info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Biar Kotor yang Penting Belajar

Laili Khusna 23 April 2011
Senin pagi, 14 Maret 2011 Mendung. Hujan turun hari sebelumnya dan semalam suntuk. Saat yang tepat untuk memanfaatkan pengaruh hujan bagi jenis tanah merah di desaku. Tanahnya lembek, mudah becek, apalagi jika terkena hujan, pasti licin. Tanah seperti ini sering dikeluhkan karena membuat kaki berkulit coklat semakin coklat, motor kotor, dan yang pasti risiko keselamatan jiwa raga ketika melalui jalan licin dan berair. Namun rupanya tanah ini memberikan wadah bagi murid-muridku untuk belajar. Alih-alih menggunakan plastisin, mari kita bentuk tanah lembek ini sebagai media belajar. Usai upacara bendera “di dalam kelas”, kami (anak-anak kelas 3 dan aku) beranjak menuju halaman kantor desa yang dekat dengan sekolah. Tanah becek di sana sangat fleksibel untuk dibentuk segala rupa. Satu kelas dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing beranggotakan 4-5 siswa. Plastik dan sendok menjadi amunisi setiap kelompok. Tugas mereka adalah membentuk tanah becek menjadi bentuk permukaan bumi sebagaimana yang telah mereka pelajari sebelumnya. Masing-masing kelompok memiliki kapling sendiri untuk membentuk wilayah mereka menjadi berbagai bentuk permukaan bumi, mulai dari gunung, bukit, sungai, danau, sampai laut. Mereka boleh menambahkan hutan, sawah, kolam, dan apapun yang mereka tahu dari permukaan bumi. Bahkan ada yang kemudian membuat sumur. Mereka bisa mencabut rumput-rumput untuk dijadikan miniatur hutan, sawah, atau kebun. Mereka boleh menggunakan air pada bentuk sungai, laut, dan danau. Anak-anak berseru gembira mendengar instruksi ini. Mereka langsung mencari wilayah yang tepat untuk dibentuk. Plastik yang maksudnya adalah sebagai pelindung tangan menjadi tempat untuk mengambil air dari genangan-genangan air. Sendok tidak terlalu berguna. Tangan anak-anak itulah yang akhirnya bergelut dengan tanah, asyik mencampur-aduk tanah dan mendesainnya menjadi bentuk-bentuk permukaan bumi. Mereka membuat cekungan untuk dijadikan sungai atau danau. Sebagian anak bertugas mengambil air (mereka sendiri yang melakukan pembagian tugas) untuk dituang ke miniatur perairan mereka. Anak yang lain menanam rumput-rumput atau tanaman kecil pada hutan dan sawah. Sebagian siswa kelas lain yang berada di sekitar berkerumun melihat pekerjaan anak-anak kelas 3. Mereka tertarik dan membantu memperbaiki buatan adik kelas mereka. Sebagian yang lain malah membuat bentuk sendiri, seperti bentuk burung dan binatang lain. Kesempatan bermain dengan tanah, bukankah momen seperti inilah yang paling digemari anak-anak? J Selanjutnya aku memeriksa kemajuan setiap kelompok. Sebagian sudah mulai membuat aliran sungai dengan air. Kutanya, “Mm sungainya mengalir tidak?” “Mengalir Bu,” jawab mereka. “Coba Ibu lihat.” Salah satu kelompok menuangkan air ke cekungan, namun airnya tidak mengalir. Lalu, seorang anak berseru, “Oo harusnya yang sini ni lebih tinggi, kasih tanah lagi yang sini.” “Yap, pintar!” seruku sambil tersenyum. “Kenapa hayo bisa begitu?” Anak-anak berpandangan. “Karena air mengalir dari tempat....” “Tinggi ke rendah!” Sip. J Setelah sungai mereka selesai, aku bertanya lagi, “Sungai itu berakhir di mana ya?” Anak-anak terdiam, tampak menerka. Aku memberi contoh. “Coba kita perhatikan Sungai Kandilo, mengalir dari hulu ke hilir, hilirnya itu ke mana ya akhirnya? Bermuara ke mana?” “Muara Pasir Bu,” jawab seorang anak. Oiya! Muara Pasir adalah nama desa yang terletak di ujung sungai, di tepi laut. Bertanya dengan kata muara ya jawabannya jadi muara nama desa. Hehe. “Nah Muara Pasir itu kan nama tempatnya, sebelah sananya apa? Muara Pasir terletak di dekat apa?” tanyaku lagi mencoba memantik. “Laut Bu.” “Yup, jadi, sungai berakhir di mana?” “Laut Bu!” “Pintar!” Mereka pun bergegas membuat cekungan lagi yang agak luas tapi tidak panjang sebagai miniatur laut. Air sungai mereka alirkan ke laut. Tiba-tiba mereka menaburkan dedaunan di atas laut. “Apa itu?” tanyaku. “Sampah Bu.” Glek! Pintar juga nih anak, batinku. Laut di daerah sini memang kotor, banyak sampah “menghiasi” perairan. Anak ini mencipta seperti apa yang dilihatnya. Unik. Kelompoknya juga menambahkan lampu dengan memasang shuttlecock pada tanaman kecil yang diibaratkan sebagai pohon. Shuttlecock adalah lampu yang menyinari sawah para petani. Kreatif. [gallery orderby="ID"] Selanjutnya aku beralih ke kelompok lain. Kulihat ada beberapa bentuk gunung. “Ini gunung berapi atau tidak?” “Ini bukan gunung Bu, ini bukit,” jawab mereka. “Oo... kalau gunungnya yang mana ya?” tanyaku lagi. “Yang ini na Bu,” jawab seorang dari mereka sambil menunjuk bentuk kerucut yang lebih tinggi dari kerucut-kerucut lain. “Pintar! Bukit itu daerah yang tinggi, tapi lebih rendah dari gunung,” kataku mengingatkan mereka akan materi yang pernah kujelaskan sebelumnya. Aku berajak ke kelompok lain lagi. Ada sawah yang terpisah dari daerah sekitarnya. Lalu kutanya, “Dari mana air buat sawah ini?” “Dari hujan Bu,” jawab salah seorang anak. “Pintar. Selain dari hujan, kira-kira dari apa lagi ya?” Anak-anak berpandangan. Kutunjuk arah seberang, arah Sungai Kandilo. “Ada nggak ya yang ngambil air dari sungai untuk sawah mereka di sini?” “Ada Bu. Bisa dari sungai Bu,” jawab mereka. “Hmm, jadi sawah ini bisa kalian beri jalan ya buat aliran air dari sungai.” “Iya Bu.” Mereka pun membuat sungai dari gunung lalu menurun ke arah sawah. “Eh coba perhatikan, Sungai Kandilo itu kan ada yang mengalir ke sini ya, ke depan sekolah itu, nah berarti kita bisa juga bikin anak sungai nih,” ujarku. Mereka lalu membuat anak-anak sungai (sungai yang bercabang-cabang) dan bahkan sungai tersebut dibuat mengelilingi pulau-pulau seperti Pulau Rantau, sebuah desa di tengah Sungai Kandilo. Aku mengunjungi kelompok terakhir. Mereka membuat danau dengan dikelilingi bebatuan. Gunung mereka ada di tengah danau. Benar-benar menarik. Hari pun sudah siang. Sang surya mulai menampakkan dirinya pelan-pelan. Anak-anak sudah kepanasan. Waktu menyelesaikan miniatur permukaan bumi mereka sudah selesai. Masing-masing kelompok harus menceritakan apa yang telah mereka buat, sedangkan kelompok lain boleh bertanya. Anak-anak berebut melempar pertanyaan, “Apa ini?”, “Kenapa begini?”, “Kalau itu apa?”, “Oo begitu?” dan berbagai komentar lain. Akhirnya saat bersih-bersih pun tiba. Alas kaki, pakaian, kaki, tangan, bahkan muka kucel, bau, dan kotor. Anak-anak berlarian ke genangan air di sekitar untuk cuci tangan dan kaki. Cara seperti ini biasa mereka lakukan, kalau sudah masuk air, tak peduli se-“bersih” apapun airnya akan dianggap sudah beres. Maka, kali ini saatnya belajar bersama bagaimana cuci tangan yang baik. Aku sengaja membawa sabun cair dari rumah agar mereka bisa mencuci tangan dengan bersih. Kami pun menuju kamar kecil sekolah. Kuminta anak-anak antri berdasarkan nomor presensi. Kami belajar cuci tangan dengan air yang mengalir, bagaimana menggosok tangan agar kotorannya tidak menempel, dan bagaimana membersihkan kuku agar tidak ada kotoran yang tertinggal di dalamnya. Bagi yang kukunya masih panjang harus memotongnya saat istirahat dengan potongan kuku yang sudah kusediakan di kelas (bukan silet atau pisau seperti yang biasa mereka gunakan). Semenjak acara jalan-jalan kami dulu, anak-anak mulai paham kalau kotor tak jadi soal karena bisa dicuci. Alas kaki kotor, bisa dicuci. Seragam kotor, bisa dicuci. Sekarang mereka belajar satu hal lagi. Kutanya, “Nanti kalau pulang sekolah ditanya ibu kok kotor begitu? Kalian akan jawab apa?” Seorang anak mengacungkan tangan sembari berkata, “Mm karena tadi sama Bu Zaki disuruh itu membuat, mm itu belajar... belajar kemampak eh kenampak kenampakan permukaan bumi!” Aku tersenyum. Ya. Biar kotor yang penting belajar. Persis iklan suatu produk sabun cuci. Hehe. Kusarankan ke anak-anak, “Kalau ada yang masih punya seragam bersih, besok pakai yang bersih, yang sekarang dicuci. Kalau tidak punya, besok tetap pakai yang ini tidak apa-apa, Ibu juga. Pakaian Ibu banyak yang belum dicuci.” Hehe. Anak-anak mengiyakan. Doa penutup pun mengakhiri pertemuan kami Senin itu. Peluh dan canda tawa mereka hari itu tak kan pernah kulupakan sepanjang hidupku.

Rantau Panjang, 23  Maret 2011

Mengenang hari-hariku bersama anak-anak kelas 3


Cerita Lainnya

Lihat Semua