info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Belajar Toleransi dari Lamdesar Barat

Khairil Hanan Lubis 21 Agustus 2012

 

Ada kalanya mayoritas yang harus menghargai minoritas. Bukan hanya minoritas yang diam melihat mayoritas.

Lamdesar Barat adalah sebuah desa kecil di ujung timur Pulau Larat, Kepulauan Tanimbar, Maluku. Penduduknya mayoritas Kristen Protestan dan sebagian lain Kristen Katolik. Tak ada yang menganut agama lain.

Penduduknya tercatat 148 KK. Mayoritas petani rumput laut dan berkebun dengan penghasilan rata-rata Rp 300ribu per bulan. Tempat yang terpencil menyebabkan sinyal belum ada dan listrik masih terbatas, hanya hidup pada malam hari.

Keberadaan saya di sana sebagai Pengajar Muda dari Gerakan Indonesia Mengajar yang bertugas selama satu tahun mengajar di SD setempat. Maka, saya pun menjadi satu-satunya Muslim yang tinggal di desa itu. Puasa tahun ini menjadi pengalaman baru bagi saya, sekaligus pengalaman baru pula bagi sebagian masyarakat di sana.

O. J. Ongirwalu, salah seorang warga bercerita sebenarnya dulu di Lamdesar Barat pernah ada warga yang menganut agama Islam. Bahkan juga ada masjidnya. Tapi kerusuhan Ambon silam ternyata juga berdampak hingga ke wilayah ini. Warga desa sebelah tiba-tiba datang dan membakar masjid. Warga Muslim yang pendatang kembali ke daerah asalnya, sementara yang penduduk asli kembali ke agamanya semula.

“Padahal dulu di sini hubungannya bagus sekali. Kalau Lebaran, kami semua datang ke rumah mereka. Kalau ada penyambutan-penyambutan seperti kedatangan pendeta, mereka pun ikut menyambut dengan qasidah,” katanya sambil tersenyum.

Setelah bertahun-tahun tak pernah ada Muslim, kedatanganku pun dianggap sesuatu yang baru. Masyarakat desa menjadi tahu kalau ada makanan yang haram bagiku, bagaimana seorang Muslim beribadah dan segala pantangannya.

Saat awal Ramadhan lalu, saya pun sempat khawatir bagaimana nanti melaksanakan puasa di sini. Ternyata tak ada masalah. Setidaknya merasa lebih tenang daripada biasanya. Memang tak ada kolak, bubur pedas, toge mandailing, dan segala tradisi Ramadhan lainnya. Tapi Alhamdulillah, penghargaan masyarakat menjadi berkah tersendiri.

Bagi yang tahu saya berpuasa, tak ada masyarakat yang pernah makan atau minum di depan saya saat siang hari. Sebelum Ramadhan, bahkan ada yang memberikanku pisang satu tandan besar dari ladangnya. Katanya, untuk persiapanku memulai puasa.

Di rumah saya tinggal bahkan tak pernah terlihat ada makanan di atas meja makan sejak pagi hingga sore. Mereka makan dan minum di dapur belakang agar tak terlihat.

Di sekolah, guru-guru juga seringkali menanyai keadaanku, apakah masih kuat mengajar atau tidak. Bahkan di awal, pihak sekolah sempat menyuruhku libur saja selama sebulan. Saat ngobrol di ruang guru dan pembicaraan menyerempet ke hal-hal yang membicarakan orang lain, ada saja yang mengingatkan bahwa ada saya yang sedang puasa dan kemudian minta maaf.

Paling mengharukan, saat diberi kurma oleh ibu pendeta. Saat itu ia baru pulang dari kota kecamatan, pada sebuah toko ia di beri tahu oleh penjualnya kalau kurma ini biasa menjadi makanan berbuka puasa. Ia pun langsung membelinya dan menghadiahkannya padaku untuk berbuka puasa.

Kurma biasa, tapi terasa luar biasa. Saya tak pernah terbayang bisa makan kurma di sini. Apalagi di berikan untuk bukaan puasa, oleh seorang pendeta.

Padahal pengetahuan mereka terhadap puasa amat minim. Keluarga piara saya semula mengira kalau puasa ini hanya tiga hari, sesuai jadwal libur sekolah menyambut puasa. Beberapa masyarakat juga mengira kalau puasa itu boleh minum, ada pula yang mengira boleh makan pagi. Meskipun ada juga yang tahu lebih banyak, itu pun karena sering nonton tivi dan mau tak mau menyaksikan tayangan-tayangan Ramadhan.

Terlepas soal puasa, dalam keseharian masyarakat Lamdesar Barat memang begitu menghargai perbedaan yang kami miliki. Jika ada orang yang menumpang tinggal di rumahnya dan tidak memakan anjing atau babi, maka keluarga di rumah itu akan menahan diri tidak memasak makanan itu selama orang tersebut masih tinggal di sana.

Setelah mengetahui kalau seorang Muslim memiiki kewajiban sembahyang lima waktu, keluarga piaraku memasangkan karpet plastik di kamar agar memudahkanku shalat. Mereka juga selalu mengurangi volume suara dan mengingatkan yang lain agar tidak ribut, tiap melihat saya masuk kamar usai mengambil wudhu.

Tiap warga juga selalu mengusir anjing dalam rumah saat saya kebetulan bertamu ke rumahnya. Ketika prosesi adat saat pertama kali datang, mereka juga menghargai sikap saya yang tidak meminum sopi (arak). Padahal sopi dianggap barang adat yang wajib di minum setiap orang yang sedang melakukan prosesi adat.

 Saat pembukaan salah satu kegiatan di kota kecamatan beberapa waktu lalu, setiap yang berpidato selalu menambahkan kata “Assalamualaikum” setelah kata “Shalom” hanya karena ada satu Muslim di ruangan itu. Mereka selalu mengucapkannya sambil memandang ke arah saya. Bahkan saat akan memimpin doa, pendeta merasa perlu meminta maaf karena doa akan dibawakan dengan cara Kristen.

Sesuatu yang belum pernah saya alami saat di Medan, maupun kota-kota di Indonesia lainnya. Wajar jika doa dibawakan menurut agama mayoritas, tapi jarang ada yang terpikir untuk meminta maaf pada penganut lainnya. Seringkali, hanya minoritas yang dianggap harus menghargai mayoritas.

Bulan Ramadhan di tanah Maluku ini, saya melihat Indonesia dari sudut yang lain. Dari Lamdesar Barat, desa kecil nan terpencil pun kita dapat belajar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua