Mengajarkan Ke(tidak)jujuran Sejak Dini

Kristian Patrasio 30 Maret 2014

 

Kata-kata bertema menjunjung tinggi sportifitas bertebaran di beberapa tempat pelaksanaan PORSENI tingkat kabupaten kemarin, membuatnya cukup mudah dilihat. Namun, ada satu hal yang jauh lebih mudah dilihat daripada tulisan itu: praktik-praktik kecurangan yang justru melanggar sportifitas itu sendiri.

Pekan Olahraga dan Seni seharusnya adalah ajang yang baik sekali untuk mengajarkan anak-anak tentang pengalaman berkompetisi yang jujur dan sportif. Melalui PORSENI, anak-anak berkompetisi dalam berbagai cabang olahraga, seni, dan bahasa, mulai dari tingkat gugus, kecamatan, hingga kabupaten. Supaya kompetisi berjalan dengan adil, tentu saja harus ada seperangkat aturan yang mengaturnya. Sayangnya, sama seperti banyak ranah lainnya di negeri ini, kita memang paling pintar mencari celah dalam mengompromikan peraturan sebagai jalan singkat mencapai tujuan.

Peraturan yang paling banyak dilanggar adalah mengenai batasan usia dan kelas peserta. Sejujurnya sampai sekarang saya jadi tidak yakin sebenarnya berapa batasan usia dan kelas yang diperbolehkan. Mengacu pada informasi yang awalnya beredar di UPT kecamatan saya, siswa SD yang boleh ikut serta adalah siswa yang maksimal duduk di kelas 6 dan lahir maksimal tahun 2002. Yang membuat saya tidak yakin adalah ternyata informasi yang diterima beberapa teman saya di kecamatan lain memiliki versi yang beragam. Benar saja, belakangan saya baru mengetahui ternyata yang diperbolehkan maksimal adalah siswa kelas 5.

Ketika menonton pertandingan-pertandingan dalam PORSENI tersebut, secara kasat mata saja sudah dapat terlihat mana tim yang membawa peserta yang memenuhi syarat dan mana tim yang melanggar aturan. Kecurangannya bisa dibagi menjadi 3 jenis. Kecurangan jenis pertama adalah menurunkan siswa yang sebenarnya sudah kelas 6 (ingat, peraturannya menyebutkan maksimal kelas 5), namun syarat umurnya masih mencukupi. Kecurangan jenis kedua adalah ketika siswa yang diturunkan memang masih  duduk di bangku SD, namun sebenarnya umurnya sudah melebihi ketentuan. Kecurangan jenis ketiga, dan yang paling membuat saya tidak habis pikir, adalah ketika kecamatan menurunkan siswa-siswa SMP untuk bertanding di level SD.

Contohnya adalah salah satu pertandingan voli mini. Salah satu tim menurunkan anak-anak yang memang masih terlihat anak-anak, dari kelas 3 sampai kelas 5. Sementara lawannya menurunkan tim yang anaknya sudah besar, tinggi, dan ciri-ciri fisik lainnya yang sebenarnya sudah jelas menunjukkan kalau mereka sudah remaja. Setelah dicaritahu, ternyata anak-anak yang badannya sudah besar itu, ternyata memanglah siswa-siswa SMP.

Lalu bagaimana bisa sampai kontingen menurunkan siswa-siswa yang sudah tidak memenuhi persyaratan tersebut? Mudah saja, tinggal manipulasi berkas. Di hampir semua pertandingan, panitia hanya meminta formulir, fotocopy rapor, dan fotocopy akta kelahiran. Di situlah celah yang dimanfaatkan para pengurus kontingen yang ingin berbuat curang. Buat yang siswanya sudah duduk di kelas 6, tinggal buat rapor yang baru saja, cukup isi nilainya sampai kelas 5. Buat yang tahun kelahiran siswanya sebelum tahun 2002, pinjam saja akta siswa lain yang lahir tahun 2002. Untuk peminjaman akta ini, memang harus ada usaha lebih. Karena akta siswa lain yang digunakan, maka formulir dan rapor pun harus diisi sesuai data siswa yang memiliki akta tersebut. Selain itu, siswa yang datanya diganti juga diajarkan untuk menghayati perannya seolah-olah menjadi pemilik akta. Jadi, kalau orang lain bertanya nama dan tanggal lahirnya, harus dijawab sesuai akta yang digunakan, bukan sesuai dengan data sebenarnya.

Ya, dampak buruk dari kecurangan kecurangan tersebut bukan hanya sebatas pelanggaran administratif, atau ketidakadilan pertandingan di lapangan. Dampak buruk yang lebih berbahaya, karena akan bersifat jangka panjang, adalah ketika anak-anak tersebut diajarkan untuk berbohong. Ketika seorang anak kelas 6 rapornya diganti, sang guru akan mengajarkan anak tersebut untuk mengaku sebagai siswa kelas 5. Ketika seorang anak menggunakan akta milik temannya, ia harus berperan seolah-seolah sebagai temannya si pemilik akta. 'Nasihat' seperti," nanti kalau ada yang tanya, jawab aja kamu kelas 5, lahirnya tahun 2002", mungkin adalah kata-kata yang lazim disampaikan sang guru kepada muridnya sebelum berangkat ke arena pertandingan.

Perbuatan-perbuatan semacam itu otomatis mengenalkan anak secara langsung dengan yang namanya berbohong. Yang lebih ironis lagi, yang mengajarkannya langsung adalah guru mereka sendiri, sosok yang selalu mendengung-dengungkan berbagai nilai luhur di kelas. Efek jangka panjangnya, akan tertanam dalam pikiran si anak kalau perbuatan memanipulasi seperti itu adalah hal yang lazim untuk dilakukan, demi bisa bertanding dan mencapai kemenangan. Bukan tidak mungkin ketika si anak sudah dewasa, ia akan meneruskan perbuatan tersebut kepada anaknya, atau kepada muridnya apabila ia menjadi guru.

Praktik-praktik curang seperti itu sepertinya sudah menjadi semacam kebiasaan. Hal itu bisa terlihat dari banyaknya kecamatan yang melakukan hal tersebut. Belum lagi, menurut beberapa guru yang biasa mendampingi muridnya ke porseni, perbuatan-perbuatan seperti itu sudah terjadi setiap tahunnya. Itu membuat kecamatan-kecamatan menggunakan prinsip 'tahu sama tahu'. Ibaratnya satu kecamatan tidak akan melaporkan kecamatan lain mengenai kecurangan tersebut, karena dia sendiri juga melakukan hal yang sama. Yang penting kecamatan lain juga tidak ada yang resek melaporkan kecamatan tersebut.

Dinas terkait yang menjadi panitia PORSENI tersebut juga sepertinya tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun sebenarnya saya ragu, tidak bisa atau tidak mau berbuat apa-apa. Verifikasi berkas persyaratan peserta di beberapa cabang terlihat longgar sekali. Sepertinya tidak ada pemeriksaan yang seksama. Walaupun di cabang lainnya, pemeriksaan sudah berjalan lebih ketat, sampai ada yang menggunakan sidik jari segala. Alhasil, beberapa pemain yang tidak memenuhi persyaratan pun ketahuan dan dilarang untuk bertanding. Terkait soal upaya penyelenggara, malah ada satu aturan yang menurut saya malah memuluskan praktik-praktik kecurangan. Aturan tersebut adalah apabila sebuah tim ingin melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh tim lawan, maka tim pelapor harus membayar uang sebesar Rp 500.000 kepada panitia. Apabila laporannya terbukti benar, maka uang tersebut akan dikembalikan. Namun, apabila laporannya salah, maka uang tersebut akan menjadi hak milik panitia. Tentu saja aturan tersebut membuat tim enggan untuk melaporkan lawannya.

Saya pribadi juga pesimis kalau praktik seperti itu akan berakhir dalam waktu dekat. Selain karena sudah menjadi kebiasaan, praktik seperti itu menjadi semacam godaan bagi tim-tim lain yang justru belum melakukannya. Saya beberapa kali mendengar celetukan official dari tim yang membawa anak-anak yang memenuhi syarat, namun kalah di pertandingan. Celetukannya seperti ini, 'ah tahu gitu, kita bawa anak-anak yang sudah besar saja. Ngapain jujur kalau ujung-ujungnya kalah sama tim yang curang'. Ungkapan seperti itu mengkhawatirkan karena bisa saja pada PORSENI tahun depan, tim tersebut akhirnya kalah dari godaan dan ikut-ikutan membawa anak-anak yang usianya sudah tidak memenuhi syarat.

Semoga segala kekhawatiran saya di atas tidak menjadi kenyataan. Semoga ada perubahan fundamental yang positif dalam beberapa tahun ke depan terkait penyelenggaraan PORSENI. Semoga guru-guru yang masih mau jujur tetap bisa memegang teguh prinsipnya itu. Semoga anak-anak yang sudah terlanjur diajarkan berbohong, tetap tahu mana yang benar, mana yang salah, dan bisa melakukan hal yang benar. Semoga kita semua selalu bisa mengajarkan kejujuran pada anak-anak di sekitar kita. Kalau belum bisa, ya minimal jangan mengajarkan mereka untuk tidak jujur lah...


Cerita Lainnya

Lihat Semua