Semuanya Hanya Masalah Skala Prioritas

Laila Tri Nurachma 17 September 2015

Dalam ilmu ekonomi yang aku pelajari di bangku SMA, diketahui adanya kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Katanya, yang termasuk kebutuhan primer adalah pangan, sandang, dan papan. Entah pendidikan kini ditaruh ditingkat kebutuhan yang mana, sehingga kepentingannya pun tidak merata diagungkan oleh semua orang.

 

Sebagai seorang anak yang dibesarkan di lingkungan pendidikan (ayah dan dua orang pamanku seorang guru), mengutamakan pendidikan adalah suatu keharusan bagi kami. Kasarnya, biarlah gak punya baju baru asalkan bisa beli buku untuk sekolah. Dan kenyataannya, memang seperti itu lah adanya yang kualami sejak kecil. Namun, manusia itu sangat beragam karakteristiknya, beragam pula kebutuhan dan skala prioritasnya.

 

Bisa jadi, bagi seorang shopaholic, berbelanja tas Zara lebih penting daripada bisa membeli buku ensiklopedia. Namun, bagi seorang pecinta buku, membeli ensiklopedia sains cilik lebih penting daripada membeli tas Zara. Satu dengan yang lainnya bisa jadi saling menganggap aneh, “Mengapa dia lebih mentingin beli itu sih? Kan gak guna!” adalah kalimat yang mungkin terlontar dari keduanya. Lalu, ada di posisi mana kah kita saat ini?

 

Perdebatan mana yang penting dan mana yang kurang penting untuk diterapkan pada sekelompok manusia yang heterogen nampaknya menjadi usaha yang sia-sia karena setiap orang punya alasan, tujuan, dan sudut pandang masing-masing. Siapa yang lebih kuat memengaruhi yang lain mungkin pilihannya lah yang akan dianggap lebih penting. Namun, untuk apa?

 

Pertanyaan itu lah yang kemudian sedikit mematahkan semangatku saat penempatan seperti ini. Jika sebagian besar masyarakat lebih mementingkan punya motor gede daripada membiayai sekolah anaknya karena punya motor gede lebih prestisius daripada punya anak lulusan SMA (orang tuanya hanya lulusan SD) apakah salah mereka? Jika sebagian besar masyarakat lebih memilih mengajak anak-anak mereka ikut serta memanen padi yang hasilnya bisa langsung dirasakan dibandingkan belajar di sekolah yang hasilnya entah kapan bisa dirasakan apakah salah mereka?

 

Lalu, siapakah aku? Seseorang yang tiba-tiba datang sekejap, menawarkan sudut pandang yang baru tentang pentingnya, namun tidak bisa membuktikan secara instan manfaat pendidikan. Kalau aku boleh meminta pada penguasa bangsa ini, pada para teoritis yang menemukan beragam teori bagi hidup manusia, bisakah mereka menempatkan pendidikan menjadi kebutuhan primer yang paling utama mendahului segala hal? Ya, pendidikan karakter/akhlak, agama, sains, dan segala hal yang bisa membangun pemahaman dalam otak dan membangun perilaku yang baik.

 

Dan jika tubuhku terkurung dalam jeruji penjara, aku hanya ingin pikiranku ini dibiarkan bebas tak terpenjara, aku ingin pikiranku dapat terus berceloteh riang, bertanya, dan mencari jawabannya sendiri.

 

Tanahrata, 5 Mei 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua