Walau Badai Silih Berganti

Kristian Patrasio 22 Februari 2014

Malam itu terdengar suara yang cukup gempita dari salah satu sudut desa. Ketika mendekat, juga terlihat ada sebuah terpal biru besar, yang disangga oleh beberapa batang bambu panjang, menaungi ratusan kursi plastik di bawahnya. Di bagian depan, terlihat sebuah panggung lengkap dengan alat-alat musik dan sound system. Ada beberapa pernak-pernik dekorasi yang menghiasi.

Selama beberapa hari, gereja GPSK Galatia Penai menyelenggarakan ibadah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani). Ibadah ini biasanya menjadi momen, bagi yang serius terpanggil tentunya, untuk mengalami pertobatan. Ibadah akbar ini diselengarakan selama beberapa hari, diselingi dengan seminar di beberapa sesinya.

Kagum adalah reaksi awal saya ketika mengetahui  bahwa akan ada KKR di Penai. Di gereja-gereja di kota besar, ibadah seperti ini cukup sering diadakan. Tidak jarang ibadah KKR di kota-kota besar adalah sebuah hajatan megah dan meriah yang menghabiskan banyak uang. Uang yang dikeluarkan untuk menyewa gedung pertemuan beserta seluruh logistik pelengkapnya, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya.

KKR di Penai semakin membuat saya kagum karena panitia mampu menghadirkan pendeta dari Malaysia beserta sekelompok pemuda, yang disebut tim pelayanan, yang mendampingi pendeta tersebut. Seperti ilustrasi pada paragraf awal, KKR ini pun juga menggunakan alat musik band lengkap dan sound system untuk mengiringi lagu-lagu gereja yang dibawakan sepanjang ibadah. Juga ada dekorasi lampu-lampu yang sederhana, namun cukup menambah semarak suasana.

Tentu saja menyelenggarakan kegiatan tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Fakta bahwa berbagai tantangan yang sulit tersebut mampu diatasi oleh warga gereja semakin membuat saya kagum. Saya sempat ikut rapat persiapan dan juga membantu beberapa persiapannya. Tantangan yang terutama tentu saja adalah masalah dana. Salah satu pencarian dana yang dilakukan adalah dari penjualan hasil panen karet yang dilakukan oleh keluarga-keluarga anggota gereja. Saya tidak tahu persis, apakah kebun karet tersebut milik gereja, yang kemudian dikerjakan oleh jemaatnya, atau kebun tersebut milik masing-masing jemaat, yang memang hasilnya disumbangkan kepada gereja. Manapun yang benar, saya tetap kagum, karena keduanya menunjukkan kerja yang tulus dari para jemaatnya.

Berbagai tantangan lain juga mampu diatasi dengan sederhana dan secara bergotong-royong oleh para jemaat. Ketiadaan listrik menjadi salah satu tantangan. Bersyukurnya, gereja sudah memiliki genset yang dapat dipakai. Tantangan lain adalah masalah akomodasi para pembicara. Bersyukurnya (lagi), terdapat gedung lama gereja yang sebelumnya biasa dipakai untuk rapat. Panitia pun menyulapnya menjadi kamar dengan menyekatnya menggunakan kain-kain besar. Tempat tidurnya menggunakan kasur Palembang (kasur tipis yang memiliki tonjolan-tonjolan). Bantal dan gulingnya merupakan pinjaman dari para jemaat.

Ada sebuah momen yang begitu berkesan ketika saya mengikuti sesi ibadah pembukaan di hari pertama.  Di awal ibadah, saat baru beberapa pujian yang dinyanyikan, tiba-tiba listrik mati. Awalnya pemimpin pujian dan para penyanyi pun ikut terdiam menunggu listrik menyala lagi. Sampai kemudian beberapa orang dari tim pelayanan berinisiatif menyanyikan lagu-lagu gereja untuk mengisi keheningan sambil menunggu genset kembali dinyalakan. Para jemaat pun sontak ikut bernyanyi. Beberapa lagu dinyanyikan oleh seluruh jemaat yang hadir, seperti  Kumau Cinta Yesus Selamanya sampai lagu sekolah minggu, seperti Happy Ya Ya Ya.

Ketika menyanyikan lagu Kumau Cinta Yesus Selamanya itulah menjadi momen yang begitu berkesan buat saya. Tanpa diiringi musik, tanpa suara microphone, tanpa gangguan dari soundsystem, suara para jemaat melantun dengan....ah saya tidak bisa menemukan kosakata yang tepat, pokoknya hati saya sampai bergetar dan bulu roma saya merinding. Mungkin itu adalah paduan suara gerejawi paling magis yang pernah saya dengar. Ini salah satu potongan lirik lagu tersebut:

Kumau cinta Yesus selamanya..

Kumau cinta Yesus selamanya..

Walaupun badai silih berganti dalam hidupku..

Kumau cinta Yesus selamanya..

Sambil menyanyikan lagu tersebut, saya memperhatikan beberapa jemaat yang saya kenal yang duduk di dekat saya. Ada seorang bapak di depan saya yang raut lelah di wajahnya sepertinya belum hilang setelah seharian bekerja di tambang emas tradisional miliknya. Kemudian ada ibu yang duduk di belakang saya, besok pagi-pagi sekali dia sudah harus bangun dan berangkat ke kebun karetnya. Dengan  menghiraukan lelah mereka, mereka sadar tugas paling utama mereka adalah datang memuji, menyembah, dan berserah penuh pada Dia yang selalu memelihara hidup mereka. 

Lamunan saya buyar. Namun, potongan lirik lagu di atas selalu terngiang-ngiang, walaupun badai silih berganti dalam hidupku, kumau cinta Yesus selamanya. 

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua