Demi Cinta Kami pada Al Qur-an Suci
Laili Khusna 31 Juli 2011
Senja. Adzan maghrib berkumandang serak tak jelas dari sebuah masjid sederhana yang lebih sesuai disebut surau. Masjid kecil ini terbuat dari papan dengan warna cat hijau suram, dikalahkan oleh hijaunya pepohonan di sekitar masjid. Meski dari luar masjid tampak suram, sunyi, dan seakan tak dihidupi, namun setiap malam hari dalam redupnya penerangan tenaga surya, dalam masjid ini hidup suara-suara para pelafal surat cinta Tuhan, sekumpulan anak-anak transmigran.
Bila hari tidak hujan sehingga jalan mudah dilalui, anak-anak berangkat mengaji dan mengkaji ilmu di masjid, diawali sholat maghrib berjamaah dan diakhiri sholat isya’ berjamaah. Maka sudah pasti di malam hari yang gelap karena tak ada penerangan, anak-anak bersepeda, berjalan kaki, atau berdesakan di motor bersama orangtua untuk berangkat ke masjid, melewati jalanan berbatuan atau becek bila sehabis turun hujan. Sampai di masjid, usai sholat maghrib, anak-anak bergegas mengambil Iqro’ atau Al Qur-an yang sebagian sudah robek sana sini, lalu duduk siap mengaji di bawah sebuah lampu. Sebuah saja di bagian pengimaman. Anak-anak berkumpul membaca doa memohon ilmu yang bermanfaat dilanjutkan ikrar santriwan santriwati. Setelah dibuka dengan doa dan ikrar santriwan santriwati, anak-anak mulai melancarkan bacaannya sebelum diuji di depan guru. Di bawah redupnya lampu, anak-anak menunduk mencoba merangkai a ba ta dengan hati-hati. Bangganya aku pada mereka, tanpa keluhan, mereka terus melafalkan surat cinta-Nya dengan lancar. Anak-anak trans mengaji dengan baik. Bila keliru mereka takkan dinaikkan oleh guru ngaji mereka. Harus betul-betul benar, baru bisa lanjut. Selain mengaji mereka juga belajar amalan lain, seperti praktek wudhu, sholat, tajwid, dan juga akhlaq. Penggerak utama kegiatan ini sepasang suami istri petani yang tak lelah membimbing anak-anak untuk belajar mengenal agama mereka meski kerapkali suami istri ini harus merogoh kocek mereka untuk kelancaran kegiatan TPA.
Di antara anak-anak trans itu, aku ingin mengisahkan dua orang muridku, kakak beradik yang rajin datang ke masjid. Si kakak bernama Ahmad, duduk di kelas 6, si adik bernama Dwi duduk di kelas 5. Si kakak pernah tidak naik kelas, namun sekarang dia tergolong cerdas, hanya saja guru geleng-geleng dengan kelakuannya yang buandel. Dengan kecerdasannya dan atas izin Tuhan tentu saja, Ahmad berhasil melaju ke babak semifinal saat Olimpiade Sains Kuark nasional beberapa waktu lalu. Ahmad dan Dwi seolah tak pernah punya kamus “lelah, capek, dan takut” dalam hidup mereka. Dengan jarak rumah yang cukup jauh dari masjid, kegelapan nyaris total, jalan sempit berbatu di antara rimbun pohon bukan alasan bagi dua anak ini untuk absen datang ke masjid. Sepeda ontel buntut menjadi andalan utama. Kalau tidak (karena sepedanya hanya satu), ya mereka berjalan kaki. Di malam yang gelap mereka bersepeda atau berjalan kaki melewati jalan setapak sempit dan berbatu di antara jalur rimbun pepohonan menuju rumah mereka di ujung, jauh dari jalan utama. Bila pulang sekolah, belum sampai satu jam, mereka sudah tampak di jalanan, siap berpetualang. Bila waktunya les, mereka sudah hadir sebelum jam les dimulai, sebelum anak-anak lain datang. Usai les, mereka bergegas mengayuh sepeda atau berjalan kaki ke gedung desa sejauh hampir tiga kilometer untuk bermain bulutangkis. Dengan tak ada kamus capek, Ahmad pernah bertanya padaku apakah bisa belajar bersamaku di malam hari. Sayangnya tempat tinggalku jauh dari rumahnya dan dengan jalanan yang gelap di antara kebun-kebun, aku tak tega bila dia harus pulang larut malam. Dan tentu jujur saja aku juga punya katerbatasan untuk mengajar di malam hari. Namun aku salut pada semangatnya. Tanpa ada yang membantunya untuk belajar di rumah, ia berpikir harus belajar dengan orang lain.
Hampir setiap malam sebelum menembus gelapnya kebun di malam hari, Ahmad selalu tampak bersemangat memperlancar bacaannya. Ia sudah Al Qur’an, namun belum terlalu lancar, tapi Ahmad tak patah semangat. Ahmad dan Dwi hanya contoh dari anak-anak di sini yang ingin belajar membaca surat cinta-Nya dengan benar, yang ingin memahami makna di balik surat cinta-Nya. Jauh, gelap, redup, jalanan yang keras, jalanan utama yang becek bukan halangan, bukan alasan untuk mengeluh lelah dan menyerah atas keadaan. Bahkan anak-anak tanpa mukena pun atau dengan mukena seadanya yang sudah lusuh dan robek tetap menjalankan kewajiban mereka untuk menyembah Tuhan dan mengaji ayat-ayat-Nya. Tuhan Memberi kekuatan pada anak-anak itu, pada guru ngaji mereka, pada ayah ibu mereka. Dan Tuhan Mengajarkan padaku tentang kekuatan itu dengan berada di tengah-tengah mereka untuk nantinya terus kupatri meski aku tak lagi berada di antara mereka. Aku benar-benar belajar dari anak-anak itu, juga dari perjuangan guru ngaji mereka. Anak-anak mungkin tak sepenuhnya paham mengapa harus sholat, membaca firman-Nya, dan mengamalkan ajaran-ajaran-Nya di tengah keterbatasan yang mereka punya. Tetapi ikrar mereka memberi jawaban atas alasannya yang mestinya juga menjadi alasan kita sebagai seorang muslim: demi baktiku kepada Ilahi dan cintaku kepada Al Qur’an suci...
Rantau Panjang, Jum’at, 29 Juli 2011
Happy Ramadhan 1432 H :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda