Jatuh

Laila Tri Nurachma 9 November 2014

Dari semua kejadian jatuh, mungkin hanya jatuh cinta dan kejatuhan durian runtuh (makna konotatif) yang terasa nikmat. Sisanya, sakit! Tapi, dari jatuh itu lah kita belajar. Begitu pun dengan diriku di sini. Pertama kali menghubungi PM yang aku gantikan saat masih di camp pelatihan, pertanyaan pertamanya adalah, “Bisa bawa motor gak?” Jeng jeng... boro-boro ngendarain motor, ngendarain sepeda kuning di UI aja jatuh. Alhasil, beberapa bulan di Bawean aku jadi harus bergantung pada teman-teman satu tim atau warga dusun untuk antar ke sana sini. Maklum, di Bawean kendaraan umum hanya ada di jam pasar. Itu pun dengan rute yang terbatas.

Ogah terus bergantung dengan orang lain, aku pun berusaha belajar mengendarai motor. Dan, tentu saja dalam prosesnya ada kejadian yang namanya jatuh. Jatuh yang pertama adalah ketika belajar mengendarai motor matic di lapangan terbang. Jatuh selanjutnya disebabkan karena kurang kuat pegang stang motor pas di belokan, starter motor yang terlalu digas sampai motornya agak “terbang”, nyenggol colt (mobil pasar), rem tangan yang blong, sampai tabrakan sama motor yang melawan arah. Saking seringnya jatuh, aku jadi tahu bagaimana cara jatuh yang baik sehingga nantinya tidak terlalu sakit. Kuncinya satu, pasrah. Ikuti lah kemana Bumi menarikmu ke tanah dan relakan lah motormu agak rusak.

Jika aku tidak pernah jadi PM dan tidak pernah ke Bawean sebagai PM, mungkin aku tidak akan pernah belajar mengendarai motor. Diusia yang hampir 23 tahun ini, tak pernah sekali pun orang tuaku mengizinkanku mengendarai motor. “Bahaya.” kata mereka. Menimbang betapa ganasnya lalu lintas di Bandung, Depok, dan Jakarta, lebih baik pakai kendaraan umum daripada bawa motor sendiri. Jadi, pertama kali kukatakan bahwa aku sedang belajar mengendarai motor, nada suara orang tuaku di sebrang telepon menunjukkan kecemasan. Sebenarnya, pilihan untuk tidak melanjutkan belajar mengendarai motor setelah kejadian jatuh berkali-kali tentu ada. Aku masih punya lima teman sekelompok yang mana mereka semua bisa mengendarai motor. Jika ada kegiatan kelompok, aku bisa nebeng ke salah satunya. Aku juga punya bapak hostfam dan tetangga yang sama-sama menjadi guru di sekolah tempat penempatanku dan punya motor. Praktis, kalau ada keperluan di sekolah mestinya aku bisa nebeng ke dua orang tersebut.

Namun, kegiatan PM ternyata tak sesederhana di sekolah, dusun, lalu kumpul tim. Mobilitas yang tinggi, kegiatan yang kadang tak bisa diprediksi, serta fleksibilitas tugas menuntut tiap anggota tim harus bisa mengendarai motor, termasuk aku. Akhirnya, setelah berlatih berkali-kali dengan mentor yang sering berganti-ganti (mulai dari PM pendahulu, teman guru segugus, dan tentunya tiga wanita cantik lainnya di tim) di bulan ke-3 aku memulai perjalananku mengitari Pulau Bawean dengan mengendarai motor sendiri (kadang membonceng teman yang lain).

Sebenarnya, keputusanku untuk terus belajar mengendari motor bukan hanya karena keterpaksaan situasi yang menuntut aku harus bisa mengendari motor, tapi untuk menunjukkan juga pada orang-orang di dusun penempatan (khususnya murid-murid dan guru di sekolahku) bahwa jika kita mau berlatih kita pasti mampu melakukannya. Ya, warga di dusun kadung tahu kalau aku tak pandai bawa motor. Beberapa orang juga agak meng-underestimate aku di awal. Padahal, ada hal yang lebih penting daripada keMAMPUan dalam belajar, yaitu keMAUan untuk belajar. Itu lah pelajaran berharga yang kudapat dari segala kejadian jatuh ini.

Voila, memasuki bulan ke-5, alhamdulillah aku sudah pernah merasakan perjalanan di jalur lingkar Bawean dengan mengendarai motor sendiri, aku pun sudah bisa naik turun gunung menuju dusun penempatanku. Semoga usahaku ini juga memotivasi murid-muridku untuk MAU berusaha dalam belajar agar MAMPU memahami setiap materi dan guru-guru di sekolahku juga MAU belajar lebih giat terkait komputer dan internet agar nantinya ketika PM sudah tidak ada lagi di Bawean setiap tugas-tugas dari pusat yang terkait dengan internet ini sekolahku MAMPU mengerjakannya secara mandiri dan tidak ketinggalan dengan sekolah-sekolah di perkotaan. Aamiin.


Cerita Lainnya

Lihat Semua