info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Dalam Gulita Kami Bercerita

Laili Khusna 31 Juli 2011
Duduk di depan laptop dengan penuh kebimbangan. Tanpa penerangan selain dari layar laptop. Memencet tuts-tuts keyboard yang sebagian besar sudah dihafal. Dag dig dug bila lampu merah mulai menyala menandakan baterai laptop lemah. Mengejar tugas demi tugas yang musti diketik. Bila lelah, ingin kuberistirahat sejenak dan mengambil handphone, mengubungi rekan-rekan nun jauh di sana. Namun apa daya bila hp sulit diharap, baterai minim. Ah, beginilah bila teknologi tinggi tidak berbanding lurus dengan basic-nya teknologi: listrik. Dan sayangnya kami pun termasuk golongan orang-orang yang bergantung pada listrik. Aku hanya salah satu dari sekian banyak rekanku yang bertugas di banyak daerah di nusantara ini yang tidak bisa menikmati listrik setiap saat. Bahkan di antara yang tidak berlistrik aku termasuk cukup beruntung sebab keluarga angkatku memiliki genset yang dihidupkan dari maghrib hingga pukul 22.00 atau 23.00 waktu setempat. Bagi sebagian warga yang mampu, mereka memiliki panel surya meski tenaganya tidak cukup besar. Bandingkan dengan sebagian rekanku yang tak memiliki alat penghasil listrik, yang satu desa bahkan tak berlistrik sama sekali. Aku termasuk beruntung. Maka, bagi teman-teman semua yang dialiri listrik PLN, juga keluarga asalku di tanah Jawa, kalian sungguh sangat beruntung. Selama genset masih bisa bekerja, aku lega dan merasakan fungsi dari listrik, merasa tak terlalu berbeda jika ada listrik seperti biasa. Namun saat genset ngambek dan tidak mau dihidupkan, maka saat itulah aku mulai merenung bingung. Aku mencoba memahami bagaimana orang-orang bisa hidup tenang dengan keadaan ini. Genset mati bukan sekali dua kali, tapi bisa beberapa hari. Terkadang hidup sejenak, lalu pingsan. Besok hidup lama meski lampunya bergetar-getar seolah tak kuat dan malah membuat mata pusing, lalu lusa pingsan lagi. Anak-anak mengerjakan tugas di bawah lampu charge yang redup. Bagaimana tidak redup bila lampu charge bergantung pada listrik sementara listriknya jarang hidup? Lampu pelita ada, namun minyak jarang ada karena mahal. Maka, gelap gulita bukanlah pilihan, namun begitulah adanya. Orang boleh mengatakan zaman dahulu juga tidak ada listrik. Yang sekarang menjadi pejabat dulu juga pake lampu dian. Ya, begitulah dan hal itu masih terjadi di zaman semodern ini, di mana kota telah terlalu gemerlap. Aku terus bertanya-tanya apa yang bisa kulakukan dengan keadaan ini. Panel surya, biogas, mungkin itulah yang bisa jadi pilihan. Berapa banyak sapi yang dibutuhkan, besarnya biaya biogas menjadi pertimbangan karena tidak banyak sapi di sini. Genset adalah alat termudah meski nyawanya tidak lama dan biaya bahan bakarnya bisa mencapai 400-500 ribu sebulan hanya untuk pemakaian efektif sekitar 4 jam sehari. Terlepas dari semua upaya itu, aku semakin memahami bagaimana orang-orang di sini menjalani kehidupan mereka. Tentu mereka tak mengalami tekanan sepertiku, karena ketergantungan mereka pada teknologi tidak sepertiku. Bagaimana mereka juga akan mengenal teknologi bila teknologi dasarnya saja tidak ada. Contoh mudahnya, ada alternatif pengembangan diri di sekolah berupa mata pelajaran Teknologi Informatika yang aplikasinya melalui penggunaan laptop. Kemudian ada pengenalan pengetahuan baru dan metode pembelajaran menarik dengan video yang diputar di DVD Player atau menggunakan LCD. Bagaimana semua bisa dijalankan tanpa listrik? Ah, tapi masih ada banyak hal menarik lain tanpa listrik. Dan inilah yang kudapatkan di sini. Tanpa listrik sehari, anak-anak bebas berkeliaran mengeksplorasi alam mereka, berinteraksi dengan orang-orang di sekitar mereka, berpetualang mengenali alam mereka. Pengaruh film-film tak mendidik muncul malam hari saja apabila genset menyala. Bagi anak-anak, ketiadaan listrik PLN adalah hal positif di satu sisi. Sementara bagiku ini adalah proses pembelajaran untuk lebih bijak dalam menyikapi teknologi yang ada, lebih tepatnya untuk tidak mudah bergantung padanya. Dengan keadaan ini pula aku mulai memahami makna menghemat listrik. Listrik tidak mudah diperoleh mulai dari biaya mahal hingga keterbatasan alat. Dan listrik bukan alasan untuk tidak berusaha lebih baik seperti murid-muridku yang masih tetap membaca dan menulis dengan penerangan seadanya. Namun semua itu juga tidak menjadi alasan bahwa kami harus berada dalam gulita selamanya.

Rantau Panjang, 29 Juli 2011


Cerita Lainnya

Lihat Semua