info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

A B C

Laili Khusna 17 Desember 2010
Ia terdiam lalu tersenyum kecil. Pandangan matanya berputar-putar ke segala arah, bingung mencari jawaban untuk sebuah pertanyaan sederhana, “Ini huruf apa?” Begitu pula temannya, tak tahu pula huruf apa yang kutunjuk di atas selembar kertas. Aku mencoba memberikan asosiasi, huruf ini bentuknya seperti angka sembilan terbalik, huruf e kecil. Mereka tampak kurang mengerti. Kemudian aku curiga satu hal, kuminta mereka menulis angka dari satu sampai sepuluh. Pelan-pelan mereka menorehkan angka demi angka di atas kertas. Angka sembilan mereka terbalik, justru mirip huruf e kecil. Beberapa angka juga masih keliru, bahkan ada yang tidak tahu atau barangkali lupa. Kelas 2 sebuah sekolah dasar yang berjarak hanya sekitar 8 km dari ibukota kabupaten. Seorang guru berinisiatif mengadakan les baca tulis sepulang sekolah bagi mereka yang masih belum bisa membaca. Tanpa berpikir dua kali, aku membantu guru itu. Boleh dibilang ini pertama kalinya aku mengajar membaca secara rutin. Sebagian anak sudah memiliki cukup kemampuan membaca, ada beberapa masih mengeja, dan sebagian lain tertatih-tatih mengikuti kawannya. “A I U E O”. Kuajak mereka belajar huruf dengan tangan. Jari-jari yang membentuk segitiga menjadi huruf A, telunjuk membentuk I, dan seterusnya. Saat itu aku benar-benar tak tahu bagaimana cara belajar dan mengajar membaca yang tepat sekaligus bisa berhasil dengan cepat. Kuamati seorang anak tampak lebih mudah belajar dengan jari. Akhirnya lagu singkat c-o-c-o-n-u-t yang biasanya diucapkan dalam Bahasa Inggris, ku-Indonesia-kan dengan menggunakan gaya jari serta badan yang membentuk masing-masing huruf itu. Meski terdengar aneh bila dibandingkan ucapan dalam Bahasa Inggris, anak-anak itu tampak menikmatinya, yang terpenting mereka tahu seperti apa huruf c, o, n, u, dan t. Beberapa hari berikutnya, seorang guru bertanya padaku, “Bu, kemarin si A belajar di rumah Ibu y?” “O iya Bu, kenapa?” Guru itu pun bercerita, “Tadi saya lihat dia ngajari temennya, ini A, na begini na A, ini U pake jari gitu Bu. Saya tanya ternyata dia belajar sama Ibu.” Aku pun tertegun. Anak yang disebut Ibu Guru itu, anak yang senyam-senyum saja ketika diajar membaca, anak yang malu-malu ketika datang ke rumah sampai tidak mau masuk sebelum dibujuk rayu, anak itu telah belajar dan mengajarkannya kembali ke temannya! Subhanallah... aku pun belajar untuk berbagi pengetahuan dengan sesama dari seorang anak kelas 2 SD yang masih tertatih-tatih mengenal huruf dan merangkainya. Maka, semangatku pun berlanjut. Kucari cara mengajar dan belajar membaca, baik dari internet maupun dari beberapa orang yang pernah mengajar membaca. Rupanya, sebaiknya anak langsung dikenalkan pada kata karena elemen terkecil dari bahasa adalah kata. Anak lebih mudah memahami kata konkrit, seperti kata benda yang ada di sekitar mereka. Aku pun menggambar beberapa bentuk dan menuliskan namanya pada setiap bentuk. Mereka belajar satu demi satu kata: ibu, mata, bola mata, pipi, kaki, dan seterusnya. Pelan... pelan... Memang mereka jadi terpatok pada gambar sehingga mereka bisa karena gambarnya sudah mereka kenal. Strateginya kubolak balik hurufnya sehingga mereka belajar huruf mana saja yang benar dalam membentuk nama suatu gambar. Mereka akan tahu perbedaannya dari membaca rangkaian huruf itu ketika dibolak-balik. Kata orang, metode terbaru jangan mengeja, tapi anak-anak itu sudah terbisa, jadi aku tidak mempermasalahkannya (toh yang sekarang bisa membaca, awalnya juga mengeja), hanya kulatih mereka untuk mengeja di dalam hati, jadi bunyi yang keluar langsung bunyi bacaannya. Sembari belajar kata secara otomatis mereka belajar huruf demi huruf. Sebagaimana saran sesama Pengajar Muda, kugunakan asosiasi. Huruf b itu punya perut, huruf d punya pantat, huruf u seperti gelas, kalau j seperti pegangan payung dan seterusnya. Mereka juga harus menebak beragam huruf pada bungkus-bungkus makanan, minuman, dan pasta gigi yang sengaja kukumpulkan. Sedikit demi sedikit mereka lebih mudah menghafal bentuk-bentuk misterius itu. Aku berencana membuat kartu baca berisi gambar dan kata. Namun seringkali aku ragu karena aku tidak bisa menggambar dengan baik, belepotan betul gambarku, takutnya nanti beda persepsi antara maksudku dan penangkapan anak, hehe. Alhamdulillah saat mampir di sebuah toko buku aku menemukan kartu baca (awalnya salahku sendiri meragukan tempat ini, jangan-jangan nggak punya barang begituan, hehe). Tanpa ragu lagi, kubeli seri 1. Hari berikutnya kubawa ke sekolah, syukurlah seorang guru kemudian berinisiatif untuk membeli seri berikutnya. Pada hari-H les baca, kami (seorang guru dan aku) menggunakan kartu itu. Seorang anak dari pulau seberang yang belum hafal huruf, masih bingung mengeja, dan bahkan menulis angka pun masih terbalik-balik, sementara ia jarang turun untuk ke sekolah (jarang turun ke sungai untuk menyeberang menuju sekolah), kalau diajari hanya cengengesan, pandangannya berputar-putar ke mana-mana sampai para guru geleng-geleng kepala menghadapi anak ini, tiba-tiba begitu antusias saat pertama kali melihat kartu-kartu huruf berserakan di lantai perpus. “Bagusnya.....” matanya berbinar melihat kartu-kartu itu. “Beli di mana Bu?” tanyanya. “Media Paser,” jawabku sembari tersenyum, bahagia melihat seorang anak laki-laki dengan rambut tegak dan bekas luka di sepanjang kaki membolak-balik kartu baca yang baru pertama kali ini dilihatnya. Pelan... pelan... anak-anak itu berupaya merangkai huruf demi huruf menjadi kata. Tak jarang mereka sudah bisa mengeja tiap suku kata, tapi kemudian saat sampai di suku kata kedua, diminta membaca keseluruhan, mereka tak ingat lagi suku kata pertama. Kerapkali, suatu huruf yang tadinya sudah diketahui, ditanya lagi, tak tahu lagi. Kadangkala ketika sebuah suku kata diucapkan, misalnya ba... berarti huruf apa dan apa, seraya kuminta mereka mengucapkan dan memperhatikan bunyi keluarnya huruf itu dari bibir, perlu waktu lama bagi mereka untuk menemukannya. Terkadang aku gemas sendiri..... Masya Allah... betapa Allah menguji kesabaranku. Entah bagaimana dulu ibu dan guru-guruku mengajariku membaca. Takkan mungkin berhasil bila mereka tak punya permata kesabaran. Sabar dan ikhlas... Ya, karena anak-anak yang sedang belajar membaca itu pun punya kesabaran luar biasa agar bisa memahami makna dari bentuk-bentuk misterius seperti yang telah merangkai catatan A B C ini. Rantau Panjang, 11 Desember 2010 Tak terasa satu bulan sudah aku berada di sini.

Cerita Lainnya

Lihat Semua