Semesta Mendukungmu, Nak!

Bella Moulina 22 Februari 2014

                Suatu pagi di hari Jum’at, sekembalinya saya mengajar setelah menjalani site visit dari Indonesia Mengajar, saya begitu rindu dengan anak murid saya di kelas 3 SD Inpres Onatali. Saya seperti biasa mengajar kembali, dan pagi itu saya mengajar IPA, tepatnya Energi dan Kegunaannya. Namun suatu kabar yang membuat saya terharu baru saja diterima. Saya jadi ingat dua kata: Semesta Mendukung. Layaknya dua kata itu, saya seperti berada pada titik bahwa semesta ternyata mendukung apa yang telah dikerjakan.

                “Ibu, ada surat untuk ibu nah,” ujar Cindy sesaat saya menempel peraturan baru di dinding kelas.

                “Dari siapa ko?” tanya saya.

                “Dari Elis dan Mario, Bu. Mereka su kasih surat ke kak Yuniar. Suratnya su kasih sejak Sabtu kemarin, Bu,” kata Carlos menanggapi.

                Saya bergegas membuka laci meja, mencari sepucuk surat cinta dari Elis dan Mario. Elis dan Mario adalah dua murid saya yang pindah sekolah ke SD di kecamatan sebelah, Pantai Baru. Di mata saya, Elis dan Mario memiliki sifat seperti langit dan bumi. Jauh sekali sifat mereka. Elis anaknya pemalu dan tidak banyak bicara, namun selalu rajin mengerjakan pekerjaan rumah dan tulisannya rapi. Sedangkan Mario suka bicara, berkepala plontos, dan selalu menawarkan bantuan: “Ada yang bisa saya bantu ko, Bu?” saat saya membereskan meja di kelas.

                Akhirnya surat itu sampai di tangan saya. Amplop putih bertuliskan: Dari Elisabeth Killa dan Mario Killa untuk Ibu Bella tertera di halaman belakang amplop. Saya membuka amplop yang sepertinya sudah lusuh karena sepertinya sudah terlebih dahulu dibaca anak-anak. Hati saya deg-degan. Sudah lama tidak menerima surat dari anak-anak, dan tepat di hari Valentine, hari kasih sayang ini, saya menjadi begitu berdebar menerima surat tersebut.

                Perlahan saya membukanya. Ada dua surat. Pertama cerita dari mereka, kedua puisi yang mereka tulis. Kira-kira begini lah isi surat mereka.

                “Sabtu, 8 Januari 2014

                Halo Ibu...

                Apa kabar? Kami disini baik-baik saja. Ibu, maafin kami ya, jika kami berdua telah membuat ibu jengkel pada waktu ibu mengajar kami semua. Ibu kalau mengajar jangan ingat kami lagi ya. Walaupun kami sudah berpisah dengan ibu tetapi kami selalu mengingat ibu terus dan kata-kata ibu selalu kami ingat. Dan buat kawan semua katakan kepada mereka supaya jangan ingat kami terus ya. Pasti lain kali kita bisa bertemu kembali kok. Mungkin hanya ini yang kami sampaikan. Dada... Ibu, kami tunggu balasannya ya.”

                Saya jadi ingat Elis dan Mario lagi setelah membaca surat itu. Ada beberapa kejadian yang tak dapat dilupakan bersama mereka. Mario tinggal di rumah Elis, mereka bersaudara sepupu. Mario sebenarnya masih memiliki ayah, namun ibu nya lebih dahulu meninggalkannya ke dunia yang berbeda dengannya. Tapi entah kenapa, Mario memilih tinggal dengan orang tua Elis. Pernah suatu kali saya bertanya soal ini, kenapa ia tidak tinggal dengan ayahnya. Tak ada jawaban lain yang ia lontarkan selain kediamannya. Mario pernah pula saya pergoki mengecat rambut dan membuat gaya rambut seperti kuda. Bagian kanan kiri diplontos, sedangkan bagian tengahnya sengajar disisakan. Waktu itu saya sempat kesal dengan gaya seperti itu. Bukannya membatasi seni, tapi untuk ukuran anak kecil seperti itu dan di lingkungan sekolah pula, saya lantas meminta Mario mengguntingnya, meski pada akhirnya saya juga yang memotong rambutnya karena ia tak jua mendengarkan himbauan gurunya ini.

                Lain halnya dengan Elis. Pada awal pelajaran, ia sering tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Berkali-kali saya mengingatkan dia, berkali-kali pula saya kecewa bahwa ia belum berubah. Tersiar kabar pula bahwa ia dan Mario sering menonton televisi pada malam hari di rumah tetangga. Sejak itu, saya mulai menyadari bahwa pekerjaan rumah tidak dilaksanakan gara-gara menonton televisi hingga larut malam. Akhirnya saya memanggil mereka berdua ke depan meja di kelas.

                “Nak, ibu tidak melarang kalian untuk menonton televisi. Tapi tolong sebelum menonton televisi kerjakan dulu pekerjaan rumah yang sudah ibu tugaskan. Bosong mau ko cita-cita tercapai? Kalau mau, rajin belajar su, jangan banyak nonton televisi.”

                Sejak itulah perubahan positif sedikit demi sedikit berada dalam diri mereka berdua. Elis bahkan paling rajin mengerjakan PR, sedangkan Mario meski sempat tertatih-tatih dalam belajar tak kehilangan semangat di kelas untuk belajar. Namun, Elis masih saja pemalu. Jika saya memujinya atau memanggilnya, kepala selalu ia tundukkan. Seolah-olah ia tidak mampu membalas apa yang telah saya katakan.

                Delapan bulan terlewati sudah di bumi nusa lontar ini. Pulau Rote memberikan pemahaman yang lebih bagi saya untuk bukan hanya sekedar memahami orang lain, tapi juga pribadi diri sendiri. Alam pun sejenak mengamini bahwa apa yang dilakukan ini akan mendukung bagi kehidupan kedepannya. Surat semangat yang biasanya mereka tulis ke anak-anak atau kakak-kakak di luar Rote kini justru Elis dan Mario tetap praktekkan, meski mereka sudah tidak bersama saya lagi di sekolah saya. Ya, semesta mendukungmu, Nak! Kelak apapun ilmu terbaik yang kalian peroleh akan bermanfaat. Tak ada yang sia-sia. Seperti penggalan puisi yang mereka berdua berikan kepada saya ini:

                “Terima kasih telah mengajar kami,

                Ibu, kami tidak bisa membalas jasamu,

                Ibu, kami cuma bisa mengirim doa”


Cerita Lainnya

Lihat Semua