Bakar Batu di Malam Minggu

Khairil Hanan Lubis 30 Januari 2013

Masyarakat yang hidup di perkotaan biasa membuat panggangan dengan mudahnya. Ada oven atau microwave yang membantu. Tapi bagaimana dengan masyarakat di daerah-daerah terpencil atau bahkan orang-orang tua kita dulu?

Salah satunya dengan cara Bakar Batu, yang hingga kini masih terus dilestarikan masyarakat di Pulau Larat, Maluku Tenggara Barat.

Seperti di desaku, bakar batu menjadi tradisi di sini setiap hari Sabtu. Sejak pagi, orang-orang pergi ke kebun mengumpulkan hasil kebunnya yang mau di-bakar batu. Malam minggu dianggap waktu paling tepat menikmatinya. Tak heran, bakar batu menjadi pemandangan jamak di tiap rumah pada Sabtu siang.

Siang itu aku diajak Bapak Ohi, orang tua piaraku untuk ikut membuat bakar batu di belakang rumah. Setelah selama ini hanya tahu makannya saja, inilah kali pertama aku akan melihat prosesnya secara langsung. “Nanti foto ya!” kata Bapak sembari tertawa.

Bakar batu diawali dengan membuat lubang sebagai wadah pembakaran. Di dalam lubang itu kemudian diletakkan sejumlah kayu diikuti beberapa batu berukuran sedang di atasnya. Kayu-kayu itu kemudian dibakar sampai habis hingga menyisakan bara di batu-batunya. Biasanya butuh waktu sekitar satu jam.

Sembari menunggu, makanan pun mulai dipersiapkan. Mama memarut singkong dan kelapa. Mama Nyora Ongir, tetangga kami yang ikut membantu, lalu memasukkan sebagian hasil parutan tadi ke dalam batok kelapa dan sebagian lainnya dibungkus daun.

Mama pun sibuk siang itu. Ia lalu mengupas dan membagi kecil-kecil birra, jenis keladi yang besar. Labu besar dibaginya menjadi empat. Sedangkan keladi picit karena bentuknya sudah kecil-kecil, hanya dibersihkannya saja.

Setelah semua kayu terbakar, batu-batu pun mulai berwarna merah menyisakan bara. Batu-batu itu lalu disusun menjadi dasar panggangan. Dengan alas daun pisang, Mama Ohi dan Mama Ongir meletakkan makanan-makanan tadi di atas batu.

Setelah semua makanan masuk, di atasnya diletakkan lagi daun pisang sebagai pembungkusnya. Yakin sudah aman terbungkus, semua makanan tadi dikubur dengan tanah. Di atasnya lalu diletakkan sisa-sisa kayu yang sudah menjadi bara. Persis seperti sebuah makam.

Sebenarnya selain makanan-makanan tadi ada banyak makanan lain yang biasa di bakar batu, tergantung persediaan. Bisa petatas (ubi) dan umbi-umbian lain ataupun ikan. “Kalo ada ikan lebih bagus, air-airnya itu meresap ke yang lain,” kata Pak Ohi.

Setelah dikubur dengan bara sekitar tiga jam, bakar batu biasanya sudah matang. Maka petang itu, usai Bapak dan Mama pulang ibadah tutup usbu, ‘makam’ bakar batu pun dibuka. Menyeruaklah aroma khas panggangan ke hidung kami. Hmm...

Lalu kenapa harus Sabtu? Tiap Sabtu sore ada ibadah usbu (ibadah tutup pekan bagi umat Kristen) yang biasanya diikuti seluruh warga desa. Dengan membuat bakar batu di siangnya, jadi tak perlu repot  memasak lagi untuk makan malam. Pulang ibadah tinggal makan. Apalagi makanan yang dibakar batu ini masih bisa tahan hingga besoknya. Jadi, kalaupun tak sempat masak karena ibadah Minggu, sisa bakar batu kemarin juga masih bisa menjadi panganan.

Singkong kelapa, keladi, birra, labu pun terhidang di meja makan. Hangat. Mama sudah membuka bungkus-bungkus daunnya dan menggabungkannya di periuk besar. Keladi picit favoritku.

Suasana di luar mulai ramai. Orang-orang saling berkumpul di depan-depan rumah. Di Lamdesar Barat, sebelah timur wilayah Indonesia, inilah cara kami menikmati malam minggu. Mufnaan ekin!

 

Salam,

Manise Tanah Beta!

 

 

Mama Nyora : sebutan untuk istri guru.

Mufnaan: makan.

Mufnaan ekin: mari makan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua