info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Mengantar Cakrawala

Kristiyani Dwi Marsiwi 18 September 2017

“Kamu mengajar di pelosok ya Kris?

Kamu gimana kalau mau ke mana-mana?

Di sana kendaraan bisa lewat nggak?

 

Aduh beb, iya betul aku mengajar di sekolah pelosok. Jangan kawatir, aku baik-baik saja. Tuhan Maha Seru.”

Sekilas begitu percakapan yang pernah terjadi antara aku dan sahabat karibku tepat 2 bulan aku menjalani kehidupan di penempatan. Rindu, yang terbayarkan ketika aku membaca sms singkatnya atau ketika angin berhembus memasukkan ribuan pesan Whatsapp yang langsung membuat AKU SEMANGAT LAGI, JOS!

Iya betul aku kini menjadi salah satu relawan guru di SDN Muning Dalam. SD-ku ini adalah salah satu lokasi penempatan Pengajar Muda karena termasuk sebagai sekolah terpencil. Tidak ada sarana transportasi lain selain menggunakan perahu kayu ulin yang disebut jukung.

Jukung adalah perahu tradisonal khas suku Banjar di wilayah Negara (Daha) yang biasa digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari, untuk berdagang, ke ladang, menjala ikan, hingga transportasi antarkota jarak dekat.

Perahu jukung biasa terparkir di bawah rumah, well, di postingan lain akan aku perlihatkan bagaimana rumahku yang berbentuk panggung dan terbuat dari kayu juga. Perahu ini terbuat dari kayu ulin dan biasanya dibantu dayung serta mesin dengan bahan bakar bensin atau solar.

Karena perahu ini untuk masuk ke rawa-rawa yang bersungai sempit, maka sejak zaman nenek moyang bahari (dulu kala;bhs.Banjar) jukung dibuat dengan desain panjang ramping. Biasanya jukung ini mondar mandir dan mudah ditemui berisikan kayu bakar, semangka, ember-ember berisi ikan hasil menjala, sayur mayur, sembako dan perkakas rumah tangga, hingga jadi restoran terapung berisi panci-panci panas lengkap dengan kompor atau tungku menjajakan soto banjar dan berbagai makanan lain.

Luar biasa bukan? Jangan takut kelaparan melanda walaupun berpuluh kilometer jauh dari pasar di ibukota kecamatan.

Jukung memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Banjar. Kami, aku dan para guru pasti menggunakan jukung juga untuk menuju ke sekolah. Setiap hari. Pergi dan pulang. Tidak semua guru bertempat tinggal di Negara, ada juga yang rumahnya jauh di Kandangan, ibukota HSS. Dan dari Jalan Negara-Kandangan, satu-satunya transportasi yang bisa digunakan ya jukung ini, Sdoara-sodara.

Penasaran nggak pertama kali naik jukung? Emm.. takut si jukung terbalik dan harus berenang hehehe.. Rasanya mirip seperti naik ketinting di perairan Papua tempatku bekerja dulu, jadi nggak kaget-kaget banget..

Lama perjalanan dari pangkalan jukung di Muning Tengah sampai ke Muning Dalam kurang lebih 60-80 menit, tergantung dari berat penumpang dan lalu lintas sungai. Duh Gusti, kebyaang gak kalau jalan kaki bisa semalaman baru sampai desa, medannya rawa, bro..

Sungai ada lalu lintasnya? Ada dong. Lawan dari kami para jukung imut adalah cis si kapal kayu ganal (besar;bhs.Banjar) yang agak memenuhi badan sungai.

Sepanjang perjalanan dengan jukung, hiburan yang aku dapatkan adalah….. Guess what..? Berpapasan dengan jukung lain dan menyapa paman-paman atau acil (bibi;bhs.Banjar) yang tengah menjala atau mencuci sepanjang sungai. Alamnya masih asri, dan beberapa kali akan menjumpai warik (Macaca f.;bhs.Banjar). Masyarakat Banjar di sini ramah banget men, senyum dan cling..* warna gapyak semanak (murah senyum, tanda penerimaan dan keramahan;bhs.Jawa) sangat terasa walaupun itu hanya sambil lalu. Pernah kutanya ke Kepsek, "Kenal nggak Pak?" jawab sidin, "Ah nggak, merawa haja (menyapa saja;bhs.Banjar)".

Jukung jugalah yang aku ilhami sebagai sarana mengantarkan ilmu bagi anak-anak muridku di sekolah. Tidak banyak orang berpendidikan tinggi di desaku, paling banyak mau melanjutkan SMA/K saja sudah alhamdulillah. Terbayang nggak, betapa jauh dan beresiko jarak yang ditempuh guru-guru untuk menuju ke sekolah? Kalau tinggal di desa sih bisa jalan kaki 10 menit sampai sekolah, kalau guru-guru yang lain? Sejam lebih duduk, yang kalau geser pantat saja jukung ikut bergolak. Ngeri-ngeri sedaaap.. (Aku meminjam bahasa Mayor Effendi, komandanku dulu, yang paling pas menggambarkan isi hatiku,, ceileeh..)

Jukung menginspirasiku sebagai sarana mengantar cakrawala, menunjukkan pengajaran dan mendidik, memunculkan keikhlasan untuk turun tangan, menyentuh desa terjauh, demi membuka pikiran akan pentingnya pengetahuan agar hidup anak-anak desa menjadi lebih baik, dari sisi pendidikan.

Jukung ini kendaraan yang asyik. Anak-anak di desaku sangat akrab dengan jukung, dan bagaimana cara mengendarainya, hingga bagaimana cara parkirnya. Dari semua kendaraan, kita pasti paling bermasalah dengan parkirnya bukan? Hahaha.. bercanda, tapi faktanya sampai saat ini aku angkat tangan kalau disuruh parkir jukung dengan ilmu arah arus sungai. Pheww..

Terbayang dengan jelas, teriakan ceria anak-anak menyambut jukung guru yang mendekat, merapat perlahan ke dermaga sekolah. Anak-anak akan berebut meraih tali jukung untuk ditautkan pada kayu dermaga. Sementara anak yang lain akan mengintip dengan ekspresi lucu, mengabsen guru-guru yang hadir. Ada juga yang dengan agresif memaksa membawakan tas Bapak Ibu gurunya, padahal tasnya jauh kebih besar dan berat dibanding badan si anak murid.. Gemas banget pokoknya melihat keseruan tiap guru-guru tiba di dermaga sekolah.

Peran si jukung dalam pendidikan di desaku  tidak bisa dipandang sebelah mata. Si jukung sudah sangat berperan puluhan tahun mengantarkan anak-anak sekolah di desa bahkan ke kecamatan, mengantarkan guru-guru menuju sekolah di SD-SMP di desaku, dan juga bagiku si jukung, si ‘asyik’ jukung, telah memberikan hiburan dan perenungan pribadi selama aku di sini.

Si Jukung, Mengantar Cakrawala


Cerita Lainnya

Lihat Semua