#1 Aku dan HUT RI di Distrik

Wiwik Yulihaningsih 30 Maret 2014

Keluarlah dari zona nyaman yang selama ini menjanjikan masa depan, karena tidak akan ada masa depan yang lahir dari kenyamanan yang di dewakan. Begitulah caraku menyemangati diri sendiri dalam segala situasi yang menghadang. Seperti senja kali itu, aku baru saja datang dari kota mama mengabarkan aku di minta menjadi panitia di lomba HUT RI tingkat distrik.  Lepas sembahyang magrib, Mama menyodorkan kertas yang isinya rangkaian kegiatan menyambut HUT RI di distrik. Namaku nempel di sie. Kesenian dan Olahraga, tanpa ada konfirmasi sebelumnya.

“sebentar malam, wik pi ke gedung pertemuan sudah. Ada lomba karaoke.” kata mama.

Bapak mengantarku ke gedung malam itu. Sampai di Gedung Pertemuan yang dimaksud, ruangan masih lengang hanya bangku—bangku kayu yang berderet di sepanjang ruangan. Tak lama datang Bapak tua berkumis tipis, berbadan kecil, berkulit putih yang menghampiriku. Ia menjulurkan tangannya hangat, aku sudah sering berpapasan beliau tapi aku belum tau siapa nama beliau beliau sebenarnya. Demi mengurangi rasa penasaranku, aku sambut cepat tangan si bapak itu. “ saya Jailani bu, Sie. Kesenian dan Olahraga.”

 Obrolan singkat tentang sejarah terbentuknya kepanitian yang mendadak inipun mengalir, selang Pak Sepang dan pak Hendri datang. Kedua orang yang baru datang ini adalah guru di SMP Kokas, yang akhirnya di sandingkan menjadi juri denganku malam itu. Yah, aku ditunjuk menjadi juri malam itu. Hahhaha membayangkannya saja aku sulit. Itu penawaran yang tidak rasional sepanjang hidupku jika saja bapak – bapak itu tau bagaimana kecerdasan musikalku maka bisa jadi mereka tidak akan menawarkan hal itu padaku. Bagaimana mungkin aku menilai orang menyanyi sedangkan aku sendiri tidak tau dasar—dasar menyanyi sama sekali. Tapi aku tidak bisa menolak malam itu, “Beta yakin, ibu pu selera musik tinggi. Jadi juri lomba tingkat distrik begini saja moo.”begitu kata pak Jailani.Hahaa selera musik tinggi, kali ini benar—benar salah alamat. Demi melancarkan lomba malam itu, aku menjadi orang yang sok tau tentang penilaian malam itu. Jumawa. Yah terkesan begitu, mudah—mudahan tidak ada yang tau jika sesungguhnya kecerdasan musikalku rendah.

Peserta satu ke peserta yang lain bergantian. Akhirnya jam 01.30 WIT karaoke selesai dan aku baru bisa pulang jam 02.00 karena harus merekap nilai. Beruntung malam itu lampu menyala lebih lama, sehingga kami tidak menggunakan pelita untuk merekap nilai.

“Baik ibu, besok masih ada final jadi sampai ketemu besok sore.” Kata pak Hendri saat keluar dari gedung.

Hari Kedua

Ini adalah hari kedua aku menjadi juri di ajang karaoke bergengsi abad ini. hahha lebai. Siang tadi habis bersama hiruk pikuk persiapan malam ini karena malam ini tak hanya lomba karaoke tapi juga ada pawai obor 17 serta renungan suci di tampah (taman makam pahlawan). Pukul 19.30 WIT aku sudah mangkir di gedung pertemuan, berharap lomba akan dimulai lebih awal agar selesainya tidak dini hari. Nihil. Semua orang sibuk di lapangan, persiapan pawai Obor 17, selama 23 tahun aku merayakan hari kemerdekaan yah baru kali ini ada rentetan acara sakral nan misterius. Antusiasme masyarakat untuk hari ini memang patut diacungi jempol, bisa jadi kalau di fanpage FB ini yang nge’like uda ribuan. Belasan anak membawa obor dan nampan bunga, disusul gemuruh pasukan pawai yang menyanyikan lagu kemerdekaan. Mulai dari anak sekolah, hansip, PNS, karyawan, satpam, tukang ojek hingga tete—tete bertongkat ikut serta dalam pawai malam itu. Tentu aku tak ingin melewatkan momentum indah ini, karena aku tau tahun depan aku sudah tak ada disini. Nasionalisme itu ada di sini, saat ratusan masyarakat distrik melakukan pawai memutari distrik dengan berjalan kaki dengan semangat menyanyikan lagu kemerdekaan dan meneriakkan “merdeka”. Kata yang sarat makna sebenarnya, kemerdekaan yang abstrak menurutku. Kita memang tak lagi dijajah Jepang atau Belanda, tapi kita dijajah kerakusan. Tidak nampak, tapi itu benar—benar mematikan. Merdeka yang mereka maksud adalah kilauan pelita dalam gelap, pendidikan yang tak menjanjikan masa depan. Kesehatan yang tak berpihak bagi kaum proletan, atau nasi enak yang terlalu mahal untuk kaum marjinal.

Pawai itupun berakhir, massa pindah ke gedung pertemuan demi melihat final karaoke dan lomba MOP. I’m still me, yah meskipun kemarin sudah menjadi juri tapi belum bisa juga meningkatkan kecerdasan musikalku. Untung tidak ada yang protes dengan keputusan juri. Hahahha

“Ibu, ini form penilaian MOP.” kata pak Sepang sambil menyodorkan kertas padaku.

What? MOP? Bagaimana bisa aku menjadi juri MOP juga? Aku belum paham aksen dan bahasa Papua dengan baik. lagi—lagi aku tak bisa menolak permintaan itu.

“sa tara tau MOP bapak.” kataku kikuk

“Sudah ibu nanti kalau ibu simak baik, pasti ibu tau.” tukas pak Sepang.

Oh God, benar saja aku tak paham dengan apa yang di MOP’kan orang—orang itu. Paham atau tidak mengenai isi dan pesan moral MOP itu aku harus tetap memberikan nilai. Aku sempat kehabisan akal untuk menilai MOP, peserta satu telah menebar tawa di ruangan. Aku ikut tertawa meskipun aku tak tau artinya. Hahahha sesungguhnya aku sedang menertawakan diriku yang aneh ini. ide briliant tiba—tiba hadir bagai matahari di kegelapan, maaf ini benar—benar lebai. Aku memberikan nilai berdasarkan seberapa banyak orang tertawa, hahahha. Semakin banyak yang tertawa berarti MOP itu lucu, semakin tidak ada yang tertawa berarti MOP itu garing. Well done, it’s worked men. Penjurian Mop berakhir dan aku tertawa di sela MOP terakhir. Sepertinya aku bukan juri yang baik, tapi setidaknya aku sudah cukup obyektif untuk memberikan penilaian bukan?

Jam tangan hitamku telah menunjukkan pukul 02.15 WIT ini lebih lama dari pada kemarin bukan? Usah tidur sekalian, kami lanjut sahur bersama dan persiapan upacara HUT RI di lapangan.

Kali ini aku benar –benar keluar dari zona nyaman yang di awal aku katakan, meskipun aku sadar betul bukan penilai yang baik tapi setidaknya aku belajar banyak hal tentang musik, MOP dan tentang kepercayaan. Ketika kita membatasi diri tidak bisa melakukan suatu hal maka selamanya kita tak akan bisa melakukan hal itu... 


Cerita Lainnya

Lihat Semua