info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Semua Belum Tentu Pintar Matematika, Tapi Semua Bisa Belajar Mmatematika

Laila Tri Nurachma 30 September 2015

Halo pembaca yang budiman!

Meskipun saya sudah alumni pengajar muda, izinkan saya tetap berbagi cerita pengalaman saya selama penempatan yang belum sempat saya ceritakan karena kendala waktu.

Memasuki semester genap, artinya ujian sekolah (US) sudah semakin dekat. Saya dan wali kelas 6 bersepakat untuk berbagi tanggung jawab dalam penyelenggaraan tambahan belajar untuk kelas 6. Saya akan memberikan les untuk pelajaran matematika dan IPA, lalu Pak Jamsuri akan memberikan les untuk pelajaran Bahasa Indonesia dan Agama Islam. Sedangkan, untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) reguler saya mengampu pelajaran matematika dan Bahasa Inggris. Ibu Kepala Sekolah pun membuat kebijakan untuk fokus pada bahan ujian sekolah, sehingga setiap KBM adalah pemantapan soal. Alhasil, baik jam belajar reguler maupun tambahan kami selalu membahas soal-soal dari buku SPM atau try out.

Beruntungnya kegiatan tambahan belajar sudah dimulai sejak semester ganjil, meskipun itu hanya untuk pelajaran matematika saja. Setidaknya, murid-murid kelas 6 sudah terbiasa mengurangi waktu menonton tvnya untuk digunakan belajar. Ada murid yang semangat belajar, ada juga yang masih belum siap belajar untuk persiapan US ini.

Namun, setelah beberapa pekan, semua murid mulai menunjukkan kelelahannya dalam belajar. Ya, wajar lelah, lelah karena meskipun sudah belajar berkali-kali tapi nilai tetap di bawah 6, lelah dengan kegiatan pembahasan soal yang monoton, lelah karena otak mereka diperas habis, dan lelah-lelah lainnya. Hingga akhirnya salah seorang murid mogok mengerjakan soal. Saya pun menghampiri murid tersebut. “Kenapa? Ada yang sulit? Sini Ibu bantu.” kataku padanya, “Ah, susah Bu! Gak bisa.” jawabnya sambil ogah-ogahan mencoba menghitung di kertas buramnya. Saya pun mengedarkan pandangan ke murid-murid yang lain. Ada murid yang mengerjakan sambil bergurau, ada murid yang sangat serius menghitung, ada pula murid yang serius menghitung sambil kebingungan. Di saat itu saya tahu, motivasi murid satu ini agak kurang.

Bukan cuma murid-murid saja yang lelah, saya sebagai guru pun ternyata lelah. Ya, saya lelah menjelaskan sifat operasi hitung campuran yang sudah diulang ratusan kali, saya lelah menjelaskan persamaan pecahan yang mestinya sudah dipahami sejak kelas 5, dan saya lelah menghadapi murid yang kurang termotivasi belajar. Terik matahari siang itu menambah kelelahan ini menjadi suatu kekesalan.

Saya tarik nafas dan tersenyum, berusaha mengendalikan emosi saya agar tidak marah. Entah mengapa tiba-tiba saja saya terdorong untuk memberikan wejangan pada murid-murid. Saya minta perhatian mereka lalu berkata, “Anak-anak gak semua orang itu pintar matematika, tapi semua orang bisa belajar matematika. Ibu juga gak pintar-pintar amat matematika. Waktu SD ibu juga awalnya sama kayak kalian, gak bisa matematika. Tapi, Ibu mau belajar makanya sekarang bisa matematika. Ibu paham, gak semua dari kalian juga pintar berhitung, tapi kalian semua bisa belajar berhitung. Ibu sangat menghargai anak-anak yang mau belajar. Jika kalian mau belajar, lama-lama kalian juga akan bisa.”

Ya, setelah saya pikir ulang, memang tidak salah juga apa yang sudah saya katakan. Buktinya, memang saya tidak cukup menguasai materi di beberapa pelajaran. Namun, ada materi yang dulu saya pernah kuasai dan ada pula yang tidak saya kuasai karena memang saya tidak tertarik dengan materi tersebut. Bisa jadi murid saya yang kurang termotivasi tadi memang tidak berminat pada matematika. Tapi, sialnya saya adalah guru matematika yang bertanggung jawab mengajarkan matematika pada semua siswa tanpa peduli minat mereka apa.

Proses pembelajaran terus kami lakukan. Kegiatan les maupun KBM reguler kami usahakan semenyenangkan mungkin. Kadang kami belajar di luar ruangan, lebih seringnya di dalam ruangan. Beberapa try out pun diikuti oleh para siswa. Betul saja, hasilnya tidak setinggi rata-rata nilai anak-anak di perkotaan. Itu juga lah yang mendasari kepala sekolahku memberikan batas nilai ketuntasan yang cukup rendah menurutku, 2.5 untuk pelajaran matematika.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, akhirnya pekan ujian sekolah datang juga. Para siswa hadir pagi-pagi dengan menggunakan seragam lengkapnya. Sebelum dimulai, kepala sekolah memberi arahan bagi para siswa agar mengerjakan ujian semaksimal mungkin dengan kejujuran. Bel berbunyi kembali dan para pengawas yang berasal dari sekolah lain pun masuk dan mulai membagikan soal dan lembar jawab ujian.

Selang beberapa pekan dari ujian, akhirnya hasil ujian sekolah siap dibagikan oleh UPTD Pendidikan di kecamatan. Jujur saya tegang akan mengetahui hasilnya. Adanya kegiatan di kecamatan bersama kelompok membuat saya tidak dapat langsung mengetahui hasil US. Sedangkan, beberapa teman saya sudah mengetahui hasil sekolah masing-masing karena lebih dulu mengambil di kecamatan. Saat saya kembali ke sekolah, akhirnya Ibu Kepala Sekolah menyerahkan hasil ujian dengan wajah cukup puas.

Alhamdulillah… tidak ada nilai anak-anak yang di bawah 3, bahkan untuk matematika. Artinya, semua anak lulus ujian sekolah. Hal yang paling mencengangkan adalah urutan peringkat ujian. Peringkat pertama bukan diperoleh anak yang selama ini menjadi juara kelas, tetapi oleh anak yang paling rajin di kelas. Anak itu bernama Sakinah, cucu dari emak dimana aku tinggal selama di Bawean. Sering Sakinah bertanya padaku tentang beberapa materi ketika di luar jam sekolah atau les. Ia pun tekun mengerjakan setiap soal yang diberikan sampai selesai walau teman-teman yang lain sudah pergi untuk bermain. Dan, Sakinah juga rajin sholat Ashar berjamaah ke masjid ketika temannya yang lain memilih langsung bermain ketika istirahat.

Aku berusaha untuk tidak menspesialkan Sakinah atau siapa pun atas hasil ujian. Aku berlaku seperti biasa, memberi selamat dan menyemangati semua anak kelas 6 dan mengingatkan adik-adik kelas mereka bahwa nanti mereka juga akan diuji. Tidak ada respon berlebihan juga dari tiap orang tentang hasil ini. Ya, cukup bagiku asalkan para orang tua mau menyekolahkan kembali anak-anak mereka ke jenjang berikutnya. Maka, tak bosan aku bertanya pada orang tua murid atau saudara murid kelas 6 tentang pendidikan lanjutan meraka.

Kejadian tak terduga kemudian muncul semalam sebelum aku meninggalkan Bawean. Di tengah hiruk pikuk tetangga yang datang membawakan oleh-oleh untukku, ibunya Sakinah datang ke rumah dengan wajah memerah, ia mengucapkan kata terima kasih berkali-kali padaku. Aku jadi merasa canggung. Ya, gimana ya….stimulus yang aku berikan relatif sama pada tiap anak, hanya respon tiap anak aja yang beda-beda. Ada yang diarahin jadi rajin, ada juga yang biasa aja.

Dibalik itu semua, malah aku merasa aku yang banyak belajar dari Sakinah. Menurutku, sebagai siswa SD dia bisa membagi waktunya antara belajar dan bermain. Ia pun disiplin saat mengaji atau membantu orang tua. Tipikal keluarga di Bawean, tiap anak pasti dimintai bantuan oleh orang tuanya untuk sekedar menunggui atau pekerjaan tani lainnya. Aku belajar kedisiplinan dan kesungguhan darinya.

 

Sakinah, terima kasih. Ibu benar-benar belajar darimu bahwa tidak semua orang pintar tapi tiap orang bisa belajar. Bandung, Agustus 2015


Cerita Lainnya

Lihat Semua