Anak-anakku, Anak-anak Indonesia
Laili Khusna 23 Juli 2011
“Assalamu’alaykum... Bu... les kan hari ini Bu?” salam anak-anak kampung.
“Bu Zaki, Bu Diah udah dataangg!! Leess!! Selamat pagi Cik Gu, eh Selamat sore Bu!” seru anak-anak di seberang sungai.
“Brrrmmm...” suara motor memecah keheningan di ujung jalan setapak, lalu... “Bu Zaki datang, Bu Zaki datang!!” seru anak-anak sambil tertawa riang, semua menghentikan aktivitas bermain, sebagian mempersiapkan buku, sebagian sibuk mencari tempat bersembunyi untuk mengelabui Bu Zaki dan senyam senyum bila mata Bu Zaki sudah melirik. Mereka anak-anak daerah transmigrasi.
Kampung, seberang, trans. Demikian aku menyebut tiga daerah tempat aku belajar bersama anak-anak di luar jam sekolah. Kenapa kubagi tiga daerah? Desa ini sungguh luas (6652 hektar), sebagian besar dipenuhi oleh kebun, hutan, dan sawah. Orang-orang biasa menyebut bagian-bagian desa ini dengan: kampung atau kadang disebut “bawah” untuk daerah dekat sungai yang didominasi lahan persawahan dan trans untuk daerah transmigrasi yang semenjak dulu telah ditetapkan pemerintah. Sementara itu, sebuah desa lain bernama Pulau Rantau yang terletak di seberang desaku, di tepi Sungai Kandilo biasa disebut seberang. Murid-muridku berasal dari tiga daerah tersebut. Awalnya aku hanya mengadakan bimbingan belajar di tempat tinggalku di daerah bawah. Hanya sebagian kecil murid kampung yang bisa ikut les, sedangkan anak-anak trans kesulitan bila harus ke bawah karena jarak yang jauh (sekitar 3,5 km) dengan jalan yang tidak ramah apalagi sehabis turun hujan. Jalanan di trans akan menjadi lengket, becek, berlumpur, dan tergenang bagai kolam. Sementara anak-anak seberang kesulitan dalam transportasi. Perahu digunakan orangtua mereka untuk bekerja. Kalaupun ada perahu lain, tidak semua anak bisa mengemudikan dan tidak ada yang mengantar. Jika ada anak yang bisa membawa perahu, perahunya hanya muat beberapa anak saja. Aku merasa tidak adil dengan keadaan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk mengajar di tiga daerah tersebut. Aku yang ke sana, bukan anak-anakku yang harus ke tempatku. Dengan pinjaman motor atau sepeda ontel keluarga angkatku, aku pergi ke trans pada hari tertentu. Lalu, dengan perahu dan sopir sewaan, aku bersama rekanku sesama pengajar (Diah Setiawaty) menyeberang Kandilo setiap Rabu. Dan setiap pekannya aku melihat senyum terpancar dari anak-anak itu, mendengar seruan dan sapaan mereka saat kami tiba. Mereka sangat bersemangat.
Trans. Menuju daerah ini ketika musim hujan tiba bukanlah hal yang mudah. Lumpur, jalan becek, dan kolam menyambut ban sepeda yang lewat. Lengket, cebyur. Alas kaki beserta celana panjang akan belepotan, belum lagi kalau ditambah acara jatuh. Pernah suatu kali aku jatuh di kubangan panjang saat hujan deras dengan posisi memboncengkan dua muridku dan berbalut mantel. Rupanya bukan aku saja yang sempat merasakan mak cebyur di kubangan jalan panjang itu, namun juga orang-orang trans sendiri. Jadi bayangkanlah bagaimana keseharian para transmigran saat itu. Syukurlah akhir-akhir ini sudah banyak titik rusak ditimbun batu sehingga tidak terlalu membahayakan. Murid-muridku pun bertambah semangat belajar.
Anak-anak trans. Demikian aku menyebut mereka, mengikuti sebutan orang-orang. Anak-anak para transmigran, mayoritas berasal dari Jawa Timur. Anak-anak trans tampak begitu sederhana. Mereka harus mengayuh sepeda beberapa kilo untuk sampai sekolah dengan kondisi jalan yang “terlalu ramah”. Bagi yang tidak memiliki sepeda, harus berjalan kaki di antara pepohonan dan menyusuri jalan bebatuan untuk sampai ke rumah mereka. Rumah-rumah mereka seragam, rumah panggung dari papan-papan lapuk warisan pejuang-pejuang trans yang mendapat modal dari pemerintah. Soal air, hmm, sumber utama adalah air parit berwarna kuning dengan endapan tanah coklat mirip air kopi ketika diangkat dengan sendok. Bila hujan, masyarakat bisa bergembira merasakan air jernih (seluruh desa ini memang begitu). Listrik? Jangan harap ada PLN mengalir. Dengan kondisi demikian pun, anak-anak trans terkenal pintar, cepat menangkap dan memahami pelajaran. Aku pikir karena sebelumnya ada seorang ibu yang membuka bimbingan belajar di daerah tersebut dengan biaya rendah sehingga anak-anak trans cukup terbantu dalam proses belajar mereka. Setelah ibu pembimbing kembali ke Jawa, aku menggantikan beliau mengajar anak-anak trans. Betul saja seperti kata orang-orang, anak-anak ini cukup pandai, mudah menangkap materi. Setelah beberapa lama berjalan, bimbingan belajar di trans mulai menyebar ke anak-anak trans lain yang sebelumnya tidak pernah ikut bimbel. Orangtua mereka bertanya soal biaya. Oh, rupanya masalah biaya. Pak, Bu, tidak perlu membayar sedikitpun alias gratis. Akhirnya anak-anak trans lain berbondong-bondong ikut bimbel. Setelah anak-anak lain bermunculan, aku baru menyadari bahwa banyak dari mereka yang masih tertinggal materi, belum cepat memahami pelajaran, dan berbagai kesulitan lain. Mereka anak-anak yang sebelumnya tidak ikut bimbel karena masalah biaya dan belum tentu pula di rumah ada yang membimbing mereka. Saat menyadari hal ini aku semakin percaya bahwa anak-anak perlu bimbingan dalam pendidikan mereka. Sekolah saja tak cukup. Minimal ada dorongan dari orangtua untuk membuat anak mereka bersemangat dalam belajar. Murid-muridku trans membuktikannya.
Anak-anak trans paling sering bertanya, “Kapan kita les lagi Bu?” Orangtua mereka pun bertanya. Semakin lama berjalan, anak-anak yang belum sekolah turut serta menambah ramainya bimbingan di daerah ini. Aku sendiri musti membagi konsentrasiku untuk kelompok-kelompok kelas yang berbeda. Setiap kelompok kelas pun berlainan kemampuan antaranak sehingga aku musti membagi fokus lebih detail lagi. Namun aku berterima kasih pada mereka tentang ide kelas besar membantu kelas kecil untuk belajar sehingga aku terbantu. Maka setiap les bersama anak-anak trans suasana selalu riuh, karena di samping mereka saling mengajari kawannya mereka juga aktif bertanya. Betapa bahagianya melihat semangat mereka, juga kala teringat perjuangan orangtua mereka, orang-orang transmigrasi, jauh dari kenyamanan hidup di Jawa, jauh dari keluarga besar untuk mengadu nasib di ladang-ladang di atas tanah berawa. Aku berdoa anak-anak ini akan pernah menginjakkan kaki di Jawa untuk sekolah setinggi-tingginya.
Kampung. Bawah. Daerah ini tergolong cukup nyaman dengan jalan poros yang sebagian besar sudah diaspal. Rumah-rumahnya relatif lebih baik dari pemukiman trans. Soal air dan listrik bisa dibilang sama saja. Penghuni daerah ini mayoritas suku Bugis dan sebagian Paser. Hamparan padi dan kegagahan nyiur menghiasi kampung ini. Anak-anak yang mengikuti les didominasi kelas atas (4-6), namun pesertanya tidak rutin. Ada yang satu kali saja berangkat dalam satu bulan, ada yang berangkat hanya ketika ada PR, sedangkan sebagian memang ingin belajar. Karakternya memang berbeda dengan anak-anak di daerah lain. Orang bilang kemauan anak kampung ini tidak cukup gigih, barangkali terlena dengan kenyamanan mereka. Bagiku anak-anak ini butuh dorongan ekstra terlebih bila orangtuanya angkat tangan terhadap pendidikan anak mereka. Putus nyambung sekolah pun menjadi hal biasa. Maka, anak-anak ini sangat butuh motivasi. Satu hal menarik yang kutemui pada anak-anak kampung ini adalah minat baca. Mereka sangat senang membaca tumpukan majalah Kuark dan buku-buku lain. Setiap aku membawa buku baru, mereka memburunya. Itulah keistimewaan mereka. Dengan menemukan sisi unik dari anak-anak ini tentu akan lebih mudah menanamkan semangat baru pada mereka, semangat untuk belajar, untuk menggali ilmu lebih banyak lagi.
Seberang. Pulau Rantau. Sebuah pulau di tengah sungai utama yang membelah kabupaten ini, Kandilo. Sungai Kandilo di satu sisi menjadi kekhasan Paser, namanya dijadikan sebuah tembang yang tak lekang zaman, sumber air utama bagi masyarakat Paser, sumber mata pencaharian bagi para nelayan sungai, serta jalur utama transportasi air yang menghubungkan kota dengan laut dan daerah pesisir. Di sisi lain sungai ini menjadi momok tersendiri. Dengan airnya yang coklat keruh, badan yang lebar serta dalam, ditambah buaya-buaya dan ular sungai ini tentu tidak bisa dikatakan nyaman. Kandilo cukup mengerikan. Kasus-kasus orang tenggelam adalah cerita khas sungai ini. Ketika pertama kali kami ke Pulau Rantau, tanpa sengaja rekan saya, Diah tercebur ke sungai yang airnya sedang pasang sampai bibir jembatan di depan rumah. Alhamdulillah ia selamat dengan mengandalkan kemampuan berenangnya. Aku tidak kuat membayangkan bila itu terjadi padaku yang notabene belum bisa berenang. Na’udzubillah... Namun kemudian aku berpikir tentang orang-orang di sini, tentang kehidupan anak-anak didikku. Mereka bertaruh nyawa ketika harus mandi di sungai, saat menjulu udang, juga ketika berangkat sekolah. Apalagi bagi mereka yang mendayung sendiri, bukan dengan perahu mesin yang lebih besar, tanpa diantar orangtua. Tapi aku juga percaya pada keahlian alami mereka setelah alam menempa mereka bertahun-tahun.
Pulau Rantau. Tidak ada jalur darat yang menghubungkan desa ini dengan daratan desaku. Sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan. Bisa dibayangkan bila malam hari, tidak ada listrik mengalir, kanan kiri depan belakang adalah kegelapan. Bagian depan rumah adalah sungai tenang yang gelap dan bisa menelan siapapun yang tidak beruntung. Seberangnya adalah hutan desaku yang tentu juga gelap. Di desa ini untuk bepergian dari satu rumah ke rumah lain akan lebih mudah naik perahu ketimbang menembus semak belukar. Ketika pertama kali mengunjungi desa ini kami berkeliling kampung melalui jalur darat. Orang-orang bilang sekarang sudah ada jalan menuju rumah lain, tapi sebaiknya tidak menggunakan alas kaki. Kenapa? Rupanya “jalan” yang dimaksud adalah hasil tebasan pepohonan dan semak, bukan jalan sebagaimana kita biasa menyebutnya. Jalan tanah yang becek dengan ilalang, pohon, rerumputan tinggi di sana sini, mengenai baju dan kaki kami. Dengan kata lain yang kami lakukan sebenarnya adalah menerobos jalur semak yang sudah lumayan bisa dilalui badan dan kaki.
Anak-anak seberang. Anak-anak yang selalu membuatku haru. Anak-anak dalam balutan merah putih memutar perahu mereka, mendayungnya, menarik mesinnya, menyusuri Kandilo. Sebagian besar diantar orangtua, sebagian menumpang perahu tetangga. Tujuan mereka sama: sekolah. Anak-anak seberang terkenal kerap absen. Bila hujan turun, mereka sulit menyeberang. Bila perahu dipakai orangtua kerja sampai berhari-hari, terpaksa anak-anak tidak turun sekolah sebab tak ada yang mengantar. Sekolah bukan hal mudah, apalagi bimbingan belajar. Maka ketika waktu dan tempat les tidak dapat mereka jangkau, kamilah yang mencari perahu dan sopir sewaan untuk menyeberang sungai, menuju desa anak-anak seberang.
Pertama kali perahu sewaan kami merapat ke depan rumah-rumah panggung di Pulau Rantau, orang-orang menatap kami dengan raut keheranan, muka bertanya-tanya. Saat kami menginjakkan kaki di jembatan kayu lalu merambah memasuki semak-semak, anak-anak berdatangan dan berbisik pada orangtua mereka, “Itu guruku Bu.” Ide kami untuk mengadakan les pun disambut dengan sangat baik. Bukan hanya murid-murid SD yang belajar, namun juga anak-anak yang belum bersekolah. Kami bagi anak-anak menjadi dua kelompok, kelas kecil diampu Diah, sedangkan aku membimbing kelas besar. Awal les, anak-anak banyak diam, bingung dengan hal baru seperti ini: bimbingan belajar. Lama kelamaan anak-anak bertambah antusias, berani bertanya bila belum paham, berani mengangkat tangan untuk berebut menjawab pertanyaan, berani mengucap a b c di depan guru mereka. Aku memang cukup kewalahan memberikan les di tempat ini. Mereka banyak tertinggal materi pelajaran. Banyak hal mendasar yang belum mereka pahami, sehingga aku harus mengulang materi. Namun setiap merasakan semangat mereka, aku selalu turut bersemangat. Dengan keterbatasan yang mereka miliki, anak-anak ini punya keinginan untuk menjadi lebih baik. Bahkan rasanya aku tak bisa berhenti berterima kasih pada mereka bila perahu sewaan kami tak bisa mengantar, anak yang punya perahu menjemput kami dan mengantar kami kembali demi tetap adanya bimbingan belajar bagi anak-anak seberang sungai itu.
Trans. Kampung. Seberang. Kemampuan mereka memang berbeda, namun semangat mereka sama-sama membara. Mereka hanya belum tahu bagaimana menjaga bara semangat itu agar tak mudah luluh oleh lingkungan yang kurang mendukung. Anak-anak perlu bimbingan dan dorongan, lebih dari yang mereka peroleh selama ini. Bukan seratus persen salah anak-anak bila mereka tidak mendapat pendidikan yang layak sebagaimana anak-anak di tempat lain. Maka ketika suatu hari saat les di seberang aku melempar sebuah pertanyaan sederhana, “Apa nama negara kita?”
“Jogjakarta!” jawab anak kelas lima dengan mantap, aku menangis dalam hati. Entah karena ia tidak memperhatikan pelajaran dengan seksama atau saking asingnya kata negara dan nama negara ini atau pula saking rumitnya negara ini untuk diingat, aku tetap tak bisa menahan sesak. Lalu aku berseru dengan tak kalah mantapnya, “Negara kita bernama INDONESIA! Apa nama negara kita anak-anak?”
“INDONESIA!!”
“Ulangi lagi, apa nama negara kita?”
“INDONESIA!! INDONESIA!! INDONESIA!!”
Sebagai penutup, mari aku perkenalkan, anak-anak yang berseru itu adalah anak-anakku, anak-anakmu, anak-anak kita, anak-anak negeri ini, anak-anak Indonesia. Salam hangat dari mereka untuk kalian semua.
Rantau Panjang, 21 Juli 2011
Selamat Hari Anak Nasional 23 Juli 2011 :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda