD, langit tidak pernah disebutkan sebagai lingkungan alami. Kutanyakan pada guru asli kelas 2 yang sedang menempuh KKN apakah jawaban unik ini bisa dibenarkan atau tidak. Coret. Jawabannya salah.
Jujur saja aku hampir selalu ragu-ragu bila menemukan jawaban unik seperti ini. Aku selalu berpikir ulang untuk menentukan coret atau tidak. Lebih jauh sebenarnya ini bukan soal benar atau salah menurut persepsi ilmu yang dibangun orang dewasa, tapi lebih pada memahami persepsi anak-anak. Anak-anak tentu menangkap bahwa lingkungan alami adalah lingkungan yang diciptakan Tuhan. Langit adalah ciptaan Tuhan. Kucoba berimajinasi sebagai seorang anak kecil. Dalam pandangan anak-anak, langit adalah lingkungan bagi para awan yang berarak, mentari yang bersinar, bulan yang hadir saat malam tiba, dan bintang-bintang yang berkelip indah. Sekali lagi dalam pandangan anak-anak. Cara menjelaskan ilmu pada anak-anak semestinya berangkat dari persepi mereka, bukan dari persepsi orang dewasa semata. Penyampaiannya harus jelas dan konkrit. Satu hal pasti tetap hargai pendapat mereka yang terkadang bagi orang dewasa terdengar aneh. Ingat saja kisah para ilmuwan yang awalnya diolok-olok. Edison misalnya (seingatku) yang konon mengerami telur ayam. Ia diremehkan karena dipandang aneh, tapi lihat hasilnya. Anak-anak kerap mempunyai ide di luar batas pikiran orang dewasa karena kita (yang dewasa ini) sudah terikat nilai-nilai tertentu. Anak adalah jiwa yang bebas, maka tak sepatutnya kita menghalangi kepakan sayapnya, kita hanya perlu mengarahkan, bukan mematahkannya.
Masih segar dalam ingatanku ketika aku duduk di bangku SD. Kami mendapat tugas membuat kipas dari bambu yang dicat agar terlihat indah. Setelah dicat, bambu harus dijemur agar catnya mengering. Saat aku menjemur bambu hari sudah sore dan sinar matahari tak lagi terang dan terik. Lalu aku ingat pelajaran IPA yang diberikan pak guru bahwa cahaya dan angin membantu proses pengeringan suatu benda. Akhirnya aku mengambil senter dan buku (atau kipas, aku lupa, yang jelas bukan kipas angin karena tidak punya), kuarahkan nyala lampu senter ke bambu yang sudah dicat dan kukipasi bambu itu dengan maksud agar catnya lekas kering (sebagaimana konsep bahwa cahaya dan angin membantu proses pengeringan). Langsung saja semua anggota keluargaku menertawakanku. Ketiga kakakku tertawa ngakak. Mereka tertawa geli, bukan mengolok. Lalu mereka menjelaskan yang dimaksud cahaya dan angin untuk membantu proses pengeringan tentu cahaya yang sangat panas dan angin yang cukup besar. Aku mengangguk-angguk mencoba memahami maksud mereka ketika itu.
Lagi, saat duduk di bangku TK. Teman-teman dan aku akan tampil di sebuah acara untuk anak-anak TK di stasiun TVRI lokal. Dikatakan bahwa kami akan masuk televisi dan bisa ditonton seperti ketika kami menonton orang-orang di TV. Aku deg-degan, penasaran seperti apa nanti ketika masuk TV, bagaimana bisa orang masuk TV, akan diapakan kami nanti, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus menghantuiku. Ibuku bingung menjelaskan proses “masuknya” orang dalam “kotak televisi”. Ibu menjelaskan kalau nanti kami masuk ke kabel dan kabel itulah yang menghubungkan kami dengan alat lalu kami bisa ditonton. Wah, tambah bingung aku. Kukejar ibuku dengan berbagai pertanyaan, “Gimana kita bisa masuk kabel? Masak orang bisa masuk kabel? Gimana caranya? Terus nanti badan kita jadi gimana? Kabel kan kecil,” dan seterusnya dan seterusnya hingga akhirnya ibuku berkata dengan nada tinggi, “Udah nggak usah tanya lagi! Besok juga tahu gimana! Temen-temenmu nggak bingung kok kamu bingung?! Dari semua anak cuma kamu yang tanya-tanya dan bingung. Lihat temenmu nggak ada yang ribut!” Lalu aku terdiam. Sekarang aku tahu barangkali aku benar-benar menjengkelkan karena terlalu banyak pertanyaan dan tentu bukan hal mudah menjelaskan hal seperti itu kepada seorang anak umur lima tahun. Ah, andaikan ada orang dewasa yang bisa berbicara dalam bahasa anak-anak... Orang yang kuharap adalah seorang pendidik di sekolah.
Teringat dalam benakku jawaban-jawaban unik siswa ketika ulangan semester I lalu. Peribahasa tong kosong berbunyi nyaring misalnya berarti air habis. Amati saja sekitar mereka. Di desa ini sumber air bersih adalah air hujan yang ditampung dalam drum-drum penampung air. Bila drumnya kosong, coba saja dipukul, akan terdengar bunyi nyaring. Nah, itu pertanda tidak ada air di drum tersebut. Anak yang menjawab air habis tidak menghafal teks yang ada di buku, ia melihat dan merasakan kesehariannya. Kepekaan dan logikanya jalan- kepekaan terhadap kondisi sekitarnya dan pikiran yang logis. Ia tidak langsung mengatakan bahwa artinya drum yang kosong, akan tetapi ia berpikir lebih lanjut yakni jika drum kosong berarti tak ada air, maka sebenarnya air sudah habis. Singkat, padat, jelas, dan mengena. Terlepas dari kenyataan bahwa anak itu kurang memperhatikan pelajaran Bahasa Indonesia, jika dipandang dari “kemampuan menyusun logika” ia tidak keliru. Lebih jauh kita bisa membandingkan dengan anak yang hanya membaca buku teks lalu menghafal dan terus menghafal, maka otak hafalannya saja yang akan berkembang, bukan otak kritisnya. Alhasil produk-produk instan bermunculan.
Semestinya tujuan sekolah adalah mengembangkan cara berpikir dan bukan membendung kemampuan logika siswa. Itulah kenapa anak-anak negeri ini banyak yang pandai, tapi sedikit yang cerdas, banyak yang hafal pengetahuan tapi sedikit yang menemukan pengetahuan dan menciptakan berbagai inovasi. Seringkali tanpa disadari kita turut menyumbang kemunduran generasi kita, seperti ketika kita mengatakan pada adik kita, “Ya pokoknya begitu! Dari sononya sudah begitu! Udah jangan tanya lagi!” Well, ini PR besar pendidikan bangsa ini, bukan hanya tugas guru, namun juga orangtua dan seluruh elemen bangsa ini. So, are we ready to take a part of this?”
Rantau Panjang, 4 April 2011
Diedit pada 17 April 2011
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda