Dari Putri Malu Hingga Madu
Laili Khusna 5 Januari 2011
“Anak-anak, hari ini kita akan jalan-jalan keluar sekolah, mau?”
“Mauuuuu Buuuu......Horeeee....... asiiik.....” seru anak-anak kelas 3 mengiyakan ajakanku.
Saat itu hari Kamis pagi, seharusnya jadwal ulangan umum Penjaskes. Berhubung guru bersangkutan sedang sakit sehingga tidak ada soal yang dibagikan kepada siswa, maka kelas dipegang oleh wali kelas masing-masing dan diisi kegiatan “terserah” wali kelas. Berhubung lagi wali kelas 3 baru saja melahirkan sehingga mengambil cuti, maka dengan inisiatif pribadi (karena tidak akan jalan jika menanti keputusan sekolah), aku masuk kelas 3 dan mengajak mereka jalan-jalan keluar sekolah. Dua buah kaca pembesar menjadi bekal dalam perjalanan kami.
Kelas dibagi dalam dua kelompok. Masing-masing memilih ketuanya dan nama kelompok. Kelompok pertama menamai diri mereka sebagai kelinci dan menciptakan gaya khas yakni melompat layaknya kelinci. Kelompok kedua menyebut diri mereka sebagai harimau dan menunjukkan gaya mengaum sembari membentuk cakar dengan kedua tangan mereka. Dengan riang anak-anak berbaris rapi (setelah berbagai keributan tentunya), kemudian berjalan keluar sekolah menuju jalan setapak yang menghubungkan pusat desa dengan daerah trans (sebutan untuk daerah transmigrasi di desaku). Masing-masing kelompok dibekali dengan satu kaca pembesar yang akan digunakan bergantian untuk melihat hal-hal menarik yang mereka temui nanti.
Lagu nasional Pengajar Muda yang diajarkan oleh seorang PM bernama Asti menjadi nyanyian pembuka perjalanan kami:
Jalan-jalan ke peternakan
Ada bebek menyeberang jalan
Bagaimana suaranya
Kwek kwek kwek
Setiap sampai pada awal baris kedua, kutunjuk seorang anak untuk menyebutkan nama binatang tertentu. Selanjutnya semua murid menirukan suara binatang yang disebutkan. Mengalami momen ini mengingatkanku pada saat-saat bersama PM ketika menyanyikan lagu itu bersama-sama. Barangkali saat ini kami sedang bersahutan menyanyikannya bersama murid-murid kami, meski kami tidak benar-benar pergi ke peternakan. Lagu itu sangat membantu mencairkan suasana dan membuat murid-murid ceria sampai nyaris tidak memperhatikan jalan tanah di bawah kaki kami.
Jalanan yang kami lalui berupa tanah merah berstruktur lembek. Sehabis hujan turun, bisa dipastikan terjadi “kebecekan” di banyak titik. Maka, sudah risiko bila tiba-tiba kakiku terperosok di tanah lembek hingga membuat sepatu, kaos kaki dan celanaku berubah warna bak diolesi coklat Silver-Queen. Ini peristiwa kedua setelah bulan lalu sepatu ketsku mengalami peristiwa serupa saat menunggu mobil angkut kami yang terperosok lumpur. Namun aku tidak merisaukannya, inilah nikmatnya berjalan di tengah hutan. Justru anak-anak yang menaruh kasihan padaku, “Kasihan Bu Guru, jadi kotor begitu,” kata mereka. Kotornya sepatu dan celanaku juga menjadi senjata tersendiri untuk menghalau keluhan anak ketika sepatu mereka juga kotor terkena tanah becek. Seorang anak berhenti sejenak, berusaha membersihkan sepatunya seraya mengeluhkan kotornya sepatunya. Kawannya sendiri yang kemudian menyahut, “Sepatu Bu Guru aja lebih kotor. Nggak pa pa.” Aku tersenyum- pertanda ucapan terimakasihku. Pintar juga anak ini, pikirku. “Iya nggak apa-apa, nanti bisa dicuci, kan besok libur,” jelasku. Kami pun melangkah lagi, menikmati alam sekitar kami.
Kiri kanan kami dipenuhi pepohonan, rumput, dan ilalang yang tumbuh tak karuan. Sisi kiri jalan, agak ke bawah mengalir anak sungai Kandilo- sarana transportasi yang menghubungkan desaku dengan desa seberang, sekaligus sumber air utama bagi sebagian penduduk. Sambil berjalan kuajak anak-anak memperhatikan keunikan di sekitar mereka, seperti tanaman Putri Malu misalnya. Anak-anak berkerumun menyentuh tumbuhan itu dan senang melihat daun-daun putri itu mengatup malu.
“Apa nama tanaman ini?” kutanya anak-anak.
“Putri Malu Bu...” jawab mereka serempak.
“Kenapa disebut Putri Malu?” tanyaku lagi.
“Karena itu Bu... mm...” ada yang susah menjelaskan, ada pula yang kemudian dengan jelas bisa menerangkan, “karena daunnya bisa mengatup Bu kalau dipegang.”
Aku tersenyum pada mereka, mengiyakan jawaban itu.
Anak-anak mulai keluar dari barisan dan masuk ke semak-semak mencari binatang. Kubiarkan mereka mengeksplorasi alam sekitar mereka. Seorang anak menemukan capung, lalu diamatinya dengan kaca pembesar. Anak-anak belajar menggunakan kaca pembesar untuk mengamati hal-hal kecil di sekitar mereka. Ada anak yang kemudian menggunakannya untuk mengamati semut, juga untuk melihat lebih teliti tumbuhan di kanan kiri mereka. Di tengah perjalanan, kulihat anak-anak memetik buah-buahan berbentuk bulat, kecil, berwarna hijau. Dengan asyik mereka memakannya dan memberi tahuku tentang buah itu. Rasanya masam, karenanya disebut buah bermasam.
“Kalau yang kuning agak manis Bu,” kata mereka. Anak-anak itu kemudian menerobos semak-semak dan mencari buah masam yang sudah berwarna kuning lalu memberikannya padaku. Kucicipi buah itu, baik yang hijau maupun yang kuning. Rasanya memang masam, tapi enak. Bersama anak-anak, kami pun “berpesta” buah masam di antara semak-semak. Tuhan, terimakasih atas sajian pagi ini.
Setelah berjalan beberapa lama di antara pepohonan, akhirnya kami menemukan sebuah rumah. Seorang anak muda di depan rumahnya sedang membuat miniatur rumah dari kayu. Kupancing anak-anak untuk mencari tahu apa yang sedang dibuat oleh pemuda itu. Sebuah rumah kucing. Anak SMP itu membangun rumah spesial untuk kucingnya yang sedang berlarian di antara kami. Buatannya cukup rapi. Kucing kesayangannya akan nyaman tinggal di dalam rumah spesial hadiah dari majikannya itu.
Kami pun melanjutkan perjalanan dan menemukan tebu di antara pepohonan. Bukan aku yang memberi tahu anak-anak, tapi merekalah yang memberi tahuku bahwa ada tanaman tebu di situ. Aku bertanya apakah tebu itu sudah bisa dimakan dan anak-anaklah yang menjawab sudah setelah mereka memperhatikan tebu itu. Lalu anak-anak menemukan tawon yang sedang hinggap di ranting pohon. Banyak tawon beterbangan di sekitar kami. Rupanya ada rumah tawon di sebuah pohon di sisi kanan jalan. Anak-anak yang menunjukkannya padaku. Kutanya mereka apa yang dihasilkan tawon dan serempak mereka berseru, “Maduuu Bu....”
Hmm... Anak-anak itu jauh lebih berpengalaman dariku. Desa ini adalah keseharian mereka, tanah becek dan air sungai adalah kehidupan mereka, beragam tanaman dan binatang di sini menjadi kawan mereka. Aku malu pada anak-anak ini. Dua puluh dua tahun aku hidup di tengah kota. Hanya sedikit sajian alam sempat kunikmati. Sawah di depan SD-ku dulu cepat sekali berubah menjadi batu bata alias rumah gedong. Setiap pulang sekolah aku berpapasan dengan rumah-rumah beton dengan polesan kemewahan di sana-sini. Tumbuhan tali putri menjadi kawanku ketika bermain masak-masakan, dijadikan mie-mie-an. Beberapa tahun saja setelah itu aku jarang menemukan tali putri. Tanah di depan rumahku dipugar sedemikian rupa sehingga menjadi konblok. Padahal aku sering menggunakannya untuk membuat roti-roti-an. Halaman luas di seberang rumah telah diduduki sebuah rumah tingkat. Padat oleh bata. Akhirnya dalam waktu singkat aku beralih ke komputer dan permainan video game, itu pun kalau ada komputer yang dititipkan di rumahku, karena keluargaku belum bisa membeli sendiri. Video game adalah permainan di rumah kawan kami. Sungguh, aku merasa telah melewatkan momen-momen indah yang semestinya didapat anak-anak ketika mereka benar-benar masih anak-anak: berjalan-jalan di tengah hutan, di atas tanah, menerobos semak, mencelupkan diri ke dalam air sungai, menangkap capung, makan buah masam, makan tebu, menemukan rumah tawon di tengah rimbun pohon. Bahkan ketika di sekitar sekolahku masih ada sawah, guruku hampir tidak pernah mengajak kami turun. Rupanya, saat sekolah di desa ini memiliki alam perawan di sekitar mereka yang sangat berguna sebagai media belajar, ini pun hampir tak pernah dimanfaatkan. Maka, ketika sampai di kelas ada seorang anak yang merasa marah karena hari ini tidak belajar, kutanya:
“Coba tadi ceritakan apa saja yang kita temui sepanjang perjalanan?”
Anak-anak bergantian menjawab, “Putri malu, capung, semut, kucing, tawon, sungai...”
“Apa yang dihasilkan tawon?”
“Maduuu...”
“Kita tadi belajar menggunakan apa untuk melihat yang kecil-kecil?”
“Kaca pembesar Bu...”
“Jadi, apakah hari ini kita telah belajar?”
Anak itu pun mengangguk.
Ya. Belajar kerapkali dianggap harus di atas bangku di dalam kotak sempit dan pengap bernama kelas sembari menghadapi lembaran-lembaran berjudul buku. Anak-anak pun mengerti bahwa belajar tidak selalu di dalam kelas. Saat jalan-jalan santai pun mereka juga bisa belajar. Kutegaskan kotornya sepatu, kaos kaki, bahkan baju tidak menjadi soal- namanya belajar, yang terpenting kita semua mendapat pengetahuan baru atau mengingat pengetahuan sebelumnya. Kita, sebab tidak hanya anak-anak yang belajar, tapi juga gurunya. Aku bersyukur Tuhan memberiku kesempatan untuk memperkenalkan cara belajar baru pada anak-anak luar biasa ini. Melihat senyum dan tawa mereka pagi itu benar-benar menjadi satu pagi indah dalam lembaran hidupku sebagai guru.
Rantau Panjang, 1 Januari 2011
Semoga banyak kejutan istimewa di tahun baru ini
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda