Bon dari Toko Pendidikan untuk Kita
Laili Khusna 8 Mei 2011
Pada suatu siang di kelas 6 di sebuah sekolah dasar di desa.
“Penjumlahan desimal begini caranya, komanya diletakkan pada posisi yang sama.”
“Minus itu seperti hutang, jadi kalau min 3 ditambah min 2, berarti hutang 3 tambah hutang 2, jadi hutangnya ada berapa?”
“Untuk menjumlahkan pecahan, harus dicari dulu KPK-nya untuk bilangan yang bawah. Cara mencari KPK begini...”
“Pembagian kalau belum hafal, bikin lidi atau pentol. Dua puluh lima dibagi lima, buat lidi sebanyak 25, lalu beri garis pada setiap lima lidi, jadi ada berapa ikat lidi?”
“6 x 7 berarti 7-nya ada 6 kali.”
“Keliling bangun datar itu jumlah seluruh sisi luarnya, jadi tinggal dijumlahkan saja.”
Tidak sampai dua pekan menjelang ujian nasional untuk siswa-siswa Sekolah Dasar para guru musti membayar tumpukan hutang anak-anak kelas 6. Materi paling sederhana yang mestinya mereka kuasai semenjak kelas 2 dan 3 SD harus kami ajarkan kembali. Tak ada metode konstruktivisme dan sebagainya, tak akan sempat, yang harus dilakukan adalah akselerasi- mereka harus segera menguasai teknisnya, bukan konsepnya (meski saya sadar ini bukan pendidikan yang baik, namun bayangkanlah jika kelas 6 belum paham pecahan yang sudah diajarkan 3 tingkat di bawahnya dan bahkan penghitungan pembagian dan perkalian pun masih kerap keliru—yang mestinya sudah dikuasai di kelas 2). Saya sempatkan memasukkan konsep kepada anak-anak, meski tak sedalam yang seharusnya. Minimal mereka paham walau sedikit dan tahu teknis penghitungannya. Bukan hanya saya yang menghadapi permasalahan ini, namun juga teman-teman di sekolah-sekolah lain (barangkali juga guru-guru di banyak sekolah di negeri ini). Saya semakin menyadari bahwa hutang “mencerdaskan kehidupan bangsa” memang harus dilunasi semenjak dini dan tidak hanya dilakukan oleh guru, akan tetapi seluruh elemen, termasuk orangtua dan anggota keluarga setiap anak.
Mengapa demikian?
Kami mencermati bahwa kurangnya kemampuan akademik anak seolah hanya jadi masalah si sekolah. Padahal di sini sekolah dasar hanya memiliki jam efektif sekitar 4 jam per hari. Selebihnya anak bersama keluarga atau teman sebaya. Meski di desa, tidak berarti orangtua tidak sibuk. Bedanya dengan di kota, kalau di kota orangtua sibuk karena berkarir di perusahaan misalnya, sedangkan di desa orangtua sibuk memenuhi kebutuhan hidup dengan berkarir di ladang atau kebun. Akan tetapi orangtua yang berkarir dengan menyandang gelar sarjana atau master dan dengan tumpukan rupiah di rekeningnya mampu mendaftarkan anak-anak mereka untuk pelajaran tambahan dan ketrampilan lain, sementara di desa tak banyak yang bisa diharapkan. Kadang bukan sekadar soal uang yang tak ada, namun fasilitas untuk menambah ilmu juga tak tersedia. Di sisi lain tambahan pelajaran hanyalah salah satu bentuk adanya kemauan untuk meningkatkan pengetahuan (sebagai catatan saya tidak pernah ikut les di lembaga bimbingan selama sekolah), yang terpenting sebenarnya adalah perhatian orangtua (atau anggota keluarga) untuk mengecek kemajuan anak: hari ini anak belajar apa, ada PR atau tidak, apa yang sulit, dan sebagainya. Jika keluarga tak bisa menjawab, yang penting keluarga bisa mendorong anak untuk bertanya pada guru mereka. Singkatnya, lingkungan terdekat anak tak boleh berdiam diri terhadap pendidikan anak dan tak bisa begitu saja memasrahkan kepada lembaga bernama sekolah.
Pendidikan adalah hak semua insan, sedangkan mendidik adalah tanggungjawab setiap pribadi, bukan hanya guru. Jika kita adalah orangtua maka kita wajib mendidik anak-anak kita. Jika kita adalah seorang kakak, maka didiklah adik-adik kita. Jika kita adalah warga negara, maka didiklah masyarakat dan generasi di sekitar kita. Apabila kita tak punya dana untuk berkontribusi terhadap pendidikan generasi kita, maka kita bisa menggunakan tenaga kita, minimal dengan bertanya pada mereka, dengan mendorong mereka untuk gigih dan semangat menggali ilmu-Nya. Tak cukup berdiam diri dan membiarkan bon pendidikan ini semakin bertumpuk.
Bayangkan bila guru harus bekerja sendiri untuk memajukan generasi bangsa ini. Tumpukan hutang pendidikan negara ini terlampau amat sangat banyak sekali, sebagaimana contoh kecil di sekolah yang kami saksikan dan alami sendiri. Namun banyaknya bon pendidikan yang minta dilunasi tak semestinya menyurutkan semangat kita untuk terus berbenah dan menjadi bagian dari pendidik generasi kita. Maka, melalui tulisan ini saya mengingatkan kepada diri sendiri dan Anda semua, bila kita bukanlah seorang guru tidak berarti kita lepas dari tanggungjawab untuk mendidik. Mengajar dan mendidik adalah amanah Tuhan, sebagaimana yang pernah saya utarakan di kesempatan lain bahwa Tuhan mengajarkan nama-nama kepada Adam, maka terbukalah pintu peradaban. Mengajar dan mendidik adalah langkah awal membuka peradaban. Maka, mendidiklah, dengan cara yang Anda bisa untuk orang-orang di sekitar Anda demi majunya peradaban dan cara untuk mengawalinya adalah: optimislah!
Rantau Panjang, Kalimantan Timur, 2 Mei 2011
Selamat Hari Pendidikan Nasional! :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda