info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Benua Impian

Laili Khusna 17 Desember 2010
Selasa terakhir sebelum Ulangan Umum Semester I, aku cepat-cepat menyelesaikan materi IPS kelas 6 tentang benua dan samudra. Kutekankan beberapa hal yang sebenarnya akan keluar di ujian nanti. Di akhir pelajaran, usai materi tersampaikan, kuminta masing-masing siswa membuat pesawat terbang dari kertas sebaik-baiknya, seindah-indahnya, boleh diberi hiasan dan harus diberi nama (boleh nama pribadi, boleh nama unik lain, yang terpenting menunjukkan bahwa itu pesawat mereka). Anak-anak bersorak sorai, senang sekali ketika ada komando membuat pesawat usai lelah mencatat (maklum nggak punya buku, jadi harus banyak mencatat). Ketika anak-anak sibuk mempersiapkan pesawat terbang pribadi mereka, aku menggambar “dunia” (seluruh benua dan samudra) dalam bentuk mendatar. Meskipun melengkung-lengkung, mleyat-mleyot gambarku, tak apalah, toh daratan kan bergerak, hehe, cukup mirip kok. Selesai menggambar dan menuliskan keterangan di setiap benua dan samudra, kuperhatikan gambarku, lalu kutambahkan tulisan INDONESIA pada daerah nusantara. Kemudian kutuliskan pula nama “Paser” di sebuah titik di pulau terbesar negeri ini. Aku mundur ke belakang, kuamati sekilas memastikan bahwa gambar dan nama tiap benua dan samudra sudah tepat. Lalu aku berbalik mengamati anak-anak yang masih sibuk. Kulihat seorang anak yang biasanya ogah-ogahan di kelas atau ramai sendiri saat pelajaran berlangsung, tampak begitu serius sampai jalan ke sana ke mari mencari pensil warna untuk menghias pesawatnya. Aku tersenyum. Andai dahulu sekolah memberiku kesempatan untuk seperti ini walau sejenak, pasti aku bangun dari tidur panjangku di bangku :P. Kudatangi beberapa siswi yang mengeluh tidak bisa membuat pesawat. Kuminta mereka meminta tolong teman-teman untuk mengajari mereka. Beberapa siswa pun datang dan mengajari anak-anak putri untuk menciptakan sebuah pesawat kertas. Lalu, seorang murid bertanya, “Pesawat Bu Guru mana?” O iya! Gimana sih, nyuruh doang! Haha, dengan sedikit malu aku pun sibuk mempersiapkan pesawat kertasku di tengah ributnya kelas karena sudah banyak yang menguji kemampuan terbang pesawat mereka. Seorang siswa yang kata dia sendiri “saya malas nyatat Bu” (tapi kadang mau juga kalau sudah dibujuk) melihat pesawat karyaku, lalu berkata, “Dikasih penyangga Bu biar bagus.” Ha?? Aku bengong, maksudnya? “Begini na Bu,” anak itu lalu mengajariku cara membuat pesawat kertas yang lebih baik, yang lebih kuat dan terbangnya akan lebih bagus. Aku manggut-manggut saja diajari. Usai pesawat terbangku jadi, bersama anak-anak, aku menguji kemampuan terbang pesawatku. Oh, tidak lebih baik dari buatan anak-anak itu. Maklum, pesawat Bu Guru sudah tua... :D Setelah semua siap dengan pesawat pribadi di tangan masing-masing, kuminta mereka menerbangkan pesawat mereka menuju benua yang ingin mereka datangi suatu saat nanti. Dalam hitungan ke-3, semua pesawat meluncur ke papan tulis, ada yang berbelok ke dinding, ada yang menabrak tepat di benua Amerika, ada yang Afrika, Eropa, dan ada pula yang sampai di samudra. Riuh rendah mewarnai terbangnya pesawat-pesawat anak-anak ini menuju benua impian mereka. Kubiarkan anak-anak menerbangkan pesawat mereka berkali-kali. Pesawatku pun turut terbang bersama pesawat mereka. Eropa Zak! I’ll be there! J Tiba-tiba dua anak berkata, “Bu, aku ingin ke Indonesia aja, di sini ni, di Paser aja,” sambil menunjuk daerah Indonesia dengan moncong pesawat mereka. “Kenapa?” tanyaku. “Biar bisa maen PS.” Glondheng......Well, oke, Indonesia adalah tempat main PS. Dengan semangat akhirnya aku berkata, “Woo jangan salah, di Amerika PS-nya lebih bagus, canggih, games-nya lebih keren!” “Oya Bu? Kalau gitu aku mau ke Amerika aja!” Kalau anak ini menginjakkan kaki di Amerika suatu saat nanti, semoga mereka menemukan yang lebih baik dari sekadar bermain PS. “Bu, Bu, yang banyak bule-nya di mana Bu?” tanya seorang anak lain, masih di tengah keriuhan suara pesawat terbang eh suara anak-anak pemilik pesawat terbang. “Bule itu cirinya kan kulit putih, ada banyak di Eropa, Amerika, dan Australia.” “O, aku mau ke sana Bu.” “Bu, Bu, kalau Afrika seperti apa Bu?” “Afrika alamnya bagus....” Aku baru menyadari ini salah satu metode pembelajaran yang menarik. Tanpa sengaja, anak-anak belajar benua mana yang berpenduduk mayoritas kulit putih atau ras kaukasoid, mana yang kulit hitam atau negroid, di mana negara Amerika Serikat, benua mana yang penuh salju, samudra apa yang dekat dengan Indonesia, dan seterusnya. Awalnya aku hanya membuat permainan sebagai penutup pelajaran untuk memotivasi mereka. Ide semacam ini, membuat pesawat pengetahuan dan langit impian kuperoleh dari sahabat sesama Pengajar Muda yang bertugas di Tulang Bawang Barat, Lampung dan Bengkalis, Riau. Namun tak kusangka, ini sebenarnya sebuah metode belajar yang tidak menjenuhkan. Menjelang lonceng berbunyi, kuajak mereka duduk rapi, lalu mulailah kugali apa yang mereka dapatkan dari sini, mencoba meyakinkan mereka bahwa kita bisa ke tempat yang kita inginkan asalkan..... “Punya uang Bu!” “Pintar Bu!” Siiip Anak-anak! Kalau mau punya uang harus bekerja, kalau mau bekerja yang baik harus pintar. Orang pintar punya pengetahuan. Ya, kita butuh pesawat pengetahuan untuk menuju benua impian. Mengalirlah ceritaku, bahwa teman-teman Ibu ada yang sudah sampai Amerika tanpa membayar sedikit pun, gratis, dibiayai oleh pemerintah. Kuncinya? Karena mereka punya pengetahuan dan mau berusaha (untung mereka nggak tanya, “Kalau Ibu?” Haha, makanya kita menerbangkan pesawat kita bersama-sama Anak-anakku... J ) Aku pun berkisah, “Teman-teman Ibu dan Ibu sendiri tidak pernah menyangka bisa berdiri di atas tanah pulau ini, kenapa? Karena kami semua yang ada di sini mau berusaha mendapatkan pengetahuan. Tadi ada yang mau ke Indonesia, boleh, keliling Indonesia, masih banyak tempat yang belum kita kunjungi. Karenanya, rajin belajar, Ibu yakin kalian pasti bisa, dan satu kuncinya: jangan pernah menyerah!” “Jangan menyerah... jangan menyerah...” seorang anak di meja belakang bersenandung lagu D’Masiv. “Ya, seperti lagu itu!” Lonceng pun berbunyi mengiringi senyumku untuk anak-anak di siang itu. Kupandang sekali lagi benua impian sebelum menghapusnya. Terhapus di papan tulis ini, namun semoga tak akan pernah terhapus di memori kami. Dan kubawa pesawat pengetahuanku menuju ruang perpustakaan untuk membagi pengetahuanku lagi: A B C. Senja mendung di Rantau Panjang, 15 Desember 2010 Thx a lot for Yunie J

Cerita Lainnya

Lihat Semua