info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Demi Surat Cinta dari Ia

Laili Khusna 17 Desember 2010
“A’uudzubillaahi minasysyaithoonirrojiim... Bismillaahirrohmaaniroohiim...” “Yaa ayyuhalladzii na amanu...” “Nuu... nu-nya panjang...” Alunan merdu itu pelan-pelan berhembus dari sebuah rumah papan sederhana di tengah petak sawah di sebuah dusun asri. Terik sinar matahari menyambut bunyi-bunyi huruf dari negeri jauh itu yang dilafalkan oleh sekumpulan anak-anak desa yang sedang belajar membaca surat cinta dari-Nya di bawah bimbingan seorang kaik (kakek). Murid-murid memanggil beliau: Guru. Guru sudah sangat sepuh, pendengaran beliau sudah berkurang, namun semangat untuk mengajarkan Alif Ba Ta masih membara. Saat menyimak bacaan, Guru harus menunduk sampai bisa membaca dengan jelas huruf-huruf kitab suci dan mendengar dengan tepat bunyi yang keluar dari bibir murid-muridnya. Tiga puluh tahun beliau mengajar mengaji, entah berapa murid sudah beliau tamatkan, bahkan ada yang sudah tiga generasi. Sebelumnya Guru mengajar mengaji di masjid, tetapi karena fisik beliau sudah menurun sehingga tidak mampu berjalan jauh, beliau membuka “TPA”-nya di rumah sendiri. Ruang tamu tanpa kursi bersatu dengan garasi serta ruang istirahat, juga dengan berbagai perabotan rumah tangga menjadi tempat sederhana bagi anak-anak untuk belajar membaca Al Qur’an. Sebuah papan tulis besar dipasang di dinding papan, bertuliskan huruf-huruf Arab yang disusun sendiri oleh Guru. Bacaan di papan itu harus dihafal anak-anak, semacam bacaan untuk maulid atau entah apa, aku sendiri juga tidak paham (hehe). Sayang, anak-anak justru belum hafal bacaan sholat. Waktu mendatang semoga aku bisa membantu mereka untuk bersujud pada-Nya dengan benar. Pekan ini aku mulai membantu Guru mengajar anak-anak membaca Al Qur’an. Yang menarik aku menemukan beberapa anak masih banyak keliru bacaannya tapi sudah sampai Iqro’ 6 atau bahkan Al Qur’an. Aku pikir bisa jadi karena Guru sudah berkurang pendengaran dan penglihatannya, mudah lelah juga, atau karena metode pengajarannya yang kurang tepat. Banyak huruf masih perlu dibenarkan meski anak sudah sampai level Qur’an. Ketika aku menyimak seorang anak yang sudah Al Qur’an, mencoba membenarkan yang salah (dan cukup banyak jumlahnya) serta memberikan penjelasan, anak itu masih membaca kala aku menerangkan, membuatku gemas sendiri dan mulai menaikkan nada bicara. Setelah itu aku menyesal, anak ini hanya ingin bisa membaca pesan Tuhan, kenapa aku harus mulai bernada tinggi? Seharusnya aku bisa mengajaknya untuk diam sejenak dan mendengarkan dulu dengan lebih santun. Lagi-lagi kesabaranku diuji, kali ini sebagai guru ngaji. Aku membayangkan 30 tahun Guru membimbing satu demi satu murid-muridnya, tentu dengan kesabaran yang tak pernah luruh dari jiwa besarnya. Sungguh, aku merindukan suasana seperti saat mengaji di rumah sederhana Guru, nuansa yang pernah kudapat beberapa tahun lalu ketika mencoba merangkai A Ba Ta menjadi kalimat bermakna, meski tidak memahami betul makna sebenarnya. Betapa surat cinta dari-Nya tak pernah lekang oleh zaman, tak berbatas ruang dan waktu, tak kenal usia, senantiasa menghadirkan kesejukan di setiap ruang batin bagi yang mau berusaha meresapinya. Dulu, aku seperti anak-anak ini, pelan-pelan berusaha mengeluarkan bunyi huruf asing dari sebuah kitab tebal. Sekarang, aku seperti guruku kala itu, membimbing anak-anak untuk membaca surat cinta-Nya. Guru selalu mengingatkanku akan satu hal: lillaahita’alaa. Mengajar itu karena-Nya. Ya, aku ingat tulisanku dahulu bahwa mengajar sesungguhnya adalah amanah Tuhan. Entah bagaimana eksplisitnya niat ini, bagiku tugas diri kita untuk berusaha menjaga niat baik ini dan melaksanakan amanah-Nya dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang telah dan terus dilakukan Guru selama 30 tahun lebih: membimbing generasi-generasi baru untuk tumbuh dalam dekapan surat cinta dari-Nya. Rantau Panjang, 17 Desember 2010 Merindukan TPA-ku di Jogja dan ayahku yang tak pernah lelah membimbing kami untuk mengenal-Nya

Cerita Lainnya

Lihat Semua