info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Zona Minus

Laili Khusna 27 Desember 2010
Suatu sore sebuah sms singkat dari sahabatku yang bertugas di pulau lain mendarat di hpku, “Cah gek ngapa?” (Teman, sedang apa?) “Barusan mandi mumpung hujan, banyak air, ngangkatin ember-ember juga buat nadahi air hujan,” jawabku. “Huuuhuuu senangnya... kami di sini nggak seperti itu...” Intinya, beberapa merasa hidup nyaman, tidak terlalu susah, rumah seperti di kota, listrik dan air tidak sulit, sekolah dinilai sudah agak maju, dan seterusnya. Aku bisa merasakan kegamangan jika ada di posisi mereka, maka aku hanya menjawab, “Tantangan kalian pasti lebih berat, karena bagaimana bisa berkontribusi di tempat yang seperti itu.” Aku ingat seorang Pengajar Muda yang mendapat juara 3 lomba pidato guru sekecamatan pada upacara Hari Guru. Bagus sekali ada upacara Hari Guru sekecamatan dan kabupaten, di tempat kami guru saja tidak tahu bahwa hari itu Hari Guru, boro-boro ada upacara, upacara Hari Senin saja tidak ada karena tidak ada tempatnya. Namun sejatinya tantangan mereka juga berat, bagaimana bisa lebih meningkatkan kualitas di daerah yang kami “anggap”  lumayan dibandingkan daerah-daerah lain. Ketika membaca cerita-cerita dari sahabat-sahabat Pengajar Muda di berbagai daerah, seperti kisah di Majene yang begitu mengharukan, di Tulang Bawang Barat yang susah keluar desa karena banyak bajing loncat, cerita dari Halmahera yang masih beratmosfer kekerasan di sekolah, dan seterusnya, dan seterusnya, semakin sulit kami semakin iri. Maka, aku tidak menyalahkan sahabatku yang ingin seperti kami, karena aku pun pernah merasakan hal serupa meski jika dibandingkan dengannya aku lebih sulit, tapi aku selalu ingin ke daerah yang lebih terpencil lagi, lebih pelosok lagi, dan lebih membutuhkan lagi. Bukan hanya dia, bukan hanya aku, tapi kurasa kami. Aku bersyukur di tempatku berada saat ini listrik PLN tidak ada, genset menyala dari maghrib-22.00, air diperoleh dari air hujan serta air kolam yang berwarna suram, sekolah becek, sebagian murid-muridku harus menyeberang sungai untuk sekolah, sekolah tidak punya lapangan, halaman berupa bekas sawah becek, kualitas guru minim, dan sebagainya. Aku bersyukur. Ada yang iri. Aku pun juga masih ingin yang lebih membutuhkan lagi. Kenapa? Masih terngiang dalam memoriku sebelum aku berangkat pelatihan Pengajar Muda. Seorang bapak yang sudah malang melintang di dunia kerja bermaksud memberikan petuah padaku, “Nanti pas pelatihan, berusaha jadi yang terbaik, lakukan tugas sebagus-bagusnya biar nanti ditempatkan di daerah yang lumayan nyaman, yang kota gitu. Biasanya seperti itu kalau di dunia kerja.” Aku hanya tersenyum. Kami bukan orang yang sedang menggeluti dunia guru sebagai sebuah profesi dengan imbalan gaji dan insentif besar serta kehidupan yang nyaman. Kami bukan orang-orang yang mencari kenyamanan. Kami justru menuju zona ketidaknyamanan, zona minus, semakin minus kami justru semakin bersyukur, sungguh logika terbalik dari apa yang selama ini ditanamkan. Bersyukurlah atas nikmat Allah. Demikian yang diajarkan guru-guru kami. Nikmat kerapkali dimaknai sebagai keadaan nyaman apapun bentuknya. Sekarang aku sadar nikmat adalah istilah kontekstual, bergantung pada: pertama, persepsi kita akan apa yang kita inginkan; kedua, pada hal-hal baik yang bisa kita lihat dan rasakan. Kita bersyukur kala bisa masuk universitas favorit, karena itu keinginan kita. Ketika tertimpa bencana, kita selamat, kita bersyukur karena kita masih ingin hidup. Keinginan setiap Pengajar Muda adalah mengajar di daerah pelosok dengan segala tantangannya, jauh dari kehidupan yang biasa kami jalani di kota, sehingga ketika kami “merasa” kurang mendapatkan itu, kami merasa gamang. Kedua, orang bersyukur meski dalam kondisi sulit karena masih banyak hal baik yang ia rasakan. Kala terjangkit penyakit flu, orang masih bisa bersyukur karena bukan penyakit parah. Ketika mengalami kegagalan dalam ujian, kita masih bisa bersyukur karena Tuhan Mengingatkan kita untuk terus berusaha lebih baik lagi. Maka, di kala aku sempat merasa aneh dengan kondisiku bila dibandingkan beberapa sahabat di tempat-tempat tertetnu, aku sadar bahwa aku harus melihat hal-hal baik di sekitarku. Hal-hal baik yang kumaksud tidak berarti keadaan nyaman yang kudapatkan, namun sesuatu yang lebih esensial, di balik segala yang kurasakan. Jika aku bisa mendapat sinyal GPRS di kamarku seperti saat ini, itu artinya aku punya tugas untuk berbagi, menebarkan inspirasi kepada teman-temanku di dunia maya, mereka yang belum bisa bergabung dengan gerakan ini, namun memberi dukungan sangat besar kepada kami dan murid-murid kami. Jumlah guru di sekolahku cukup, namun ternyata kualitasnya kurang, anak-anak banyak yang tertinggal materi pokok, maka aku semestinya bisa berbuat banyak untuk mereka. Aku bersyukur karena ada hal-hal baik yang bisa kurasakan, kulalui, kujalani, dan akan memberiku banyak pelajaran baik di setiap hariku. Bersyukur dengan tantangan yang ada dan melihat hal-hal yang lebih dalam lagi, lebih esensial lagi. Untuk melihat lebih ke dalam, lebih jauh, terkadang zona minus itu harus diciptakan dalam persepsi kita, zona minus dalam skala yang sesuai dengan kondisi di lapangan. Jika sahabat-sahabatku di suatu tempat yang katakanlah kurang minus, maka aku yakin mereka akan menemukan zona minus mereka dalam persepsi mereka dalam skala yang sesuai dengan keadaan di sana. Aku bersyukur telah mengenal konsep bersyukur yang baru, mensyukuri zona minus, mensyukuri ketidaknyamanan sebab ada banyak hal baik di balik zona minus bila kita bersedia membuka tabir di baliknya. :)

Malam Minggu di Rantau Panjang, 18 Desember 2010

Genset mati, alhamdulillah baterai laptop bertahan dengan baik :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua